Gggrrrrr!

Demas tersenyum menatap wajahku dan Inas, lalu menatap wajah gadis manis di sampingnya. "Intan kenalin, ini teman Mas di kantor. Zoya dan Inas." Ucapnya ramah. "Intan ini adik gue, lagi ikut seminar di sini."

"Oh, adik?" sahut Inas cepat.

Mendengar itu mataku langsung melebar. Jadi cuma adiknya, bukan pacar baru? Aku malu dengan kebodohanku yang telah salah berasumsi.

"Iya. Aku adiknya Mas Demas." Intan mengulurkan tangannya, menjabat tanganku dengan lembut.

Kelihatannya adik Demas seumuran denganku ya, atau lebih muda sedikit? Wajahnya manis, persis kayak abangnya.

"Kalian lagi cari makan?" tanya Demas dengan raut senang.

"Iya. Tapi tadi mampir dulu ke toko sepatu, ini mau makan." Jawab Inas apa adanya, jujur sekali dia.

"Bareng aja, biar rame. Aku juga mau tanya-tanya sesuatu sama Kak Zoya dan Kak Inas." Intan terlihat ramah sekali, senyumnya masih terlihat di bibirnya yang berlipstik pink.

"Tanya apa? Gue bukan wikipedia berjalan lho, Tan." Sahut Inas dengan candaan.

Sementara itu aku cuma mesem dan sempat melirik Demas sekilas. Oh no! Ternyata dia benar-benar mengawasiku dan tak takut ketangkap oleh adiknya sendiri.

Kuusap lengan dengan gelisah. "Nas, gue balik aja. Lupa, tadi dipanggil Mas Damar." Ucapku bohong.

Demas seolah bisa membaca gelagat kebohonganku, dia mengerutkan alis dan berucap santai. "Masih jam istirahat, Damar juga lagi ganjel perut kali."

"Iya, Joy. Lo kenapa sih buru-buru amat? Katanya pusing di kantor terus, giliran keluar minta balik?" Inas terheran mendengar penolakanku. Aduh, dia tidak akan paham situasiku saat ini.

Aku kan sedang ingin menghindari Demas yang sepertinya berpotensi jadi buaya baru seperti Rio. Pada awalnya bilang suka, tapi setelah bosan dia akan mencampakkan aku begitu saja dan mencari gadis lain untuk diajak jalan, lupa denganku yang tersakiti oleh perbuatannya.

"Gue harus siapain bahan sebelum nemuin PM, nggak sembarangan." Cetusku menjawab ucapan Demas.

"Joy, lo nggak mau ikut makan?" Inas menyentuh lenganku, menatapku penuh permohonan.

"Nggak, gue balik aja. Gue makan di kantin nanti." Balasku cepat. Kutatap wajah Demas yang juga sedang mengawasiku. Aku kan lagi menghindari orang itu, kenapa harus nekat satu meja makan sama dia. Aku tidak mau usahaku gagal dan berakhir bencana, duka lara nestapa. Aku mau pergi saja dan pulang ke habitatku. "Dah, gue duluan ya!" kataku sambil melangkah mundur.

"Hati-hati, Kak Zoya." Ucap adiknya Demas, ia tersenyum hangat.

Melihat Intan yang terlihat lugu, aku tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Sepertinya dia baik, tidak seperti kakaknya yang aneh dan seperti punya dua kepribadian.

Aku tidak bertemu Demas lagi sampai sore tiba. Kini kakiku sudah menginjak lantai rumah, ponselku berdering ketika hendak membuka pintu. Kucari benda pipih itu, nama Demas muncul di layar. Masih kusimpan nomornya untuk kenang-kenangan.

Mau apa lagi ya dia?

Tanpa pikir panjang aku mengangkat teleponnya, siapa tahu ini soal kerjaan. Semua project-ku jatuh ke tangannya, dia yang mengaudit dan memastikan aplikasi yang timku buat bisa dirilis tanpa kendala.

"Ya?" sahutku setelah menempelkan ponsel ke telinga kanan.

"Sudah pulang?"

"Hem." Aku membuka pintu dengan kunci yang kubawa, masuk ke dalam dan mengunci pintunya lagi.

"Lo masih kesal soal waktu itu?" tanyanya membingungkan.

"Yang mana?"

"Di tempat gue," balasnya lebih spesifik.

Aku meneguk ludah pahit. "Nggak. Ngapain mikirin hal konyol kayak gitu? Nggak penting." Paparku bertolak belakang dengan perasaanku sendiri. Aku jadi pandai berbohong sejak merasakan sakit hati pada lelaki ini.

"Terus kenapa lo sengaja bikin jarak?"

Aku mendesah keras. "Lo cuma mau bahas ini?"

"Iya. Gue perlu ngomong berdua sama lo. Bisa, kan?" ungkapnya dengan nada memaksa.

"Nggak. Gue nggak mau dan nggak bisa." Tegasku. "Nggak ada lagi yang perlu kita omongin, kita bukan teman, kita cuma kerja bareng di project-nya Good Life aja." Aku menangkap helaan napasnya yang berat.

"Only one chance, Zoya." Katanya.

Aku menggeleng dan mengusap air mata yang sudah membasahi pipi, kutahan bibirku agar tidak bicara lagi.

"Kasih gue kesempatan satu kali aja buat perbaiki semua yang sudah gue buang. Gue benar-benar nggak tahu harus gimana lagi, Zoya. Gue nggak bisa mendam ini, kita perlu ngomong." Jelasnya dengan suara sedikit serak. "Zoya ... please," imbuhnya beberapa detik kemudian.

Aku menurunkan ponsel dari telinga, membiarkannya tetap menyala tapi tidak mengatakan apa-apa. Ketika aku sampai di kamar, panggilan sudah berakhir.

Apakah enak rasanya dibuang, Demas? Seperti itulah yang aku rasakan saat kamu nyakitin aku, nggak ngasih satu kesempatan buat perasaanku. Sekarang kamu ngerti kan kenapa aku mati-matian ngindarin kamu? Karena saat melihat kamu hatiku tambah sakit.

Mas, kamu pasti cuma pura-pura suka sama aku! Bilang, iya.






_______

GIMANA, ADA YANG MAU KASIH SUMPAH SERAPAH ATAU NASIHAT BAIKNYA BUAT DEMAS?

WAKTU DAN TEMPAT DIPERSILAKAN YA



AKU BAKAL SIAPIN HIDDEN PART LAGI DI KK,
MAU DI POST KAPAN YA?

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now