Bab 14 | Masa Lalu Gilang Pramudi

15 5 2
                                    

Mobil putih Avanza melaju dengan kecepatan hampir 90 kilo meter perjam, laki-laki di belakang pengemudi beberapa kali menggelengkan kepala untuk menjaga kesadarannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mobil putih Avanza melaju dengan kecepatan hampir 90 kilo meter perjam, laki-laki di belakang pengemudi beberapa kali menggelengkan kepala untuk menjaga kesadarannya. Sepulang kuliah tadi sore, Gilang berkumpul dengan teman-teman sekelasnya sampai menginjak pukul sembilan malam. Namun, mereka meminum beberapa botol alkohol dengan alasan ingin menghilangkan penat.

Sebenarnya masih terlalu sore untuk pulang, hanya saja dering telepon dari sang nyonya rumah membuat cowok yang saat itu berumur 22 tahun terpaksa hengkang dari rumah salah satu temannya yang dijadikan markas berkumpul. Jika saja tidak ditelepon, Gilang tak akan pulang sebelum tengah malam.

Kadar toleransinya terhadap alkohol memang sedikit rendah, beberapa gelas saja sudah membuatnya hilang kesadaran. Apalagi tadi habis sebotol sendirian, ia merasa tubuhnya sangat ringan seolah bisa melayang. Saat masih di rumah temannya, Gilang memang menyempatkan diri untuk mandi sebentar tetapi tetap saja belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh alkohol.

"Sialan, gue butuh air," maki Gilang.

Ia mencoba menajamkan mata untuk melihat apakah ada supermarket atau warung sekalipun yang bisa disinggahi untuk membeli air. Seolah alam berpihak kepadanya, tak sampai 200 meter di depan Gilang melihat salah satu logo market di tepi jalan. Buru-buru cowok yang menggunakan kemeja biru itu menginjak gas mobilnya, kecepatan naik hingga 100 meter perjam.

Nasib baik tidak mengikuti Gilang, seorang anak perempuan tertabrak hingga terlempar sejauh dua meter. Walaupun jalanan yang dilaluinya sudah memasuki perumahan, tetapi suasana sekitar cukup ramai. Kejadian tersebut tentu menjadi tontonan banyak orang, mobilnya langsung dihentikan secara paksa oleh warga.

Melihat keadaan semakin riuh, Gilang takut untuk keluar. Sempat terlintas di benaknya untuk melarikan diri, tetapi sepertinya tak akan ada celah sedikit pun. Kaca mobilnya digedor dari luar, teriakan warga yang menyuruhnya untuk turun agar bertanggung jawab terus terdengar. Namun, ia terlalu takut sekadar menampakkan diri.

Buru-buru ia mengambil ponsel untuk menelpon mamanya, sampai dering ketiga barulah telepon mereka tersambung. "Ma, aku nabrak orang," aku Gilang dengan suara bergetar.

"Astaga, Gilang! Kok, bisa? Posisi kamu di mana sekarang?" Suara mamanya terdengar khawatir sekaligus marah, Gilang tahu kabar ini cukup mengejutkan.

"Mama cepetan ke sini! Aku takut keluar mobil. Udah di-share loc," perintah Gilang.

Seluruh tubuhnya sudah mengeluarkan keringat dingin, kedua tangannya bergetar pelan tanpa bisa dihentikan. Warga semakin ramai mengerumuni mobilnya, Gilang bersyukur tidak ada yang melakukan tindakan lempar batu ke kaca mobil. Selain sudah dipastikan dimarahi kedua orang tuanya soal kecelakaan, bisa-bisa mobilnya ikut disita jika hal itu sampai terjadi.

Sepenglihatan Gilang, anak yang ditabraknya tadi dimasukkan ke mobil lain dan sepertinya dibawa ke rumah sakit terdekat. Beberapa menit kemudian, suara sirine mobil polisi terdengar mendekat. Jantung Gilang semakin berdebar karena tidak ada yang menenangkan dan mendampinginya.

Ketukan di kaca mobilnya membuat laki-laki itu menoleh, seolah mendapat pencerahan ketika melihat sang mama berdiri di sana. Gilang segera membuka pintu mobil begitu polisi juga berada di samping mamanya, setidaknya ia tidak akan diamuk oleh massa.

"Langsung ke kantor polisi aja, Ma," pinta Gilang sedikit memohon.

