Bab 22 | Mencari Revina

6 4 1
                                    

Setelah disibukkan dengan aktivitas masing-masing, hari ini klub jurnalis memutuskan untuk berkumpul saat jam makan siang, kebanyakan dari mereka tidak memiliki jadwal lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah disibukkan dengan aktivitas masing-masing, hari ini klub jurnalis memutuskan untuk berkumpul saat jam makan siang, kebanyakan dari mereka tidak memiliki jadwal lagi. Mereka akan membahas masalah Papa Maria yang melarikan diri sebelum berhasil menyelesaikan introgasi, tetapi setidaknya ada petunjuk yang didapat malam itu. Gusti, Azriel, dan Sisil sempat terkecoh sehingga Ferdi bisa kabur dibantu anak buahnya yang sudah menunggu di mobil.

"Revina mana, deh, lama banget," keluh Azriel sambil mengipas tubuhnya dengan binder milik Sisil.

Cuaca siang ini sangat menyengat, sehingga kipas angin yang terpasang di langit-langit seolah tidak berfungsi baik. Ruangan klub bisa dibilang cukup besar untuk menampung enam orang di dalamnya, semua jendela juga terbuka lebar agar angin lebih banyak masuk. Sayangnya, hawa panas masih tetap terasa.

"Harusnya kelas Revina udah selesai dari tadi, kan?" tanya Maria.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang, setiap mata kuliah hanya dua jam. Kelas gadis yang ditunggu kehadirannya sudah selesai 30 menit lalu, lalu ke mana orang itu perginya?

Gadis lain yang berada di klub terlihat mengotak-atik ponselnya, lalu menempelkan di telinga. "Gak aktif," kata Sisil setelah operator memberitahu nomor yang ditujunya di luar jangkauan.

Walaupun kelihatan tidak peduli dengan apa yang dibicarakan, laki-laki yang memainkan game di ponselnya diam-diam ikut menaruh rasa khawatir. Tidak biasanya Revina mematikan ponsel, beterainya selalu di atas 60 persen jika keluar rumah. Belum lagi powerbank yang selalu tersedia di tasnya, mustahil jika kehabisan daya.

Mas Gus yang sedari tadi diam ikut angkat suara. "Kalau dalam waktu sepuluh menit Revina gak datang, kita mulai aja rapatnya. Mungkin dia ada hal lain yang harus dikerjain," ucapnya.

Jarum jam terus berdenting dan bergerak menit demi menit, tetapi Revina tidak muncul juga dalam waktu yang ditentukan. Mau tak mau mereka harus membahas hal ini tanpa satu orang anggota klub. Gusti selaku ketua klub jurnalis sekaligus orang yang bertanggung jawab atas penahanan Papa Maria memulai rapat.

"Gue gak mau basa-basi, kalian udah tau garis besar ceritanya. Setelah gue, Azriel, dan Sisil menggeledah semua barang bawaan Papa Maria, kita nemuin satu rekaman. Sil, puter!" perintah Gusti kepada Sisil karena copy file tersebut ada di gadis itu.

Kita udah bekerja sama dalam waktu lama, om bisa dapetin apa pun yang om mau tapi syaratnya Maria harus jadi istri aku. Aku bakal ngasih berapa pun yang om minta selama gak ada yang tau perjanjian ini. Semua harta akan dipindahkan atas nama Maria, tapi kalau aku mati sebelum pernikahan maka perjanjian kita batal.

Helaan napas Gusti terdengar kasar, laki-laki itu terlihat kesal atas apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan apa pun. "Kalian bisa simpulin sendiri. Apa mungkin Papa Maria bakal bunuh Pak Gilang kalau dia gak dapet apa-apa dari perjanjian itu? Kecuali kalau Maria udah nikah sama Pak Gilang, papanya bisa dicurigain," katanya cukup masuk akal.

"Hubungan papa Mbak Mari sama Pak Gilang terakhir tiga hari sebelum kejadian. Sebenernya hari itu mereka punya janji temu di salah satu restoran, eh keburu Pak Gilang mati duluan," sambung Azriel enteng seolah kematian bukan hal aneh baginya.

