--17. After Tubir--

204 44 3
                                    


Wajah Yeri sudah kusut keluar dari ruang osis. Tadi, selama beberapa menit ia diadili oleh Hasan dan si ketua OSIS. Bukankah satu kebetulan yang amazing-- karena Elsa Silvia si ketos ikut terjun langsung. Padahal ini jelas-jelas ranah penegak disiplin.

Ia mendapat peringatan singkat dari cowok jangkung itu. Beruntungnya pak Jidan sedang sibuk mengurus akreditasi sekolah minggu depan. Ia tak sampai diseret ke ruangan guru kesiswaan sekaligus wali kelasnya itu. Jika terjadi, mungkin kejadian Yena yang masuk ruangan pak Jidan akan terulang padanya.

Gadis itu baru saja keluar, kakinya akan kembali melangkah. Jika saja seseorang di koridor tak segera menghentikannya. Membuatnya terpaku selama beberapa detik. Menatap cowok itu dengan perasaan mencelos.

Tapi, Yeri lantas melengos kembali melangkahkan kakinya. Berusaha tak menghiraukan keberadaan cowok itu yang menatapnya dalam. Bagaimanapun, ada sedikit rasa keki untuk mendekatinya. Beberapa hari ini Yeri merasa harus menjauh dari si pengurus osis itu.

"Yer," Yeri berhenti. Merasakan lengannya ditahan cowok itu dari belakang. Membuat Yeri menghela napas panjang tanpa berbalik.

"Apa?"

Suaranya terdengar serak. Sementara dirinya sebisa mungkin menghindari tatapan Mark. Ia menarik napas panjang, perlahan melepaskan cekalan tangan Mark dari lengannya.


"Kenapa lo sampe gini sih?" Mark benar-benar tak habis pikir. Ia tak pernah membayangkan jika Yerina yang ia kenal justru bertindak kasar begini.

Yeri memundurkan tubuhnya memberi jarak. "Lo nggak tau Mark," katanya dengan suara lirih.

"Manusia perfect kayak lo nggak bakalan tau," ulangnya sekali lagi. Memilih berbalik untuk segera pulang. Karena tubuhnya benar-benar terasa remuk saat ini.

"Gue salah apa sih Yer?" pertanyaan itu justru membuat Yeri makin tercekat. Refleks berhenti masih dengan memunggungi Mark.

Ia meneguk ludah yang terasa kelu. Menahan setengah mati agar tak melampiaskan kekesalannya pada cowok itu.

"Nggak. Nggak ada salah apapun," katanya dengan tenang. Meski dalam batin sudah memaki-maki Mark Endaru. "Gue harus balik,"


"Coba lo bilang," Mark kembali berujar setelah Yeri kembali melangkah. "Selama ini gue bikin kesalahan apa sama lo?"


Sial.


Napas Yeri lagi-lagi terasa sesak. Seperti beberapa menit yang lalu ketika tubir itu terjadi. Mungkin ia tak merasakan pusing. Tapi sesak itu memenuhi dadanya. Membuatnya sampai menarik napas dalam berkali-kali. Matanya yang bulat mulai tertutup kristal bening.

"Yer,"


Mark yang kembali mendekat membuat gadis itu melengos segera. Menahan diri agar tak meledakkan tangis yang sedari tadi ia tahan.

"Gue capek Mark. Bisa nggak, kali ini biarin gue pergi?" Mark tertegun mendengar nada bergetar itu. Dirinya merasa lebih sesak ketika gadis itu menyorotnya nanar.


"Udah cukup gue diadili Hasan sama Aldi," Yeri meneguk ludah sekali lagi. "Please.. Gue cuma mau pulang,"

Nyatanya, Reinaldi sudah mengambil peran besar sebelum ini. Yeri juga masih mengingat bagaimana sahabatnya itu memintanya untuk berhati-hati menghadapi orang-orang itu. Ia masih ingat bagaimana marahnya cowok itu.

Kedua tangan mungil Yeri mengepal di sisi tubuhnya. Lantas, ia mulai melangkah cepat menghindari Mark Endaru. Tetes bening itu ia usap secara kasar dengan punggung tangan. Kini berlari cepat melewati lapangan basket, sebelum akhirnya sampai di parkiran guru dan karyawan.

Fur Eye ✓ [MARK | YERI] Where stories live. Discover now