--08. Momentum--

254 48 1
                                    

Yeri yang tengah belajar dan menata masa depan pada akhirnya harus mendengus kesal. Ketika suara cempreng seseorang di speaker sekolah membuat telinganya seketika berdenging.

Apa-apaan sih, Yerina Mauryn yang cantik ini tengah mempersiapkan masa depan agar anaknya kelak cerdas.

Gadis mungil itu melengos, segera berdiri ketika guru muda di depan berhenti menerangkan karena mendengar suara cempreng tadi. Pak Gibran sontak menatap Yeri yang masih enggan melangkah pergi.

"Yerina. Kamu dipanggil itu," kata pak Gibran justru membuat Yeri merasa terusir.

"Saya permisi pak," gadis itu agak membungkuk, lalu berjalan menuju pintu. Meski matanya mendelik sekilas pada Yena dan Deya yang menertawainya.

Jarang-jarang dia lihat pak Gibran ngajar gini. Guru muda itu sekarang sibuk dengan kuliah S2 juga persiapan akreditasi dua minggu lagi. Kan sayang.

Sayang pak Gibran.




Gadis itu memandangi gedung seberang. Ia harus menyebrangi lapangan menembus panasnya mentari dengan kecepatan maksimum. Atau berjalan memutar menyusuri koridor terhindar dari sengatan matahari. Minusnya dia akan terlambat untuk sampai.

Gadis itu mendengus lagi. Kenapa dari sekian banyak anggota radio, harus seorang Yerina yang mewakili untuk rapat dadakan begini. Kan ada tuh si Haikal atau Boban.

Yeri memilih memutari koridor sembari menghela napas panjang. Ia hanya berjalan seorang diri sementara lapangan basket siang ini lebih lengang karena jam olahraga sudah usai sebelum ini. Hanya ada beberapa orang yang tengah duduk di pinggir lapangan.

Ia kembali melengos melihat seorang gadis berambut Bob pendek memanggil dari lantai dua gedung Barat. Ajeng melambaikan tangan dengan akrab. Ini nih, si pelaku yang menyebabkan Yeri harus keluar dari kelas pak Gibran.



Yeri hampir berbelok ketika melihat seseorang baru saja keluar dari kelasnya. Keduanya jadi saling pandang dalam waktu cukup lama. Sampai pada akhirnya Yeri tersentak sendiri.

Dia merasa bersalah pada cowok itu. Ketika kemarin Mark mengajak ke Onemis, Yeri sebenarnya pun ingin. Tapi, Shaka--sialan-- membawanya pergi lebih dulu. Membuat Yeri sekarang mati kutu ditatap Mark dari jarak beberapa meter.

Gadis itu menggigit bibir bagian bawah. Melirik lapangan basket yang kosong, kemudian memilih berbelok menerobos lapangan basket pada siang yang terik ini.


"Kenapa harus ketemu Mark sih? Ah anjir, muka gue," kata gadis itu menggerutu. Sembari terus melangkah cepat menyebrangi lapangan menuju gedung Barat.


"Yer!" Ajeng kembali memanggil Yeri dari lantai atas. "Heh!"


Bagi Yeri, yang terpenting saat ini ia tak bertatap muka langsung dengan Mark. Ia juga tak perlu menjawab panggilan rusuh Ajeng dari lantai atas.



"Yer! Awas!"



BRUGH



"Mamah!"

Sampai akhirnya Yeri sadar akan peringatan Ajeng itu. Ketika dirinya sudah lebih dulu jatuh tersandung bola basket secara mengenaskan. Di tengah lapangan. Bersamaan dengan bel pulang yang berbunyi nyaring dan murid berhambur untuk keluar kelas.



Yeri jatuh.


Mengenaskan.


Di tengah lapangan.



Dan murid-murid yang baru keluar melihat sendiri dengan mata kepala mereka.



Dan yang paling membuat Yeri malu adalah.. Mark berlari tergopoh menghampirinya dengan wajah khawatir.


Fur Eye ✓ [MARK | YERI] Where stories live. Discover now