Bab 32 | Usaha Pelarian

Start from the beginning
                                    

Namun, bukannya merasa tersinggung dengan penolakan Revina, ia malah makin menikmati raut muka gadis yang kini tengah gelisah. Badannya ia condongkan hingga hampir berhimpitan dengan Revina. Senyumannya makin melebar tatkala ia mendapati sosok Revina yang sudah menitihkan air matanya.

“Sayang sekali. Ini terakhir kalinya lo bisa lolos Revi,” ungkapnya.

Revina merasa jika ikatan pada kakinya mulai mengendur, tetapi ia juga merasakan perih akibat gesekan tali dengan kulitnya. Namun, bukan itu yang menjadi penyebab tangisnya pecah. Melainkan pada perilaku laki-laki itu yang mulai melucuti pakaian Revina.

Dasar iblis! Terkutuk lo! geram Revina dalam hatinya. Jika saja mulutnya tidak disumpal, sudah pasti Revina akan meludahinya saat itu juga.

Sekuat apa pun ia mengelak, tangan laki-laki itu lebih cekatan darinya yang tidak bisa bergerak bebas. Linangan air mata serta ketakutan yang menyelimutinya makin menjadi-jadi saat sosok itu mulai menyisakan underwear-nya.

Kaki Revina yang tidak bisa diam sedari tadi, lantas diapit oleh sosoknya yang sudah hampir menindih separuh tubuhnya. Revina makin tegang. Beberapa kali ia menggeleng dan berusaha melepaskan diri.

“Lepwash swalwan!”

“Ck, ck, keras kepala!” Ia menoyor kepala Revina hingga membentur tembok. Lalu menyentil jidat Revina beberapa kali hingga Revina merasa kalau kepalanya tambah pening.

Lalu, tangis Revina pecah. Laki-laki itu dengan sekenanya memberikan kissmark pada lehernya dan beberapa tempat terlarang. Revina betul-betul ingin menenggelamkan diri saja. Ia merasa malu sekaligus jijik dengan dirinya sendiri. Bagaikan wanita yang tidak bermoral, yang membiarkan laki-laki lain menyentuhnya.

Tidaaak! Ini semua gara-gara laki-laki itu!

Namun, kepuasan laki-laki itu tidak sampai menyiksa Revina dengan perasaan hina seperti sekarang ini saja, melainkan jauh dengan perbuatan yang lebih menjijikkan lainnya.

Tak lama setelah laki-laki itu melucuti pakaiannya sendiri, mata Revina terbelalak. Ia menggeleng keras. Kepalanya mulai membayangkan skenario paling buruk. Tangisnya makin pecah dan tawa menyebalkan dari laki-laki itu, mendominasi ruangan yang kini sudah berceceran pakaian dua orang tersebut.

“Kali ini tidak akan ada ampun, Revi.”

Tepat ketika laki-laki itu mulai melancarkan aksinya untuk menyerang tubuh Revina, dering telepon yang tidak berhenti menghubungi ponselnya membuat laki-laki itu berdecak. Ia berniat mematikan panggilan tersebut, tetapi saat matanya melihat id call, ia mengumpat. Lalu memakai pakaian secara asal.

Setelah memberikan peringatan pada Revina untuk tidak senang dahulu, ia pun keluar dari kamar sambil membantingkan pintu. Takut-takut Revina mendengarkan percakapannya jika ia tetap berada di tempat tersebut. Namun, yang tidak ia ketahui adalah bahwa tali-temali yang mengikat kaki serta tangan Revina kian mengendur karena gerakan berontak yang dilakukan oleh Revina.

•oOo•

Silau mentari makin menyengat. Hal itu membuat keringatnya keluar banyak, menimbulkan sensasi perih dan ngilu pada bekas-bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Pakaian kebesaran yang ia ambil secara sembarangan dari lemari di ruangan terkutuk itu, setidaknya dapat menutupi bercak pada bagian tubuhnya.

Ia mulai pesimis dengan arah rute larinya. Namun, saat ia mendapati jika tempatnya dikurung selama ini, adalah tempat yang tidak asing lagi baginya, muncul setitik harapan bahwa ia bisa keluar dari tempat ini. Revina akhirnya menampar pipinya sendiri, setelah ia menyeka wajahnya yang tiada berhenti menangis sepanjang perjalanan.

“Lo kuat! Jangan kalah sama mereka!”

Ia menengok ke belakang, waspada jika ada yang mengikutinya. Namun, meski ia familiar dengan tempatnya ini, ia tidak dapat menebak siapa sosok menjijikkan itu. Tanpa menunda waktu untuk berpikir, ia kembali memacu langkah kakinya yang terseok menuju tanah lapang.

Napasnya tersenggal. Sesekali terdengar rintihan dari mulutnya akibat luka yang bersentuhan dengan daun-daun ilalang--setinggi setengah badan--yang menutupi jalannya. Ia menghalangi pantulan mentari dengan punggung tangan saat ia berada di hadapan tanah lapang yang luas. Di penghujung mata, ia dapat melihat atap-atap rumah warga yang tidak sama tinggi.

Rasa lega menyusup hingga ke dada. Ia tersenyum haru. Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama, sebab manik matanya dapat melihat beberapa sosok berpakaian serba hitam dengan tato pada leher hingga lengan, membuat ia yakin jika salah satu dari sosok itu adalah orang yang berinteraksi dengannya ketika di ruangan terkutuk itu.

Revina berjongkok seketika. Jantungnya kian berdebar saat mendengar langkah kaki mendekat. Ia memang bersyukur karena dapat melihat pemukiman warga, itu artinya ia bisa meminta pertolongan. Namun, ia tidak yakin jika langkah kakinya mampu sampai ke pemukiman itu dengan selamat, terlebih dengan kondisi kakinya yang luka seperti sekarang. Belum lagi, dua orang bertubuh kekar itu sudah pasti lihai dalam menangkap tubuhnya yang lemah ini.

Ia memejamkan mata. Seketika Revina benar-benar ingin mempercayai adanya keajaiban karena berdoa pada Tuhan. Namun, sayangnya doa yang ia panjatkan sepertinya tidak sampai pada Tuhan, ia dapat merasakan jika derap langkah itu makin mendekatinya. Ia makin kalut dan bingung.

“Gue mohon, jangan....”

”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Two SideWhere stories live. Discover now