--28. Senin Penghujan--

186 39 7
                                    

Pagi itu, ketika gerimis turun tipis-tipis. Mark menarik napas panjang dengan gusar. Panggilan mommy sejak tadi menginteripsi dirinya untuk segera bergabung dalam sarapan pagi keluarga mereka. Apalagi sang kakak-- Troy, sedang ada di rumah sejak kemarin.


Cowok itu meraih tas ransel miliknya setelah memeriksa peralatan sekolahnya dengan baik. Lalu, ia berdeham singkat. Memutar gagang pintu dan mulai menunjukkan wajah ramah seperti biasanya.

Menarik satu kursi di depan Troy, lalu duduk di sana seperti biasanya. "Mau nasi atau roti?"

Cowok itu termenung agak lama. Sebelum akhirnya mendongak lagi menatap mommy. "Roti aja," katanya menjawab singkat.


"Gimana sama olimpiade nya?" Troy di sela kunyahannya bertanya. Memang sudah tahu tentang olimpiade yang Mark ikuti sejak bulan lalu.


"Nggak gimana-gimana. Tinggal nunggu hasil aja," Mark meraih roti yang sudah mommy olesi dengan selai cokelat.

Troy mengangguk kecil. "Menang nih harusnya," lalu, cowok 19 tahun itu tertawa. "Kan persiapannya matang banget,"

Mark hanya mendengus. Ekor matanya melihat mommy bergerak cepat menyiapkan sarapan papa. Membuatnya menghela napas--karena tahu bahwa olimpiade kali ini ia tidak bisa maksimal seperti sebelumnya.

"Kemarin Mark sakit. Bandel banget, padahal udah dekat sama hari olimpiade. Pusing Mommy,"


Mata Troy membulat. Langsung menoleh pada sang adik yang tetap diam merapatkan bibir. "Ow.. Sekarang udah sembuh?"

"Better," jawab Mark singkat. "I'm sorry Mom Dad. Mark harus berangkat lebih pagi,"


"Kan gue baru aja bisa ngobrol. Nanti aja lah berangkatnya," Troy mendelik. Meminta agar Mark tak pergi ke sekolah sekarang. Tapi adiknya itu justru tak menganggapnya penting.


Mark berlalu setelah mencium punggung tangan Mommy dan Daddy. Lalu menggeplak singkat bahu kakaknya.

Cowok itu menyampirkan ransel di bahu kanan. Sebelum sampai tepat di pintu utama, ia melewati lemari kaca dengan banyak trophy juga medali yang berjajar. Bersama foto-foto yang diambil ketika penghargaan itu didapatkan.

Ia mendesah berat. Kebanyakan yang ada di sana adalah potret Troy. Sendiri, bersama keluarga, maupun teman-temannya. Ada nyeri yang tak terlihat di dadanya. Potret dirinya jelas kalah banyak.

Perlombaan robotik yang menjadi center semua itu. Troy dengan senyum lebarnya. Membuat Mark berpikir, apakah proyek yang tengah ia kerjakan bersama Ajun dan Gino akan seunggul milik Troy ini?

Cowok itu menipiskan bibir. Memperbaiki letak tali tas di bahunya sebelum benar-benar berlalu begitu saja tanpa peduli Troy memanggilnya untuk berangkat bersama.


Harusnya tidak ada yang perlu Mark khawatirkan. Ia dan Troy punya kelebihan yang berbeda. Ia dan Troy punya sesuatu dalam diri mereka yang spesial.


Jadi, ketika ia mendapat bubble chat Ajun mengenai proyek mereka--ia lagi-lagi mendesah berat. Harusnya bukan begini. Menyaingi Troy jelas bukan hal yang mudah.


Ia memilih mengenakan helm hitamnya. Mengeluarkan motor dari garasi dan mulai berkendara di senin pagi berhujan ini. Mengabaikan jaket coklatnya yang mulai terasa basah karena gerimis lama-kelamaan merenggut hangat dari hoodie miliknya ini.


Tetes air hujan sudah terasa hingga kulitnya. Bahkan dingin itu mampu membuat tubuhnya menggigil hebat. Tapi ia tidak menepi sama sekali. Justru menarik gas lebih kencang dari sebelumnya.


Fur Eye ✓ [MARK | YERI] Where stories live. Discover now