Aku berjongkok untuk melihat apa yang terjadi. Ah, dugaanku benar. Demas baru membakar surat cinta dari mantan pacarnya, ada robekan kertas kekuningan dengan tulisan tangan yang sangat rapi dan jelas. Aku membaca potongan kertas itu dan seketika syok, sampai-sampai aku terduduk di lantai balkon ini.

Alya.

Ada apa dengan Demas dan Alya? Kenapa surat ini ada di sini? Jangan-jangan...

Banyak spekulasi yang langsung memenuhi ruang di kepalaku, aku sampai pusing. Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke perpustakaan milik Demas, ruangan itu selalu terbuka karena sengaja tidak diberi pintu. Ini pertama kalinya aku masuk ke salah satu ruang rahasia cowok itu. Pasti ada sesuatu yang bisa aku temukan di sini.

Aku melihat-lihat sambil mencari sebuah buku yang kiranya aneh. Di sudut belakang ada tumpukan dus, entah apa isinya. Sisa ruangan berisi rak-rak yang menempel pada dinding, tidak terlalu tinggi tapi menampung banyak buku. Mungkin dari buku kuliahnya sampai buku yang sering dia beli di toko buku online dan offline. Di bagian tengah ada sebuah meja ukuran sedang dan satu kursi duduk. Di atas meja ada paket buku yang baru datang dan sebuah buku jurnal dengan sampul hitam. Aku langsung membuka buku tersebut. Isinya hanya jadwal kuliah Demas di masa lalu, juga catatan-catatan penting dari dosen, rutinitas harian yang dia tuangkan dalam tulisan, agenda tahunan, project kampus dan banyak lagi. Tidak ada yang aneh.

Aku berniat menumpuk jurnal tersebut di atas paket bersampul cokelat, namun aku malah menemukan sepucuk surat di bawah buku itu, kertasnya sudah buram, tinta birunya pun hampir pudar.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membacanya.

Surat itu ditulis lima tahun lalu, saat aku masih kuliah, dan pengirimnya juga masih kuliah di kampus yang sama.

Benar, ini surat dari orang yang sama. Alya.



Met, makasih ya sudah baik sama gue.

Gue tahu lo baik karena sayang sama gue.

Sayang aja, Met. Nggak lebih, kita sodara sampai mati.

Jangan menghindar karena kita nggak bisa bersama ya, tetap akur sampai tua.

Met, tetap jaga gue ya. Sampai gue nemuin orang yang bisa gantiin lo nanti.

Di makan cokelatnya.

HBD, Mamet segalanya!!



Aku mengusap wajah yang tiba-tiba basah, melipat kertas itu kembali dan meletakkannya pada tempat semula. Juga meletakkan jurnal di atasnya. Benar-benar seperti semula. Aku menarik napas dalam-dalam sampai dadaku merasa lega dan sesakku hilang.

Al, sori. Gue sudah membuka rahasia lo dan Demas.

Sori banget gue harus tahu ini.

Ini memang salah gue.

Lebih baik memang nggak tahu sama sekali daripada nyesek seperti ini.

Sumpah! Lebih baik memang nggak perlu cari tahu.

Setelah wajahku bersih dari bekas air mata, aku keluar perpustakaan dan mendapati Demas ada di ruang tengah. Dia dan aku sama kagetnya. "Sori, gue lancang." Ucapku merasa bersalah. Semoga dia tidak tanya apa yang sudah kulakukan di dalam sana.

Demas mengangguk, dia malah mengajakku duduk di sofa dan memakan jajanan yang dia beli di luar. "Dari tadi?" tanyanya sambil mengaduk pop mie yang sudah mengembang.

"Nggak kok, baru." Aku mengambil susu stroberi dingin dan meminumnya. "Pop mie banget?" sindirku. Kenapa harus sering makan mie instan kalau di luar banyak orang jual nasi?

"Lagi pengin," balasnya dengan senyuman hemat. Dia memang jarang tersenyum dan pelit! "Mau coba?" tawarnya sambil mengangkat gelas pop mie dari meja.

"Coba di situ?" aku menunjuk cup pop mienya, sempat heran ketika dia menawariku dari cup yang dia pegang.

"Iya. Cuma beli satu."

Kalau makan di sendok yang sama jatuhnya kayak ciuman nggak sih? Aduh, aku jadi membayangkan hal ngawur di depan Demas. Sebelum kujawab, Demas sudah menelan mienya yang masih panas. Ia bahkan menyeruput kuah dari gelas styrofoam.

Aku memilih menyedot susu stroberi sambil melihatnya makan dengan lahap. "Lo sudah makan belum sih, Mas?"

"Belum dua kali," sahutnya enteng, memberi cengiran kecil dan kulihat sudut matanya agak berkerut.

Jantungku mencelus melihatnya semanis ini. Tapi ada rasa sakit yang tiba-tiba menusuk, aku menyesal sudah membaca surat dari Alya.

"Lo nggak bawa mobil lagi?"

Aku memberi anggukan.

"Kenapa?"

"Macet."

"Kenapa nggak langsung balik ke rumah?"

Aku mengedipkan mata berkali-kali.

"Nggak capek balik kerja ke tempat gue dulu?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, meletakkan kotak susu di meja, isinya sudah habis. "Di rumah sepi. Nggak ada sodara. Di kantor ... eh, Alya mau resign!" ucapku cepat, aku menatap wajah Demas baik-baik. Dia hanya mengangguk dan tidak terlihat kaget sama sekali.

"Iya. Arda sudah cerita."

"Kalian dekat?"

"Lumayan. Setelah mereka nikah, gue jadi nambah teman. Tadinya kan nggak kenal Arda." Jelasnya lancar. Apakah dia sudah tidak memiliki perasaan lagi untuk Alya? Kenapa bisa begitu? Apa Alya yang jatuh cinta pada Demas?

Tiba-tiba aku ingin tahu segalanya.

Tidak. Jangan. Aku menahan mulutku agar tidak bertanya tentang masa lalu mereka. Biar itu jadi urusan mereka. Aku orang luar dan tidak berhak ikut campur!

Aku pulang di atas jam sembilan karena besok adalah hari Sabtu. Tadinya aku mau pesan taksi dari aplikasi, tapi Demas menyuruhku menunggu di bawah, di depan rumah ini. Tetangga kanan kiri sudah sepi, tetangga depan pagarnya juga sudah terkunci. Begitu juga dengan Adam, sepertinya dia pulang sejak tadi.

"Yuk!" Demas sudah berada di sampingku, mengunci pintu rumah. "Helmnya dipakai." Dia menyerahkan helm hitam padaku.

"Sori, repotin." Lirihku merasa tidak enak.

"Sekali-kali," katanya sambil menuju motornya.

Aku tersenyum. Setidaknya kami bisa berteman dulu sebelum melangkah lebih jauh. Ya, aku ingin lebih dari ini, aku ingin hubungan kami punya kejelasan dan perasaanku terbalas. Satu lagi, aku ingin melupakan surat yang Alya berikan pada Demas.















MASA LALU DEMAS - ALYA, BISA DIBACA DI CONNECTED

KARENA CERITA INI MEMANG SPIN OFF DARI CONNECTED

DAN KAYAKNYA BAKAL SERING UPDATE DI LUAR JADWAL, SEHINGGA RAJIN CEK NOTIF YA TEMANS!!

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now