Bab 26 | Orang dekat

8 5 1
                                    

Bau apek memasuki indra penciuman gadis yang baru sadarkan diri, napasnya juga ikut sesak saat tak ada satu pun sumber cahaya di sana

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Bau apek memasuki indra penciuman gadis yang baru sadarkan diri, napasnya juga ikut sesak saat tak ada satu pun sumber cahaya di sana. Semuanya gelap gulita, sudah bisa ditebak jika keberadaannya bukan di tempat yang bagus. Apalagi ketika merasakan kedua tangan, badan, dan kakinya diikat dengan erat, firasat Revina mulai tidak enak.

Harapan ada orang yang bisa menolong pun rasanya mustahil, keadaan sekarang benar-benar senyap dan terasa jauh dari keramaian. Revina hanya menebak jika saat ini sedang disekap di salah satu bangunan di pinggir kota yang sudah tidak terpakai dan jarang terjamah oleh manusia. Daripada menghabiskan tenaga untuk berteriak meminta tolong, lebih baik menyiapkan diri menghadapi seseorang yang menculiknya.

"Kalau sampai gue tau orangnya, bakal abis lo!" kata gadis itu geram.

Ruang gerak yang terbatas membuat beberapa anggota tubuh Revina bergerak tak nyaman, tengkuknya juga masih terasa sakit. Bahkan, ia tidak sadar kapan dipukuli. Bisa jadi pukulan tersebut yang membuatnya melemah dan tak sadarkan diri.

Di saat genting seperti ini, tiba-tiba suara dari perut cewek yang diikat itu bergema nyaring di seluruh ruangan. "Sialan, pake acara laper lagi. Ini udah jam berapa, sih?" umpat Revina.

Ia tahu betul jam makannya setiap hari. Jika sudah sarapan di pagi hari dan tidak makan di siang hari, maka sekitar pukul enam atau tujuh malam perutnya mulai meminta jatah. Berarti sekarang bisa jadi sudah malam atau kembali pagi lagi, Revina tidak dapat menebaknya karena semuanya tetap gelap gulita meski siang hari sekali pun. Anggap saja ini kesialannya yang kesekian karena terlalu kepo dan ikut campur urusan orang lain.

Rasanya Revina ingin terlelap saja agar rasa lapar itu menghilang dan tidak menyiksa, tetapi ia sudah terlalu lama pingsan hingga matanya tak bisa diajak kerja sama untuk tidur. Belum lagi napasnya yang terasa semakin pendek, ruangan pengap ini benar-benar membunuh secara perlahan. Gadis itu yakin orang yang menyekapnya sudah merencanakan hal ini dengan matang, setidaknya keberuntungan Revina di sini adalah tidak takut dengan kegelapan.

Samar-samar suara orang sedang mengobrol dari luar memecahkan keheningan, bunyi bot sepatu mulai terdengar perlahan-lahan mendekat. Jantung Revina mendadak berdegup cepat, keringat dingin keluar dari seluruh tubuhnya. Ketika pintu perlahan terbuka, ia langsung memejamkan mata, berpura-pura belum sadarkan diri. Cahaya lampu yang baru dinyalakan membuat kelopak mata Revina bergerak, tetapi ia masih menahan diri untuk tetap terpejam.

"Dia belum bangun," ujar salah satu di antara dua orang itu.

"Lama banget," sahut yang lainnya.

Dari tipe suara yang keluar, Revina menebak jika kedua orang itu masih muda. Bisa jadi seumuran dengannya atau hanya selisih dua sampai tiga tahun. Ia membuka mata sedikit untuk melihat wajah mereka, sayangnya ada kain yang menutupi separuh dari muka.

Sebenernya siapa mereka? Antek-antek bokapnya Mbak Maria gak mungkin masih muda, kan? Pasti yang udah terlatih dan berpengalaman. Terus dua orang ini anak buah siapa? batin Revina menyimpulkan dari apa yang dilihatnya.

"Bos kapan mau datang?"

Revina memasang telinga baik-baik untuk mendengar jawaban dari satu orang lagi. Walaupun ia sendiri takut dan khawatir karena tidak mengetahui orangnya, mau tak mau harus tahu agar lebih bisa menyiapkan diri. Setidaknya ada strategi yang sudah disusun agar bisa lolos dari sini.

"Tunggu dia bangun."