"Jadi, ya, gitu. Kita belom nemuin petunjuk apa pun lagi selain teror yang didapat Maria," pungkas Gusti.

"Barangnya di mana, Mas?" tanya Daniel.

"Sama Revina."

Mereka langsung terdiam, tak tahu harus membahas apa lagi. Semuanya seolah buntu, klub jurnalis rasanya tidak bisa diselamatkan. Untuk mencari topik pembahasan lain pun sudah tak ada semangat, pasrah jika akhirnya harus bubar sekarang.

Sisil berdeham pelan, gadis itu tampak ragu-ragu membuka suara. "Sebenernya gue ada janji temu sama Revina hari ini ke rumah sakit buat ketemu abang sepupunya, terus ke kantor polisi buat ketemu omnya di sana. Tapi gue tiba-tiba harus pergi ke rumah nenek subuh tadi, jadi gak bisa nemenin dia. Gue baru sampe ke sini jam sebelas, harusnya Revina udah di kelas," ungkapnya. Ia benar-benar tak bisa menahan diri untuk tak menceritakan hal tersebut kepada yang lain. Setidaknya pembahasan dengan Revina tidak disinggung, jadi masih menjadi rahasia di antara mereka.

"Sialan!" maki Daniel tiba-tiba. "Mbak, gue tau lo gak mau berurusan lagi sama papa lo. Tapi gue mohon sekali ini aja, lo pulang ke rumah dan periksa ada hal aneh atau apa pun yang di luar kebiasaan papa lo lakuin. Gue curiga kalau Revina diculik," kata cowok itu sambil memasang jaket di tubuh tegapnya.

Mendengar perkataan Daniel, jantung Maria berdegup kencang. Ia tahu bagaimana prilaku gila papanya. Jika sampai Revina memang diculik papanya, Maria benar-benar tidak ada muka lagi di hadapan yang lain. Jika saja bisa memutuskan hubungan darah, sudah dari lama dilakukannya.

"Gue pulang dulu, mau meriksa rumah Revina. Orang tuanya lagi di luar kota," pamit Daniel.

"Ikut!" seru Azriel sebelum mengejar Daniel yang sudah berlari keluar ruangan seolah tak ada hal lain di kepalanya selain Revina.

Tersisa tiga orang lagi di ruangan klub, Maria juga sudah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. "Gue ikut lo pulang, Mar," kata Gusti.

"Lah, terus gue gimana, Mas Gus?" tanya Sisil bingung.

Sepasang manusia yang sudah ingin pergi itu serentak menoleh ke arah Sisil, gadis itu kelihatan kebingungan ditinggal sendiri. Gusti memutar otaknya untuk mencarikan adik tingkatnya aktivitas lain. "Lo cari tau perkembangan kasus ini aja, kali aja ada orang lain yang paham dan dapet petunjuk lebih. Inget, harus bisa bedain mana gosip mana fakta!" ujar Gusti memberi peringatan.

"Siap."

"Gue jalan duluan, Sil. Kipas angin jangan lupa dimatiin, jendela sama pintu dikunci, ya," pesannya sambil memberikan kunci cadangan ruangan klub.

Hanya Sisil yang tersisa di ruangan yang besar itu, ia menumpu tangan di atas meja lalu menenggelamkan kepala di sana. "Kalau bener apa yang Revina bilang, masa iya, sih?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ah, tau, deh, pusing."

Ia segera menutup semua jendela, lalu mematikan kipas angin. Setelah mengemas barangnya, barulah Sisil meninggalkan ruangan klub. Namun, baru saja mencapai pintu ia mendengar seseorang membicarakan hal yang diperintahkan Gusti.

"Pelaku pembunuhan Pak Gilang katanya mahasiswa di sini, tapi identitasnya masih belum ketauan."

Suara lain menyahuti perkataan tersebut. "Gila, mainnya rapi banget. Kok, bisa gak ketauan?"

"Lebih heran lagi, kampus seolah nutupin hal ini dari publik. Orang-orang di luar gak tau kabar ada pembunuhan terjadi di sini. Aneh, kan?"

 Aneh, kan?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Two SideWhere stories live. Discover now