Dibanding takut berhadapan dengan polisi, ia masih menyayangkan jika tubuhnya digebuki karena kasus ini. Setidaknya di sana sedikit aman meski harus menjelaskan kronologi kecelakaan. Kejadian ini memang sepenuhnya salahnya sendiri, anak kecil itu benar menyebrang saat lampu pejalan kaki hidup.

"Tahan saya, Pak!" Gilang menyerahkan kedua tangannya ke polisi agar segera dibawa.

Saat melihat anaknya digiring, Melati-mama Gilang-langsung membuka mobil Gilang untuk mengambil barang-barang dan menguncinya. Ia juga dijaga oleh polisi supaya warga tak bisa sembarangan menyentuhnya, wanita paruh baya yang dibaluti baju berkelas itu memang sering bekerja sama dengan polisi untuk mengawalnya dalam keadaan apa pun.

Ketika tiba di kantor polisi, Melati melihat Gilang sudah duduk berhadapan dengan salah satu polisi untuk diintrogasi. Ia segera duduk di samping sang anak dan menatap tenang polisi di depannya.

"Warga memberi laporan jika kamu membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Apa benar?" tanya polisi ber-name tag Hisyam Rasyid.

"Benar, Pak," jawab Gilang.

Ia memang tak mau berbohong yang bisa menghambat proses ini berlangsung. Mamanya pasti akan menggunakan segala cara agar bisa terbebas malam ini juga, sehingga tak perlu menginap di kantor polisi. Mereka kaya dan banyak hal yang bisa dijadikan jaminan agar kasus ini tidak terdengar ke luar.

"Kamu habis minum, ya?"

Tebakan polisi memang tak pernah meleset sedikit pun, meskipun bau alkohol sudah tidak lagi melekat di tubuhnya. Kesadaran Gilang belum terkumpul sepenuhnya, beberapa kali mata laki-laki itu terpejam saat merasa tubuhnya sedikit melayang. Bahkan, ia harus berpegang ke samping kursi agar tidak limbung ke depan.

"Dikit."

"Pak, anak saya baru pertama kali mabuk-mabukan. Sepertinya ada masalah dengan kampus dan perkuliahan karena sedang di semester akhir. Anak muda zaman sekarang wajar, kan, mabuk saat ada masalah? Saya jamin lain kali tidak akan terulang lagi," ucap Melati mengambil alih.

Kedua tangan wanita itu menyodorkan amplop besar yang berisi puluhan lembar uang berwana merah ke tangan tegap petugas di depannya, ia juga memberikan senyum seolah tidak ada terjadi apa-apa. Merasa mendapat kesempatan besar, amplop tersebut segera disembunyikan di dalam laci.

"Saya berharap berita ini tidak sampai ke luar, bahkan keluarga korban sekali pun. Semoga kita berada di pihak yang sama selamanya," kata Melati sembari mengulurkan tangannya pada Pak Hisyam.

"Senang bisa bekerja sama dengan anda."

Keduanya bersalaman sejenak, lalu Melati menyeret Gilang keluar dari sana. Keluarga mereka sangat terpandang dan dihormati, tidak boleh ada yang tahu jika ia baru saja mengeluarkan anaknya dari jerat jeruji besi. Jika wanita itu terlambat atau Gilang keluar dari mobil setelah menabrak tadi, masalahnya akan lebih lebar. Satu-satunya hal yang harus dibereskan adalah mobil.

"Gimana kamu bisa nabrak kayak gitu, Gilang? Jangan sampai ada yang tau kejadian ini! Siapa pun itu."

"Ma, jangan kasih tau papa," pinta Gilang memelas. Ia benar-benar bisa habis jika papanya sampai tahu, beruntung saat ini pria yang dipanggilnya papa itu sedang lembur di kantor.

Melati menghela napas lelah sebelum menjawab pertanyaan anaknya. "Gak bisa, kita butuh papa buat bungkam media. Mobil kamu yang ada di lokasi kejadian udah pasti diliput. Kita harus gerak cepat ganti kepemilikan, mama juga udah kirim orang buat ngambilnya di sana. Gimana pun, mobil itu harus disingkirkan dulu."

"Terus aku pakai apa?" protes Gilang tak terima.

"Uang kita banyak, Gilang. Jangan bersikap seolah-olah keluarga ini miskin!"

 Jangan bersikap seolah-olah keluarga ini miskin!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Two SideWhere stories live. Discover now