Figuran 10

30.9K 2.9K 16
                                    

Hari ini hari Sabtu, Laila dan Rahayu mengayuh sepeda untuk menghantarkan pesanan orang-orang.

Rahayu sudah membungkus tiga box kue rasa strawberry yang akan di antarkan oleh Laila.

Sedangkan Rahayu akan mengantarkan kue rasa Mentos, sebenarnya Rahayu agak ragu dengan pesanan itu, namun karena sang pembeli meminta kue tersebut di buat dengan rasa Mentos dengan yakin Rahayu membuatnya.

Seperti yang sudah di ketahui sebelumnya, kehadiran Laila terus membuat usaha mereka berkembang, seperti sekarang mereka sudah memiliki toko kue sendiri yang hanya akan buka setiap hari Sabtu dan Minggu, mereka juga menerima pemesanan secara online.

Karena hanya hari itu mereka bisa membuat kue, rata-rata pelanggan mereka meminta kue dengan jumlah lebih dari satu box hal itu tentu membuat mereka senang.

"Ini cuma tinggal di antar aja ya nak," ujar Rahayu ketika mereka memberhentikan sepeda mereka di simpang empat.

"Bude mau antar pesenan ke arah timur, kamu antar pesenan ke arah barat, lokasinya udah bude kirim lewat DM ya."

Laila mengangguk dengan semangat, sebenarnya suami Rahayu tidak memperbolehkan Laila ikut menghantarkan pesanan, namun karena Laila terus membujuk pria paruh baya itu, tak lupa juga dengan terus meminta dengan wajah melasnya, hingga ia di beri izin, asalkan berhati-hati.

"Ingat, cuma antar, uangnya udah di transfer ke bude."

"Siap komandan!"

Rahayu terkekeh mendengar seruan penuh semangat milik Laila, mereka kemudian mengayuh sepeda mereka dengan arah yang berbeda.

Laila membuka ponselnya, kembali mencocokkan alamat yang tertera di ponsel dengan yang ada di depannya.

"Ini rumah atau istana?"

"Besar banget, gajah aja pasti muat."

Laila sibuk memperhatikan rumah itu dari balik pagar tinggi, ia tampak seperti anak kecil yang melihat sesuatu yang sangat luar biasa.

Tak lupa jari-jari kecilnya melingkari pagar besi itu.

"Dek?"

"Eh, pak anu Laila itu, anu." Laila panik sendiri, ia dengan buru-buru membuka ikatan box kue dari kursi belakang sepedanya.

"Laila mau antar kue pesenan pak."

Satpam itu melirik gadis itu, tampak ia sedikit terkesan melihat gadis itu yang tampak bersemangat bekerja.

Pasti anak ini sangat berbakti pada orang tuanya, orang tuanya pasti bangga, begitulah pikir pak satpam.

"Bentar ya Dek, bapak minta konfirmasi dulu apa bener ini memang pesanan dari sini atau bukan."

Laila mengangguk, ia tentu tau orang yang memiliki rumah sebesar ini pasti memiliki musuh banyak yang iri dengan kemegahan rumah sang pembeli kuenya.

"Wah ternyata pembeli kue Bude kali ini dari kalangan keluarga ber-uang," batinnya takjub.

"Silahkan masuk Dek."

"Laila cuma nganter," ujarnya.

"Tapi nyonya suruh masuk sama pengantar kuenya."

Laila dengan gugup memperbaiki pakaiannya, ia dengan sedikit agak gugup membawa tiga box kue dengan hati-hati.

'Kalau kuenya jatuh, pasti Bude bakal marahin Laila, dan ga bolehin Laila ikut antar kue lagi', pikirnya.

Tok

Tok

Tok

"Ha-halo Laila ke sini antar Kue," ujarnya sedikit gugup.

Sungguh ini pertama kalinya ia ikut mengantarkan pesanan, ternyata sedikit menguji mental juga.

Clek

Pintu terbuka, di sana terlihat seorang wanita paruh baya yang memiliki rambut pirang sebahu menatapnya dari atas sampai bawah.

"Dengan ibu Diana?"

Wanita paruh baya itu mengangguk, ia mempersilahkan Laila masuk, ia mengintruksikan kepada Laila agar box kue itu di letakkan di meja.

"Kamu masih sekolah?"

Laila yang mendengar itu berbalik menatap sang pembeli kuenya, lalu kemudian ia menggelengkan kepalanya pertanda jawabnya tidak.

Diana menaikkan sebelah alisnya bingung, kalau di lihat-lihat gadis ini seumuran dengan anaknya.

"Laila udah berhenti sekolah."

Diana mengangguk, seperti ia sedikit menyakiti perasaan gadis itu, lihatlah sekarang gadis itu malah mencebikkan bibirnya dengan wajah tertunduk.

"Laila mau aja sekolah, tapi sadar diri sekolah pasti butuh uang banyak," batin gadis itu.

"Ma?"

Diana maupun Laila mengalihkan perhatian mereka ke arah suara, di sana terlihat seorang pemuda yang memiliki rambut dengan warna yang sama dengan Diana.

"Dia anak saya, namanya Silver."

Diana memperkenalkan anaknya kepada gadis yang mengantarkan kue pesanannya.

"Kue itu dia yang minta."

Laila hanya mengangguk canggung, ia sebenarnya ingin pergi dari rumah ini dengan cepat, namun entah mengapa ketika pemuda itu mendekat ia semakin gugup.

"Kue Silver mana?"

Diana melirik ke arah meja, tempat Laila meletakkan kue itu, Silver yang melihat itu langsung mengambil kuenya dengan semangat.

Ia mengambil sendok dan langsung memakan kue itu, mata pemuda itu tertutup dengan bibir yang mengukir senyum, bukannya terlihat baik, hal itu malah terlihat menyeramkan di mata Laila.

"Suka!"

Laila sedikit terkejut dengan respon laki-laki itu yang agak berlebihan.

"Makan."

Laila membulatkan matanya dengan mulut sedikit terbuka, bukan karena menerima kue itu, tapi karena reflek ia melakukan hal membodohkan itu.

Silver yang salah paham, mengartikan mulut itu terbuka tanda menerima kue itu dengan senang hati memasukkan potongan kue itu dari sendok bekasnya sendiri.

Diana yang melihat itu memicingkan matanya, selama tujuh belas tahun ia tidak pernah melihat anaknya memiliki komunikasi yang baik dengan sosok perempuan kecuali dirinya sendiri.

Beralih ke Laila yang masih syok, ia seperti di programkan untuk mengikuti keinginan pemuda itu ketika di sondorkan sendok berisi kue lagi.

Ekhm

Silver yang kaget dengan tindakannya sendiri, secara refleks memasukkan sendok bekas mulut Laila ke dalam mulutnya sendiri.

"Em, manis."

"Lebih manis dari pada kuenya."

Silver menatap bibir gadis yang barusan ia suapi itu.

"Apakah jika di coba rasanya akan tetap sama?" batin Silver menatap bibir Laila tanpa berkedip.

____________

Figuran? Yeah it's me. Where stories live. Discover now