"Mobilnya?"

Aku mengangkat bahu, "kayaknya bocor."

Tanpa basa-basi lagi dia sudah berjalan ke mobilku, mengecek semua ban dan berhenti di bagian belakang samping kanan. "Ada ban serep?"

"Nggak usah, gue mau naksi, itu besok lagi." Jawabku sambil berjalan ke sisinya. "Gue juga nggak tahu punya ban cadangan atau enggak." Memang begitu kenyataannya, aku tinggal pakai mobil ini, semua sudah beres oleh Mang Maja.

"Kunci mobil lo?" Demas menengadahkan tangannya yang baru keluar dari saku celana.

Aku melangkah mundur. "Mau apa?" anehnya tanganku segera menyerahkan benda yang dia minta. Kulihat Demas membuka bagasi mobilku dan mengeluarkan ban cadangan dari sana, Pak Maja penuh persiapan juga.

Setelah meletakkan ban baru di sisi mobil, Demas berjalan ke lorong lain, aku mengikuti langkah kakinya. "Mau apa?" tanyaku sekali lagi.

"Gue ada dongkrak, lo duduk mobil gue aja, takut lama." Suruhnya sambil membuka bagasi mobil Fortuner hitam yang sepertinya masih baru. Dia mengeluarkan dongkrak dan kunci roda yang tersimpan di sana, menutup pintu bagasi kembali.

Aku tidak menuruti perintahnya, terus mengikutinya sampai dia berjongkok di dekat ban belakang mobilku. "Gue di sini aja. Lo bisa benerin?" tanyaku waswas, mengabaikan rasa penasaranku soal Fortuner yang dibawa Demas, kayak kenal monor plat-nya. Punya orang kantor sini juga, kan? Entahlah.

"He-em." Demas menjawab tanpa melirikku. "Gue mantan montir di sekolah," lanjutnya sambil memasang dongkrak dengan benar.

"Anak motor?" aku berdiri agak jauh dari punggungnya, dan mataku sibuk mengawasi pekerjaannya.

"Nggak juga, anak baik-baik." Sahutnya enteng.

Aku menahan senyumku, menatap langit-langit basement. Dia ngajak bercanda gitu?

Kakiku tetap berdiri dan tak kemana-mana, terpesona menatap Demas yang terlihat terampil mengganti ban. Mulai dari mengendurkan semua baut ban, mengangkat mobil dengan dongkrak, mencopot ban lama dan memasang ban baru, menerapkan baut kembali dan mengencangkannya. Saking seriusnya, aku sampai tak sadar Demas sudah berdiri menatapku.

"Selesai." Dia mengusap keningnya yang berkeringat dengan lengan kiri.

"Tunggu!" cegahku saat dia akan memasukkan ban bekas ke bagasi. Aku mengeluarkan tisu dari dalam tas, memberikannya pada Demas.

Dia menerima tisuku, mengusap kening dan tangannya sampai bersih. "Yuk!" ajaknya setelah semuanya beres.

"Arah kita beda, kan?"

"Gue antar ke bengkel, isi angin dulu. Lo tahu bengkel dekat sini?"

Aku menggeleng. "Enggak sih."

"Gue tahu. Ban lo harus isi angin, biar jalannya enak." Jelasnya sambil melirik jam di pergelangan kiri. "Masih buka sih jam segini."

"Oke. Makasih."

"Hem." Demas menungguku masuk ke mobil.

Sebelum membuka pintu, aku mendapat telepon dari seseorang. Kaget juga saat tahu siapa yang menelepon dalam situasi gerah begini. "Kenapa, Yo?" ucapku setelah menempelkan ponsel ke telinga kanan.

"Di mana?" sambar Rio.

"Lantai parkir."

"Kok masih di sana?"

"Tadi ada masalah, ban bocor. Tapi udah dibantu sama ... Demas." Lirihku pelan, orangnya masih berdiri di sini.

"Terus masih di sana?"

"Sudah mau balik kok. Kenapa telepon? Penting?"

"Penting buat gue, kangen aja."

"Kampret!" tanpa sadar aku sudah memaki cowok lain di depan Demas. Dia tampak tak peduli, syukurlah.

"Baru pisah sudah kangen gue, serius."

"Shut up! Gue mau nyetir, sudah ya." Aku membuka pintu mobil.

"Mobilnya sudah nggak apa-apa?"

"Aman. Sudah ya, gue tutup."

"Nanti gue telepon lagi kalau lo sudah sampai rumah."

"Jangan! Gue mau istirahat, ngantuk!" cegahku, siapa juga yang pengin ditelepon cowok yang baru curhat kalau keperjakaannya sudah hilang? Okay, ini bukan tentang Rio masih perjaka atau tidak, aku memang tidak mau diganggu saja olehnya.

"Gue temenin lo bobok. Boleh?" ajakan Rio mulai melantur dan menjurus.

"Amit-amit, Daryo!" sentakku sepenuh hati.

Rio tertawa terbahak-bahak, aku memutus sambungan begitu saja.

Klik.

Aku sempat menoleh pada Demas sebelum masuk ke mobil. "Katanya mau nganter?"

Dia mengangguk, dan berlalu ke mobil ... entah mobil siapa sih itu? Seingatku, tidak pernah ada Fortuner di halaman rumahnya.

Aku mengikuti mobil Demas yang berada di depanku, menuju bengkel pada pukul sepuluh malam. Beruntung sekali kalau ada bengkel terdekat yang buka sampai selarut ini. Dan ternyata memang ada! Demas baru saja menghentikan mobilnya di depan bengkel yang tidak pernah aku kunjungi, aku memarkir mobil agak maju dan buru-buru turun.

Terlihat Demas sibuk mengurus ban baruku, ia berbicara dengan montirnya. Ban segera diisi angin dan Demas membayarnya di meja kasir.

"Makasih banyak." Ucapku sungguh-sungguh.

"Hem. Langsung baik, kan?"

"Iya." Balasku disertai anggukan.

"Hati-hati."

"Ya, lo juga." Aku membalik badan, masuk ke mobil. Saat akan menyalakan mesin, ponselku berdering keras, aku mengorek isi tas di samping sampai menemukan benda berisik itu.

Rio lagi yang menelepon. Kali ini aku tidak mau mengangkatnya. Dasar manusia nggak tahu diri dan sopan santun. Kenapa sih yang tipe begini harus muncul dikehidupanku? Lelah rasanya. Kubiarkan ponsel tetap berdering dan melemparnya ke jok.

Sementara itu Demas membunyikan klakson agar aku segera jalan.

Sabar dong, aku lagi kesal nih. Kamu nggak tahu apa aku lagi pusing karena kamu baiiik banget hari ini. Nggak biasanya!



...

GIMANA KALAU ZOYA NGGAK MOVE ON JUGA?

PADAHAL ADA DARYO YANG SABAR NUNGGUIN 😄😁

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now