"Nggak makan?" tanyanya sambil mengunyah nasinya.

Aku menggeleng, menarik cup green tea-ku dan menyesapnya perlahan. Aku hanya boleh makan satu slice pizza kalau tidak mau repot keesokan harinya. Belakangan aku sedang malas olahraga, sekadar jogging di sekitar kompleks saja tidak bisa, kakiku terasa berat keluar dari sarang di pagi hari. Besok hari Minggu, inginnya tetap di rumah seharian atau jalan berdua lagi dengan Demas.

Aku melirik Demas yang kini mengambil potongan pizza ketiganya. Setelah menghabiskan nasi dan ayam penyetnya, dia masih bisa nemampung pizza lagi, hebat!

"Saladnya nggak mau dimakan?" dia melirik salad buah di meja. Sudah tidak dingin lagi.

"Kenyang," balasku seraya menggeleng.

"Taruh di kulkas aja kali ya? Buat nanti kalau lapar lagi," selorohnya sambil berdiri.

Aku terkekeh mendengarnya. "Makannya sebanyak ini ya?" padahal sudah tahu, tapi aku tetap bertanya lagi. Apakah dia punya siluman dalam perutnya, heran deh, kok bisa perutnya itu menampung apa aja yang ada di atas meja?

Demas tidak menggubris selorohanku, dia mengambil salad dan turun ke bawah. Tak lama dia kembali dengan sebuah informasi maha penting. "Adam pulang," katanya datar.

"Pulang?" aku menatap arah balkon dan mendengar deru mobil Adam. "Kita berdua dong?" kutatap wajah Demas yang tetap tenang.

"Hem," gumamnya.

Yes! Aku bersorak dalam hati. Berarti saatnya aku melancarkan aksiku malam ini, sebuah rencana dadakan yang kususun tadi siang, ketika aku mengurung diri di kamar sambil memikirkan wajah Demas tersayang.

Tenang dulu, Zoya. Jangan buru-buru. Aku menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya dengan lambat.

Demas menarik green tea-nya, meminum sampai isinya habis.

Aku mencengkeram bantal dalam pangkuan dan menutup mulut, rasanya nervous, seperti sedang duduk di depan calon mertua saja. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin menyatakan perasaan pada laki-laki yang aku suka. Ini sungguh di luar dugaan, aku sudah tidak bisa lagi mengontrol hatiku, pikiranku, dan langkah kakiku. Semua hanya tentang dia.

Demas mengambil remote televisi, sepertinya ingin menghilangkan kekosongan di antara kami. Tapi aku menahan tangannya, menjauhkan remote ke ujung meja. Dia sampai menatapku lama dan berhenti di satu titik, di mataku. Dan kulihat di matanya ada bayanganku.

Kegugupan semakin melandaku saat dia belum mengalihkan tatapannya. "Ehm, Mas..." lirihku kelu.

Demas mengusap tengkuknya, dia terlihat tidak tenang, dia melihat hal lain dan berusaha menghindari tatapanku.

Aku tetap ingin melancarkan aksiku, tidak ada hari esok, aku ingin mengatakannya saat ini juga. "Gue suka sama lo." Kata itu meluncur mulus dari bibirku.

Demas menunduk dalam, terdiam.

"Lo tahu, kan?" aku yakin dia tahu betapa aku tergila-gila padanya, bahkan sampai rela datang ke Tebet setelah balik dari kantor, juga rela naik ojeg demi bisa diantar pulang olehnya. "Selama ini gue berusaha nunjukin itu ke lo. Gue beneran suka sih sama lo." Paparku lagi dengan suara tenang dan percaya diri. Entah pengakuan ini terlalu cepat atau tidak, yang jelas aku sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk berkata jujur padanya.

Demas mengangkat wajahnya, menatapku kosong. "Sori, gue nggak bisa."

Jantungku berhenti berdetak. "Kenapa?" kataku lemah.

Demas memberi gelengan, tidak mau menjelaskan.

"Ada orang lain?" tebakku.

"Bukan."

"Terus apa?"