Tak lama setelah itu, gesekan kursi dan lantai terdengar tak jauh dari tempat Revina duduk. Otak Revina mulai menyusun rencana, tetapi satu ide pun tak terlintas di benaknya. Ia semakin gugup saat perutnya berbunyi dengan keras, lalu terpaksa membuka mata seolah baru sadar.

"Telepon bos buruan!" seru laki-laki yang memakai kemeja biru polos, lalu mendekat ke arah Revina, "lo laper?" tanyanya.

"Udah tau masih nanya," ketus Revina.

Ia sengaja bersikap seperti itu agar dua cowok yang ada di sana merasa kesal, tetapi perkataannya tidak berpengaruh banyak. Walaupun raut laki-laki di depannya tampak marah, sekantong nasi yang terletak di atas meja diberikan kepadanya.

Saat makanan itu mendarat di pangkuan Revina, decakan keluar dari mulutnya. "Ini gimana gue mau makan? Tangan diiket kayak gini," protes gadis itu.

"Ribet lo!"

"Wey, mikir! Gak mungkin gue makan kayak kucing, kan?"

Setelah Revina berbicara seperti itu, keduanya malah saling dorong untuk siapa yang akan menyuapinya. Hingga pintu yang tadi tertutup kembali terbuka, memperlihatkan seseorang yang tak asing di mata gadis itu. Namun, ia masih harus menebak karena seluruh wajahnya ditutupi topeng.

Di mana gue pernah liat dia, ya? Badannya bener-bener gak asing sama sekali.

"Siapa lo sebenernya? Mau apa, hah? Bunuh gue karena udah ikut campur? Apa yang lo lakuin itu kriminal tau gak!" Teriakan Revina sama sekali tidak mendapat sahutan apa pun dari orang yang menjadi sumber semprotannya, padahal satu-satunya cara agar bisa memastikan apa yang ada di benaknya adalah melalui suara.

Orang yang diyakini adalah bos mereka malah berbisik kepada salah satu cowok yang dari tadi menjaganya, lalu dengan terpaksa laki-laki itu membuka nasi bungkus di pangkuan Revina. Bau basi langsung menyerbak, bahkan Revina nyaris muntah saat menciumnya. Ia menolehkan kepala ke kiri agar bau tersebut tidak terlalu menusuk di hidung, tetapi bungkusannya malah semakin didekatkan.

"Makan!"

"Ogah, lo pikir gue bebek yang mau makan nasi basi kayak gini? Lo kalau mau nyulik orang modalan dikit napa, sih. Miskin, ya?" Ucapan nyelekit Revina malah membuat 'si bos' mendorong satu anak buahnya lagi untuk mendekat.

Satu dari mereka menahan kepala Revina dan menekan pipinya, sementara satu lagi menyuapinya nasi basi bercampur telur goreng yang terlihat masih mentah. Seberapa kuat pun Revina meronta, ia tetap saja kalah melawan mereka. Ia dipaksa menelan makanan yang masuk tersebut tanpa didorong air. Baru saja sampai ke tenggorokan, langsung kembali dimuntahkan Revina.

Air matanya mendadak berlomba-lomba keluar, rasa tak nyaman masih tersisa di dalam mulutnya. Tak peduli reaksi perut gadis itu yang menolak, sendokan kedua diberikan lagi. Namun, kembali dimuntahkan sebelum berhasil ditelan.

"Cukup, gue gak kuat," ucap gadis itu memasrahkan diri.

Revina bisa melihat laki-laki yang berdiri tak jauh darinya itu masih tidak puas, lalu mengambil sesuatu dari lemari di pojok ruangan yang hampir ambruk. Mata gadis itu melebar saat sebuah cambuk dikeluarkan, ia menelan ludah dengan kasar. Tubuhnya mencoba berontak, tetapi tetap tidak bisa.

"Maaf, gue minta maaf. Gue gak bakal ikut campur lagi, tolong," mohonnya.

Namun, air mata Revina seolah tidak berarti. Satu suapan yang dipaksa masuk kembali keluar, hingga sebuah cambukan dirasakan di kedua kakinya. Panas dan sakit langsung menjalar, goresan mulai terlihat di kaki mulusnya.

"Satu suapan yang keluar sama dengan satu cambukan."

"

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
Two Sideحيث تعيش القصص. اكتشف الآن