Sampai saat ini aku tidak lupa soal Demas. Tapi setidaknya hatiku sudah tidak sesakit waktu menerima penolakannya, aku sudah lebih rasional, waras, dan sehat walafiat.

Mukena langsung kulipat begitu selesai shalat dan berdoa dengan banyak permintaan, salah satunya supaya aku bisa menyelesaikan project-ku dengan lancar dan tidak ada aral melintang, juga tidak menemukan bug-bug tidak penting yang kehadirannya hanya membuat sakit kepala.

Inas menyenggol lenganku, menunjuk ke depan dengan dagunya. "Mas Lukas masih lajang sampai sekarang," bisiknya.

"Terus?" aku mengernyitkan kening sembari menatap punggung orang yang Inas maksud.

"Wajahnya kebule-bulean, tipe lo banget!"

"Bukan karena gue pernah sama bule kayak Doen, gue jadi ngincer model bule sampai sekarang. Ogah! Sudah tua lagian." Celetukku seenak udel sendiri.

Inas terkikik pelan, menutup mulutnya dengan satu tangan dan mengajakku buru-buru keluar dari mushola sebelum mendapat pelototan orang sebelah. "Tua seberapa sih? Paling awal tiga puluhan, Joy."

"I don't care!" aku mengibaskan tangan dengan malas. "Buat lo aja kalau mau."

Inas berjalan cepat di depanku, lalu memutar badannya demi menatapku. "Sori. Gue juga nggak mau. Ada hal yang lebih penting dan jadi prioritas gue saat ini!" tekannya, lalu menarik lenganku menuju tangga. "Gue laper, langsung ke kantin aja."

"Kantin pakai lift aja, capek turunnya," keluhku.

Inas melirikku tak percaya. "Lo jompo banget sih, Joy! Katanya rajin banget workout."

Aku menunjuk keningnya yang terlipat. "Kapan gue bisa workout lagi kalau tiap hari pulang jam sebelas malam dan weekend gue tepar!"

Inas terkikik geli, menyetujui ajakanku menuju lift.


---


Mas Arda baru saja meneleponku bahwa istrinya sedang berjuang di rumah sakit untuk melahirkan. Dia meminta aku ikut mendoakan keselamatan istri serta anaknya.

"Siap, Mas. Gue doain Alya sekarang!" sahutku dari balik meja kerja, tak peduli orang-orang merasa terganggu ketika suaraku menggelegar di divisi yang sunyi ini, semua orang fokus bekerja di depan layar dan lembaran task maha penting.

Setelah laporan dari Mas Arda kuterima, aku langsung menuju ruangan Inas, partner in crime-ku di kantor ini.

"Sis! Ponakan launching." Kataku setelah mendorong kursi kerja Inas dan membuatnya terlonjak kaget.

Dia menatapku sambil mendongak. "Serius?"

"Iya. Yuk!" ajakku bersemangat.

"Sekarang? Gue lagi urus data." Inas menunjuk laptop di depannya.

Kepalaku cenat-cenut menatap pekerjaan Inas. "Kapan dong?"

"After office aja, kabur jam setengah lima." Dia meraih pergelangan tanganku dan melirik jam di sana, "tiga jam lagi."

"Oke." Aku meninggalkan Inas, berjalan ke pintu keluar. Saat mengingat ini tanggal berapa, aku langsung membalik badan. "Sis!" pekikku tanpa sadar. Semua orang sampai menatapku, juga menatap Inas yang terlihat kesal plus malu.

Inas mendekati pintu dan mengajakku keluar dari divisinya yang sibuk. "Apa?!" tekannya sambil memelotot ngeri.

Aku menyengir kuda. "Dia ultah kan hari ini?"

"Oh, sekarang 12 Juli ya?"

"Yup. Mampir ke toko kue nanti!" aku mencubit pipi Inas yang bulat.

"Aw!" Inas mengusap-usap pipinya, dengan senang hati dia mengangguk dan mengacungkan jempol mungilnya. "Sip!" katanya.

Keren juga Alya, anaknya lahir tepat di hari ulang tahunnya. Kok bisa? Ya bisa saja sih, namanya juga takdir.

"Hah..." kulepaskan napas yang sempat menyesakkan dada. Kini pantatku sudah duduk kembali di kursi kerja dengan ponsel di tangan, menunggu Inas menghampiri mejaku dan kabur ke rumah sakit.

Dadaku sempat terasa sakit begitu mengingat Demas, cowok itu pasti ada di sana, mengunjungi sepupunya yang baru saja lahiran. Selama aku masih jadi sahabat Alya dan selama Demas masih saudara Alya, kami akan bertemu lagi, bersinggungan tanpa perlu ngobrol seperti dulu.

Ah, terserahlah. Aku tak peduli jika nantinya ada Demas di sana. Aku datang memang untuk sahabatku dan ponakan baruku. Aku tidak akan jatuh hati pada cowok bernama Demas lagi, tidak akan pernah!

"Yuk!" Inas meletakkan tasnya yang penuh di mejaku. Dia membenarkan peniti jilbab segi empatnya dan menatapku heran. "Kenapa lo?"

"Nggak apa-apa," sahutku dengan gelengan. Aku tak ingin cerita pada siapapun bahwa aku sedang galau memikirkan hadirnya Demas di rumah sakit. "Ingetin buat ke toko kue dulu, Sis!" kataku sambil melangkah keluar ruangan, meninggalkan Inas yang masih mengaca pada cermin kecil di mejaku.

"Iya, tapi tunggu!" pekikan Inas membuatku berhenti dan sabar menunggunya. "Buru-buru banget sih lo, Alya nggak akan kemana-mana." Inas menyusulku dengan langkah cepat.

"Macet!" sahutku cepat.








SUDAH VOTE?
MAKASIH YAAA YANG TANPA DIINGETIN, BAIK DEH

KAPAN-KAPAN AKU DOUBLE UP, KALO LAGI SENGGANG DAN HAPPY BACAIN KOMEN KALIAN

KAPAN-KAPAN AKU DOUBLE UP, KALO LAGI SENGGANG DAN HAPPY BACAIN KOMEN KALIAN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now