"Tan—"

"Tante minta kamu fokus untuk Dania saja. Nara biar jadi urusan Tante."

"Tapi, Tan ...." Daniel tak lagi bisa meneruskan ucapannya. Lidahnya begitu kelu menerima semua ini. Dania belum ketemu, tapi kenapa Tuhan seakan menambah deritanya dengan hilangnya Dania?

"Tante tutup, Daniel. Tante harus segera menanyakan pencarian polisi," pamit Trisha.

"Tolong kabari Daniel, Tan." Daniel berpesan sebelum sambungan telepon mereka terputus.

Ia duduk kaku. Kedua tangannya mengepal mengumpati siapa saja yang menculik Nara dan pastinya juga Erick, yang telah membawa kabur adiknya. Telepon berdering, ternyata dari salah satu orang kepercayaan papanya.

"Erick berhasil kabur lagi, Tuan. Tempat yang saya datangi sudah kosong tanpa penghuni."

Seketika itu juga Daniel menggeram. "Bangsat!"

***

Entah sudah puntung rokok keberapa yang Daniel habiskan. Di markasnya yang sunyi, Daniel memilih menyendiri. Selain karena kecanduan yang berakibat pahit kalau tidak menyesap nikotin, nyatanya dengan begini ia bisa menenangkan diri barang sejenak. Masalahnya begitu rumit, kisahnya kali ini begitu pelik. Entah ini takdir, atau malah karma dari sikapnya selama ini. Daniel yang selalu menghardik dan mengintimidasi. Sekarang sedang tak jauh berbeda dengan lawan-lawannya yang dibuat lemah dengan keadaan.

Daniel menyesapnya dalam sampai memejamkan mata. Begitu menikmati nikotin perisa mint itu dalam keheningan ruangan. Masalah membuat pikirannya runyam. Jadi, jangan menghujat dirinya jika memilih menyendiri dulu dan tidak ikut dalam pencarian Dania maupun Nara. Toh, ada yang lebih hebat mencari jejak mereka daripada dirinya sendiri. Ya, Daniel mengakui, ternyata dirinya tak sehebat itu.

Pintu markas terbuka, Daniel menaikan sebelah alisnya hanya karena penasaran siapa yang datang. Tenang saja, Daniel tadi mengunci pintu itu. Kalau pun terbuka, orang itu pasti di antara Ares, Theo, dan ... Erick. Daniel mendengus, sedikit malas dengan nama paling akhir itu.

"Dari siang?" tanya Ares sambil meletakkan satu kotak makanan di atas meja depan Daniel. Tak menjawab, Daniel hanya mengangguk. "Gue telepon ga diangkat, tanya bokap lo katanya lo keluar dari pulang sekolah, belum makan. Ya udah gue beliin sekalian. Emang ada masalah?"

Daniel menghembuskan asap rokoknya sebelum meletakkannya di asbak dan duduk tegak. "Nara ilang, Res."

"Hah?!" Ares melebarkan matanya kaget, mulutnya sampai menganga sangking tak percaya dengan ucapan Daniel. "Kok bisa? Terus gimana?"

Daniel mengusak rambutnya hingga berantakan. "Gue nyesel ga anter dia ke kafe," ucap Daniel penuh sesal. Ia menyandarkan punggung lebarnya yang hari ini begitu lemah di sofa. "Harusnya udah ada kabar. Soalnya, Altair sempet ngefoto plat mobilnya. Tapi, sampai sekarang belum ada kabar lagi."

"Altair di sana?"

Daniel mengangguk. "Gue nggak berharap banyak dia bisa ngelawan. Cari perkara aja ga pernah, apalagi gebukin orang," jawab Daniel lemas.

"Tapi kalau nggak ada dia, nggak bakal ada petunjuk, Niel."

"Ya, lo bener," sahut Daniel.

"Sekarang lo makan. Lo nggak bakal sambut kedatangan mereka sama jasad lo yang mati gara-gara kelaperan, kan?" Ares mendekatkan kotak makan itu tepat di depan Daniel. Cowok itu sempat berdecak sebelum akhirnya berucap terima kasih.

Di tengah acara makan Daniel, Ares berniat membuka suara. Kali saja, apa yang ia tahu selama ini bisa membantu Daniel.

"Niel, ada yang mau gue omongin sama lo," ucap Ares, Daniel terlihat mendongak sekilas sebelum kembali fokus makan. "Ini tentang Erick."

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang