Aku melipat kening, Mama tega sekali. "Tapi tetap sayang, kan?"

"Ya, jelas dong. Masa sama suami sendiri nggak sayang, cinta juga kok sama Papa. Tapi nggak sebesar dulu mungkin, karena sudah tahu buluknya Papa!" ucap Mama blak-blakan.

"Sembarangan, Mama!" tegur Papa, bercanda. "Nggak ada yang betah sama Mama kamu yang bawel dan genit!" ledek Papa.

"Hahaha, aku banget tuh!" Tiba-tiba aku merasa tertuduh.

"Semoga Demas nanti tahan deh sama kamu," komentar Mama geli. "Mama mau cerita, kalau sudah tua gini tuh sebenarnya ada yang bisa makin cinta banget sama pasanganya dan nggak mau kehilangan, maunya malah tempelan terus, ditemenin terus. Kalau mama ke papa sih biasa aja, dulu dan sekarang nggak berubah sih. Tapi, kalau Papa makin kelihatan maunya samping-sampingan terus, katanya takut banget mama pergi duluan dan nggak siap sama sekali kalau ditinggal meninggal. Katanya, mama berharga banget buat Papa."

"Oh, jelas. Suami kan nggak bisa ngurus diri sendiri. Kalau nggak ada istri gimana? Anak kan mau nikah bentar lagi." Bela Papa, tersenyum penuh wibawa. "Kapan dia dan keluarganya mau datang ke rumah?" tanya Papa tanpa diduga. Aku sungguh tak siap mendengar pertanyaan jebakan ini.

"Lho, langsung nih?" kutatap Mama dan Papa bergantian.

"Lha, iya dong. Tunggu apa lagi?"

"Ya Robbi ...." Kupijit-pijit pelipisku.

"Siapa tahu setelah orangtua Demas ke sini, kamu jadi yakin banget dan minta buru-buru dipinang!" ledek Mama sambil menowel daguku. "Ih, anak Mama sudah mau nikah aja. Sudah gede ya kamu?"

"Pantas dong, sudah dua puluh enam tahun kan kamu?" Papa menatapku awas.

"Hem. I-ya," sahuku terbata.

Mama menepuk pahaku pelan. "Jangan bingung, Zoya. Kamu serius kan sama Demas?"

Aku menyengir kuda sebelum melepas jawaban. "Seriuslah, masa enggak. Aku nggak mau Demas nikah sama perempuan lain!"

"Ya sudah, buruan!" sahut Mama seenaknya sendiri. Lalu tawa mama-papa pun pecah seketika.

Apakah mereka merasa kalau kami sedang bercanda?


❤️❤️❤️

Setelah Saki lahir, aku malah keseringan main di apartemen Alya. Semenjak jadi pacar dan calon istrinya Demas, aku jadi ada temannya saat mau ke tempat Saki dan Alya. Seperti biasa, Demas menjemput dan siap mengantarku pulang nanti.

Alya keluar kamar, dia baru saja membaringkan Saki di tempat tidur dan menutup pintunya. Ada Mas Arda juga di kamar, katanya lagi semedi mengurus sesuatu setelah bincang-bincang santai dengan kami. "Jadi sudah mulai milih vendor, MUA, gaun ya?" todong Alya setelah menjatuhkan dirinya ke sofa di sebelahku.

"Iya. Tapi ... pelan-pelan," balasku seadanya. Aku sudah mulai mencari-cari MUA yang bagus dan dandanannya sesuai mauku, elegan dan cantik. Juga mulai disodori nama-nama desainer pilihan oleh Mama.

"Kenapa?" Alya terlihat heran.

Aku menoleh ke sisi kanan, Demas mengangkat bahu dan menyerahkan jawabannya padaku. "Soalnya belum tentuin bulan dan tanggal," kataku akhirnya.

"Tahun ini?"

"Iya."

"Kenapa belum?"

"Ehm, pikir-pikir aja dulu. Gue ... nggak tahu deh, perasaan kok cepet banget gitu," ungkapku jujur. Untungnya Alya tidak tercengang mendengar pernyataanku barusan. Mungkin dulu dia juga begitu, merasa waktu bergerak terlalu cepat.

ENCHANTED | EndDonde viven las historias. Descúbrelo ahora