Rumah model lama itu bercat putih polos, pintu dan jendelanya terbuka, ada bangku memanjang di depannya dan beberapa sandal cowok tertata rapi di rak kayu. Aku melepas alas kakiku dan menginjak lantai yang dingin, memasuki area teras yang sepi.

"Masuk aja, Mbak." Terdengar suara dari arah dalam.

Aku semakin mendekat dan melihat penampakan seseorang berambut ikal sedang menatap laptop di depannya, sementara tangan kanannya memegang obeng ukuran kecil.

"Mau service ya, Mbak?" tanyanya tanpa menoleh.

"Iya." Aku berdiri di ambang pintu, sepi banget tempatnya? Tapi ketika mataku menyisiri setiap sudut, banyak sekali tas-tas berisi laptop yang disimpan dalam etalase kaca dan sudah ada namanya, sepertinya tinggal diambil oleh yang punya.

"Kenapa, Mbak, laptopnya?" kali ini Mas itu menatapku, bahkan mengawasi penampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku cuma pakai blus dan celana kulot, cukup sopan, dan tidak memancing sama sekali. Kecuali warna rambutku yang cokelat terang.

"Keyboard-nya nggak jalan, Mas." Balasku sambil maju dua langkah lagi.

"Nggak jalan dong, Mbak. Kan nggak punya kaki." Mas itu tertawa sendiri.

"Iya sih." Balasku tak habis pikir.

Dia menunjuk kursi plastik di dekat pintu. "Mbak duduk dulu, saya benerin punya pelanggan ini dulu, antre ya, Mbak."

"Iya."

Rupanya dia sedang memasang casing laptop yang sudah selesai dia bongkar. "Mau ditinggal juga bisa sih, Mbak. Mbaknya dari mana?"

"Jagakarsa, Mas"

"Oh, nggak jauh kok."

Nggak jauh sih, tapi kalau macet kan bisa berjam-jam, balasku dalam hati. Kutatap lagi sekeliling, di area dalam sana tampak terhalang oleh tirai putih. Mungkin isinya dapur dan tangga ke atas. Sementara area service ini memakan ruang tamu dan sebagian ruang tengah yang diberi sekat tinggi.

"Mas," panggilku pada si Mas service, nggak tahu namanya.

"Ya?" dia menatapku sekilas.

"Di atas ada orangnya?"

Dia tampak bingung sesaat. "Atas saya mah kosong, nggak ada orang, kan?"

Aku menarik napas, sabar. "Di lantai dua, Mas." Aduh, ngajak bercanda terus deh, nggak lucu lagi.

"Oh, ada. Teman saya, namanya Demas."

Wajahku tampak bingung dan alisku bertaut. "Kok Demas? Bukannya Slamet?"

"Mbaknya sudah kenal sama Slamet alias Demas?" dia menunjukku dengan obengnya.

Oh, Demas itu nama dia juga ternyata. Aku mengangguk kecil. "Iya."

"Mau saya panggilin? Orangnya ada kok tadi, habis jogging langsung naik."

"Sendiri ya, Mas?"

"Sudah nikah, Mbak." Jawabnya cepat.

"Ha?" jelas saja aku panik, Alya nggak bilang kalau Demas or Slamet itu sudah menikah.

Saat menatap kebingunganku, Mas itu bertanya baik-baik. "Mbak tanya saya atau dia?" mas itu menunjuk lantai atas dengan obengnya, wajahnya terlihat serius.

"Dia, Mas. Maksud saya, dia di atas sendiri?" terangku pelan-pelan, biar dia paham.

"Oh, kirain tanya saya sudah nikah atau belum." Mas itu menyengir lebar.

Wah, salah persepsi dia. Dikiranya aku demen kali ya sama dia? Gawat banget sih ini orang. Service-nya bener nih? Orangnya aneh gini kalau ditanya, nggak jelas. Mencurigakan.

"Kalau Demas sih belum nikah, Mbak. Sendiri di atas. Mau saya panggilin enggak?" tawarnya lagi. Aku lega setelah mendengar Demas belum menikah, entah lega karena apa.

"Jangan, takut ganggu." Tolakku halus. Kupangku laptop Papa dan menunggu dengan sabar, semoga saja sempat lihat Demas di sini. Aku sudah punya nomornya, tapi bingung mau WhatsApp untuk apa. Aku tidak punya urusan dengannya, tapi dengan mas-mas ini, orangnya sudah berdiri dan menarik laptop dari pangkuanku.

"Keyboarnya aja kan, Mbak?"

Aku mengangguk.

"Gampang ini mah, ditunggu aja, sebentar kok."

Aku mengangguk lagi.

"Saya Adam, Mbak. Mbaknya tahu dari mana ya tempat ini?" tanyanya sambil duduk di meja kerjanya, membuka tas laptop Papa dan mengeluarkan isinya. "Dari Demas?"

"Bukan," sahutku dengan gelengan. Aku tersenyum canggung, "dari Alya."

"Oh, yang katanya saudaranya Demas itu ya?"

"Memang saudara, Mas." Balasku agak ketus. Kalau bukan karena mau lihat dan mau tahu Demas, aku tidak mau jalan ke sini dan harus ngobrol sama orang yang sok asyik dan sok akrab begini. Tahan ... sebentar lagi pasti Demas muncul. Intuisiku berkata demikian.

Jantungku berdebar saat mendengar langkah kaki menuruni tangga, apa itu Demas? Aku duduk tegap, merapikan rambut yang sejak tadi tidak tersapu angin sama sekali, meletakkan slingbag di pangkuan dan duduk manis.

Seseorang menyingkap tirai dari dalam. Demas!

Jantungku langsung loncat ke langit, menembus awan dan bintang-bintang. Ah, berlebihan.

Adam mengangkat wajahnya dari laptop Papa, menatap temannya. "Tuh, orangnya muncul!"

Demas yang sedang membawa mug merahnya bertanya tak tahu. "Apa?"

Adam menyengir dan menunjukkan cengirannya padaku. "Lo dicariin sama Mbak cantik ini."

Demas menatapku, mengawasi. "Lo?" dia tampak kaget.

Aku melambaikan tangan dengan gestur santai, tersenyum semanis mungkin. "Hai, gue lagi nyervis laptop."

"Oh." Sahutnya pendek, seolah tak peduli.

Apa dia punya pacar, kok cuek banget?










Apa kemarin nggak ada yang nyariin ZOYA?

Sepi amat gengs

Karena kemarin lupa update, Senin besok aku up 1 bab lagi ya

Selamat beraktivitas!

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang