"Masa tempat segede gini kamarnya cuma satu?" mataku menatap sisi depan, lebarnya sekitar sepuluh meter, panjangnya tidak tahu.

Demas menjelaskan bahwa di atas ada dua kamar, satu kamar dia jadikan perpustakaan, juga tempat semua barang yang tidak terpakai. Kamar mandinya ada dua, di atas dan di bawah. Di atas juga ada balkon yang luas.

Aku mengangguk ketika dia menjelaskan. Bolehkah aku naik ke sana? Rasanya tidak mungkin dia mengizinkan tamu asing masuk sembarangan.

Hampir dua jam aku menunggu laptop Papa dibetulkan, sembari menunggu aku terus melanjutkan obrolan dengan orang di sampingku. Dari sana aku mendapat informasi bahwa dari kecil Demas hidup dengan orangtuanya di Semarang, kuliah di Jakarta, dan kerja di sini dengan banyak pengalaman, mulai dari developer, analis bisnis, sampai yang terakhir quality assurance.

Saat mengobrol dia jarang menatapku, lebih sering menatap motor anak-anak kuliahan yang terparkir di depan atau gelas merahnya yang kosong. Dia sempat bertanya padaku satu kali. Hanya satu kali.

"Mau minum?"

Ditanya begitu aku langsung mengangguk meski tak begitu haus, dia mengajakku masuk ke dalam, mengambil sendiri gelas dan air dari dispenser.

Dapur miliknya seperti dapur rumah pada umumnya, peralatannya lumayan lengkap. Ada wastafel yang bersih, kompor gas dua tungku, lemari es, beberapa kabinet untuk menyimpan peralatan dapur dan bahan makanan instan, di sudut kiri ada tangga naik ke atas.

Aku menatap tangga kayu yang telihat masih kokoh, meski terlihat seperti bangunan lama, tapi semuanya tampak terawat dan kokoh. Di ujung tangga sana ada pintu yang terbuka sedikit. "Lo sendiri di atas?" meski sudah mendengar penjelasan Adam, aku bertanya lagi pada Demas. Siapa tahu dia menyembunyikan perempuan yang tidak diketahui oleh sepupunya dan orang lain.

"Iya." Balasnya sambil membuka kabinet paling tinggi dan mengambil satu bungkus mie soto.

Aku duduk di kursi meja makan. Meja itu tak terlalu besar, tapi cukup untuk empat orang dengan ukuran badan sedang. Aku menghabiskan minumku dalam diam, sibuk mengawasi aktivitas cowok itu.

Demas mengambil panci kecil dari rak dekat sink. Dia mengisi panci dengan air kran, meletakkan di atas kompor, lalu memasak mie instan rebus dengan telor dua butir.

"Mie instan banget?" tanyaku iseng.

"Praktis aja." Balasnya tanpa menoleh. Dia membuka pintu kukas, mengambil sawi dan cabai rawit, mencuci dan memotongnya, memasukkan dalam panci yang sudah mendidih.

Apakah dia rajin atau memang kelaparan? Selama jalan dengan beberapa cowok, aku tidak pernah melihat mereka memasak di dapur apartemennya sendiri. Mereka lebih suka gofood atau titip makanan padaku jika tahu aku akan datang.

Sebelum mienya matang, Adam memanggilku dari arah depan, laptop Papa sudah beres. Aku agak kecewa, karena itu artinya aku harus berpisah dengan Demas, tidak ada alasan untuk terus berada di sampingnya. Aku sudah kehabisan topik, sementara dia cukup cuek.

Tiba-tiba aku tersenyum sendiri mengingat kejadian Sabtu kemarin, aku sungguhan naksir Demas. Bagaimana kalau weekend ini aku ke tempatnya lagi? Aku yakin kedatanganku nanti akan membuahkan hasil yang bagus, akan ada kemajuan dan dia tidak dingin lagi.

Aku menarik salah satu berkas di dekat laptopku, semangat kerjaku bertambah dua ratus persen hanya karena rencana weekend ini. Apa jadinya kalau aku berhasil membuat dia memberi feedback yang baik? Aku pasti bekerja dengan raut happy sepanjang hari.

Teringat lagi kejadian di mal tempo hari, saat aku tak sengaja menabrak punggung Demas, kurasa itu memang sebuah pertanda bahwa alam ini berkonspirasi untuk menyatukan aku dan dia.

"Kenapa lo?" Alya sudah berdiri di sisi mejaku, tidak tahu datang dari mana, dia memeluk business file seperti memeluk seorang bayi, penuh kehangatan dan kasih sayang.

"Aneh ya?" tanyaku sambil mesam-mesem tak jelas.

"Kayak orang sinting, lihat modul metodologi aja sampai segitunya!" cibirnya kejam.

Aku tak peduli, cengiranku tambah lebar. Sejak bertemu Demas, aku merasa agak sinting. Entah mengapa dia selalu ada dalam pikiranku, ini baru hari Senin, dua hari lalu aku bertemu dengannya, tapi aku sudah ingin menatap wajahnya yang datar-dingin dan sejuk itu.

"Lo lagi dapat project baru?" Alya duduk di tempatnya, tapi tatapannya masih mengawasi berkas di depanku.

"Ini?" aku menunjuk berkas di depanku. "Persiapan buat project selanjutnya, katanya nggak pakai metode lama penelitiannya." Sebagai analis sistem, kami memang harus menguasai beberapa metode penelitian untuk membantu dalam pengerjaan project. Tidak semua project cocok dengan satu metode penelitian. Selain harus bekerja mengurus masalah perusahaan klien, kami juga selalu dituntut untuk terus belajar dan upgrade ilmu serta kemampuan. Memang tidak ada pilihan lain, kami harus cepat belajar dan bergerak.

Tak!

Sebuah penggaris jatuh di mejaku, membuatku menoleh ke belakang, Alya sengaja melemparnya. "What?!" tanyaku mendelik.

Dia menyengir penuh maksud, lalu pandangan matanya mengerling ke arah pintu divisi kami.

"Mampus!" kataku lesu. Setiap pagi Rio sering setor muka di mejaku, dan saat ini dia sedang berjalan kemari dengan cengiran lebarnya.













CERITA INI BAKAL NEMENIN KALIAN KALAU CONNECTED TAMAT AKHIR BULAN

SO, KASIH DUKUNGAN TERBAIKNYA YA TEMANS...

LOVE
R

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang