Bab 27 | Dilema

7 5 1
                                    

Tubuh yang semula bertenaga hingga dapat menghajar setidaknya satu orang di antara mereka yang berusaha menyakitinya dengan perlawanan satu persatu, kini tubuh gadis yang dipenuhi oleh bekas cambuk, bercampur dengan rasa tidak nyaman pada mulut da...

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Tubuh yang semula bertenaga hingga dapat menghajar setidaknya satu orang di antara mereka yang berusaha menyakitinya dengan perlawanan satu persatu, kini tubuh gadis yang dipenuhi oleh bekas cambuk, bercampur dengan rasa tidak nyaman pada mulut dan tenggorokannya, sekarang ini terduduk tidak berdaya. Tenaga yang selama ini ia coba kumpulkan, seakan lenyap dalam sekejap karena penyiksaan dari 'Si Bos'.

Rasa nyeri menjalar hingga ke seluruh tubuh yang terasa remuk. Harum bebauan yang menyengat hidung, membuat kesadaran Revina kembali. Ia duduk terjaga dengan tali kekang yang mengikat kedua tangannya di belakang. Sementara kakinya terjulur lurus ke depan dengan sedikit tertekuk dan terdapat lilitan tali yang melingkar pada kedua pergelangan kakinya. “Bajingan itu!” desis Revina dengan kesal.

Ia mengamati sekeliling dan baru menyadari kalau ia berada di atas ranjang yang cukup luas untuk ditiduri seorang diri. Kesadarannya membuat Revina jadi waswas. Ternyata yang berubah bukan hanya tempat penyekapannya saja, melainkan pakaian yang ia kenakan kemarin, sudah berganti.

“Omong kosong apaan ini!”
Amarahnya memuncak dengan keadaan tubuh yang kaku. Pikirannya menerawang pada kejadian kemarin. Namun, tidak ada secuil ingatan pun yang ia ingat hingga berakhir di tempat seperti ini.

Bisa dibilang selayaknya kamar tidur laki-laki yang didominasi oleh harum maskulin dengan penerangan yang remang-remang, Revina cemas dengan perubahan yang tiba-tiba seperti sekarang. Ia bersyukur jika tidak harus memakan makanan basi dan kena cambuk tiap kali memuntahkan makanan tidak manusiawi itu. Terlebih rasa sakit dari cambuk itu bukan main rasanya.

Revina menampar wajahnya sendiri untuk mengendalikan diri. “Bodoh lo!” makinya. “Sekarang bukan waktunya untuk panik!” Ia menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran tak nyaman yang sempat terlintas.

Matanya lantas menelusuri ruangan sekitar untuk mencari jalan keluar. Namun, karena Revina kesulitan dalam bergerak, pintu ruangan itu keburu terbuka. Kelopak mata Revina memicing saat memandang postur tubuh dan lekuk wajah yang terasa akrab dengannya. “Siapa lo!”

Refleks Revina memundurkan diri hingga punggungnya menyentuh dipan ranjang. “Gue tahu kalau lo bukan Ferdi!” teriaknya. “Katakan siapa lo sebenernya!”

“Lalu? Apa yang lo tahu?”

Suara itu! Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat. Namun, kinerja otaknya yang lambat membuat Revina makin menyalahkan dirinya sendiri.

Sial! Gue nggak bisa ingat apa pun!

Revina makin panik saat laki-laki itu berjalan mendekat ke arahnya. “Gue peringatin, setop di sana! Jangan mendekat!”

Gelengan Revina beserta ketakutan yang terpancar pada wajahnya justru makin menyenangkan untuk dinikmati oleh sosok itu.

“Kita tidak sedang dalam kondisi negosiasi, Girl. Lo harusnya bersyukur karena nggak akan mendapatkan siksaan seperti kemarin.”

Two SideTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon