--26. Gara-gara Mark--

254 42 12
                                    

Seorang perempuan berambut sebahu berdiri di sisi ranjang. Menggelengkan kepala setelah memeriksa termometer yang baru saja digunakan anaknya.

"Tadi kata miss Tiffany kamu demam tinggi? Makanya boleh pulang cepat?" Mommy melipat lengan di depan dada. Mengembuskan napas pelan kembali menatap Mark.

"Yes, Mom,"

"Sekarang udah mendingan sih. But, why nggak pulang aja tadi? Malah stay di school," Mark rasa, ini akan lebih panjang dari rel kereta api. Terlebih perempuan itu tahu, bahwa anak lelakinya yang satu ini bandelnya minta ampun.

"Olimpiade nya tuh besok Mark. Kalau sekarang belum sembuh juga gimana? Ke dokter aja ya?"


Mark mendesah panjang. Ia hanya butuh tidur untuk memulihkan kesehatannya. Pasti besok dia bisa ikut olimpiade di hari sabtu. Laki-laki itu memijat belakang kepala merasa tambah pusing mendengar sang mommy berbicara panjang lebar untuk menasehatinya.

"No, Mom. Di rumah udah cukup. Mark cuma butuh istirahat--"


"Ya tapi kamu besok banget harus olimpiade nya, Mark Endaru," Mommy mendesah frustrasi. "Kamu harus fit. Buat besok, buat Mommy. Buat kamu,"

Mark terdiam, tertegun beberapa saat. Ketika mommy mulai menyebut berapa penting olimpiade yang akan Mark ikuti besok. Mark harus menjaga kesehatan agar ia fit dan bisa berpikir jernih besok pagi.


"Bawa semangat kamu yang membara. Buktikan sama Mommy kalau kamu bisa,"


Ia mendengar sang Mommy menghela napas panjang. Meninggalkan kamar setelah berpesan ia harus tidur cepat setelah meminum obat penurun demam yang ada di atas nakas--bersama segelas air putih di sana.

Laki-laki itu melengos kasar. Menelan obat yang baru saja ia ambil, lalu meneguk air dalam gelasnya hingga tersisa setengah. Ia mulai menggelesor di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya yang sekarang berubah gelap.


Ia baru menyadari, keinginan Mommy begitu kuat untuk membuatnya unggul. Menilik sang kakak yang kini ada di London untuk kuliahnya--bukan tidak mungkin ia akan diharapkan begitu juga, kan?

Tapi, agaknya Mark memang bandel sekali. Ia tidak pernah mendaftar ke SMA favorit manapun. Menolak tawaran papa untuk masuk salah satu sekolah internasional. Justu--mengambil jurusan Teknik Audio Video di salah satu SMK swasta. Meskipun eksistensi SMK Techno jelas tidak bisa diragukan lagi sebagai sekolah kejuruan favorit.


Semua itu tidak bisa lepas dari bayang-bayang Arinda Khanza. Gadis itu yang dengan segala keinginannya untuk masuk jurusan Rekayasa Perangkat Lunak dan menjadi programmer handal--membawa Mark Endaru yang masih bucin ikut bersamanya.


Mark dan segala kebucinannya.


Ia berandai, jika saja tidak memilih sekolah yang sama dengan Arin--maka ia tidak akan pernah menemukan sosok Yerina Mauryn si siswi 9C. Si Yerina Mauryn yang saat SMP hanya ia lihat sering kesana kemari bersama beberapa temannya.


Si Yerina Mauryn yang dulu sering melambai padanya dengan riang ketika tidak sengaja bertemu. Yerina yang dihindari karena katanya bisa menyebarkan gosip apa saja. Nyatanya, Yerina yang saat ini mampu menyebarkan hangat di dalam hati Mark Endaru.


Sekali lagi. Mark dengan kebucinannya.

Ah. Tidak ada salahnya ia masuk ke sekolah ini. Tidak ada ruginya jika ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya alih-alih ikut saran Mommy dan kakaknya.


Tidak ada salahnya, jika kini ia justru menekan nomor gadis itu alih-alih tidur lebih cepat. Menunggu dengung panjang yang sama sekali tak terbalaskan. Membuatnya mendesah kecewa. Pada akhirnya hanya mengirimkan pesan singkat pada gadis itu.

Fur Eye ✓ [MARK | YERI] Where stories live. Discover now