Demas kembali diam, mematung. Aku membeku dan hatiku terasa dingin, nyaris beku. Aku pikir selama ini Demas sudah ada rasa, ternyata aku salah. Aku hanya terlalu percaya diri dan terlalu banyak berharap. Jadi, selama ini dia menganggap aku ini apa? Cuma teman? Aku punya banyak teman lelaki, tapi aku tidak pernah rela datang ke mereka di saat tubuhku lelah dan ingin segera berbaring di atas kasur. Demas bukan hanya teman buatku, tapi seseorang yang sangat berarti dan spesial.

Ya Tuhan, apa artinya Zoya untuk seorang Demas? Seketika darahku berhenti mengalir, tubuhku dingin dan tak berdaya.

Kutatap wajahnya yang tetap tenang. "Kasih gue alasannya!" aku menuntut, benar-benar tidak tahu malu.

"Gue nggak bisa aja, Zoya. That's it."

"Gue tahu, lo suka Alya kan?" dengan terpaksa aku membongkar kartunya.

Demas menatapku tajam, rahangnya mendadak mengeras. Bukan rahasia lagi, semua orang sudah tahu, termasuk Mas Arda. "Itu hanya masa lalu," bantahnya.

"Terus kenapa lo nolak gue? Apa alasannya?" rasanya aku ingin membedah kepalanya, mencari tahu apa yang dia sembunyikan dariku, apa yang membuat dia menolakku dan benar-benar tidak mau mencoba "jalan" sama sekali. Jalan sebagai pasangan. "Apa nggak ada kesempatan buat gue?" ungkapku dengan air mata di pipi.

Demas terkejut saat melihatku sudah menangis. "Nggak perlu gue jelasin, Zoya." Dia menyerahkan selembar tisu padaku. Aku tidak mengambilnya, membiarkan tangannya tetap terulur di udara yang hangat. "Dan jangan bawa-bawa Alya dalam hal ini, dia bukan alasan kenapa gue nggak bisa sama lo," tegasnya. Dia mengembalikan tisu ke meja.

"Tapi ... kenapa?" tanganku meremas bantal dengan kasar, air mata semakin membanjiri wajahku, aku mengusapnya dengan tangan dan membuat riasan di wajahku hilang.

"Gue antar balik ya? Pakai mobil lo aja." Tiba-tiba Demas sudah berdiri.

Aku ikut berdiri, meraih tali tasku di meja. "Nggak perlu."

"Lo lagi nggak stabil, bahaya nyetir dengan kondisi kayak gini," nasihatnya lembut.

Aku tetap menggeleng, menolak diantar pulang. "Lo beneran nggak mau jelasin alasannya?" tanyaku untuk terakhir kali, aku juga sudah putus asa mendorongnya sampai ke titik ini.

Aku salah. Aku pikir Demas sudah membuka hatinya, dia terlihat baik dan seperti memberi harapan padaku. Aku salah paham, aku terlalu naif, agresif, dan percaya diri.

Demas memberiku gelengan atas pertanyaanku sebelumnya, matanya terlihat redup.

"Oke. Kita sampai sini. Lo nggak perlu jelasin apa-apa, itu cukup buat gue." Kataku sambil melangkah ke arah pintu, lalu membalik badan di sana. "Makasih sudah jadi teman selama beberapa bulan belakangan."

Demas mengikutiku, mengejarku sampai teras. "Gue antar ya?" dia meraih pergelangan tanganku, menekannya agak kencang.

"Nggak perlu." Aku melepaskan genggamannya dengan tangan kiri. "Lo dengar kan apa kata gue? Cukup ... sampai di sini." Kulangkahkan kaki menuju mobil yang akan menjadi saksi tangis patah hatiku malam ini.

Aku pergi, menyerah, kalah.

Perasaanku hancur sehancur-hancurnya. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa seputus asa ini. Rasanya sungguh luar biasa kacau, seperti ... mati.








HARI PATAH HATI GENGS, JANGAN KETAWA DULU SAMPAI ZOYA SEMBUH YA...

NGGAK USAH IKUT NANGIS JUGA SIH. SELOW AJA.

SILAKAN KOMEN KALIAN BUAT SLAMET ALIAS DEMAS TERSAYANG...

MAU DIBIKIN APA DEMASNYA HABIS INI? 😁😆

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now