--02. Bukan Takdir?--

624 66 9
                                    

[BAB sudah direvisi]
Happy reading dan happy kiyowo. Jangan lupa vote cerita ini dan Follow aku♥♥
.
.
.

Yeri menggelesor malas di sudut bengkel. Beralas lantai bengkel yang kotor dengan kaki Deya sebagai bantal. Siang itu, dirinya sudah terbaring memutar bersama Yena dan Deya. Menjadikan kaki satu sama lain untuk menyangga kepala.

"Gue pernah suka sama cowok. Tiap pergi ke manapun, pasti ketemu dia. Kayak.. Di tiap sudut pasti ada dia. Kalo menurut gue nih, beneran bukan hal yang wajar," Yeri tak menggubris ucapan Deya. Bukan seperti biasanya yang ikut mengomentari.

"Kalo bukan dia yang ikutin gue--"

"Berarti lo yang ikutin dia?" Yena menyeletuk ringan. Membuat Deya menyentil kakinya dengan sewot.

"Ya kagak lah! Cewek tuh dikejar," gadis jangkung itu mendengus. Tapi, seolah ucapan Yena hanya angin lalu, Deya kembali melanjutkan.

"Tuhan bener-bener udah menggariskan. Bahwa kita, emang ditakdirkan ketemu,"

Yeri diam-diam mendengarkan dengan mata tertutup. Udara bengkel yang agak dingin siang ini dengan beberapa kipas besar berputar-putar memberi kesegaran tersendiri. Membuat Yeri jelas tidak dapat mengelak jika sebentar lagi pulas.

Tapi, belum juga Yeri benar-benar masuk ke dalam alam mimpi, suara resepsionis yang menggema di speaker sudut menghancurkan ekspektasinya. Gadis itu menggeram kesal. Mengubah posisi jadi duduk membuat Yena hampir terjatuh jika saja tidak menguasai diri.

Gadis mungil itu memutar bola matanya malas, dengan hela napas berat meraih hape di sebelah kanan. Lalu, seperti petasan tahun baru, hapenya tiba-tiba ramai. Yeri lagi-lagi berdecih. Dengan sewot mengikat rambut sebahunya menggunakan karet hitam dari pergelangan tangan.

Baru saja merasa keenakan didongengi Deya, ia harus merasakan dongeng pak Herman di rapat ekskul ini--mungkin saja. Karena laki-laki itu selalu datang di tiap rapat MPK yang Yeri ikuti.

Ia tiba-tiba berhenti di bengkel untuk sekedar mengumpati para monyet-monyet sialan yang mengganggu waktu tidurnya. Jika saja Boban tidak ulangan Sistem Komputer, jika saja Haikal tidak menyangkal bahwa kini ada penilaian kejuruan, pasti dirinya masih enak rebahan di belakang bengkel.

Gadis itu menghela napas lelah. Ruang rapat MPK ada di seberang lapangan depan bengkel yang kini ia pijaki. Berjalan lurus belok kiri melalui koridor kafetaria, nanti bersiap naik ke lantai atas dan sampai. Bisa ditempuh dengan beberapa menit berjalan biasa.

Namun dengan cuaca terik begini, rasanya satu tahun kemudian baru Yeri sampai. Agak lebay memang. Karena jika tak lebay maka story ini bukan mengenai Yerina Mauryn.

Lalu, setelah perjalanan panjang melewati lapangan voly menuju sisi lapangan basket, Yeri baru ingat sesuatu--wearpack warna birunya masih melekat. Dengan bekas-bekas oli dan bau asap mobil yang tadi sempat ia tangani di bengkel. Gadis itu kembali menggerutu.

Harusnya dia tampil cantik mempesona! Alih-alih kumel kucel dekil--apalagi rambutnya belum keramas. Astaga!

Oke, ukuran anak STM. Hal ini harusnya adalah satu kebiasaan. Tapi kan Yeri cewek. Nanti dia akan bertemu dengan perwakilan ekskul yang lain. Apalagi ekskul basket dan futsal yang rata-rata isinya cowok ganteng semua. Belum lagi Alano Bagaskara si ketua MPK yang betulan sejuk seperti ubin masjid.

Arghhh.. Sialan!


"Teh!"

Suara pekikan itu membuat Yeri sontak mengangkat wajah. Dengan dengusan kasar menemukan Jinendra James Adnan menyeringai lebar dengan tangan melambai riang.

Fur Eye ✓ [MARK | YERI] Where stories live. Discover now