Bab 17 | Lagi

13 7 3
                                    

"Anjing lo!" maki cowok berkaos hijau tua kepada lawan bicaranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anjing lo!" maki cowok berkaos hijau tua kepada lawan bicaranya.

Tanah gersang di lapangan kosong menjadi saksi keduanya melakukan baku hantam, cahaya remang-remang tak menjadi penghalang mereka untuk saling menyerang. Tempat ini sedikit jauh dari permukiman warga, apalagi jarang digunakan kecuali saat sore hari ketika beberapa anak bermain bola kaki atau aktivitas olahraga lain. Sehingga seribut apa pun suara dihasilkan, tak mungkin ada yang mendengar percakapan dua cowok yang seumuran itu.

"Gara-gara lo kita hampir ketauan! Lo mikir gak, sih, pas ngelakuinnya? Kalau sampai dia tau, kita berdua langsung abis!" Urat leher cowok yang berbicara itu terlihat saat berbicara, kesabarannya benar-benar sedang diuji. Ia juga tak mungkin menghabisi laki-laki yang sedang berhadapan dengannya, mereka masih harus bekerja sama menyelesaikan semua yang telah dimulai.

Tak terima disalahkan begitu saja, cowok yang satunya lagi membalas, "Lo jangan nyalahin gue aja, ini juga akibat perbuatan lo itu!" Ia tidak mau ditunding sendirian, mereka berdua melakukan kerja sama. Jika satu salah, maka yang lain ikut salah.

"Mau sampai kapan kalian debatin hal ini? Udah, gue capek dengernya. Kalau masih mau berantem, mending cari cara lain. Muka bonyok kalian itu gak bisa ilang dalam semalam, orang-orang bisa curiga. Lagian, ya, lo berdua itu sama-sama goblok. Udah tau hal ini sensitif, malah sembarangan." Orang ketiga yang berada di lapangan ikut menimbrung percakapan untuk melerai dua cowok yang bersitegang tadi, ia muak melihat mereka saling menyerang dan memaki saat tak kena sasaran.

"Ayo pulang, sebelum ada yang curiga!" ajaknya.

Sejauh ini semuanya masih terlihat aman, kecuali baju dua laki-laki yang saling memancarkan aura permusuhan itu penuh dengan keringat dan sangat kusut. Selebihnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ketiga cowok yang berada di lapangan itu bergegas keluar dan mengambil motor masing-masing, mereka berpisah di persimpangan empat tak jauh dari tempat berkumpul tadi.

°○●○°

Gadis berambut hitam sedada tak henti bolak-balik di kamarnya, ia menggigiti jari tanda sedang berpikir keras sekaligus gugup secara bersamaan. Ingatannya terus kembali ke sosok yang tak sengaja dilihat saat berada di pemakaman, rasa penasaran semakin membelenggu hati dan pikirannya. Mau bertanya ke orang itu, tetapi takut menjadi salah paham dan tak tahu juga alasan apa yang diberikan.

Malam ini lampu kamar sengaja tidak dihidupkan, hanya lampu tidur yang remang-remang. Bahkan, ditutupi lagi agar tak memberikan terlalu banyak cahaya. Awalnya ia ingin menenangkan diri agar pikirannya yang kacau belakangan ini bisa lebih relaks, tetapi semua itu hanya menjadi rencana saja. Otaknya seakan tak mengizinkan beristirahat barang sejenak memikirkan permasalahan yang terjadi.

"Ya Tuhan," gumam Revina sambil menjambak rambutnya.

Tatapan Revina beralih ke meja belajar. Ada satu kertas yang terbuka dan terletak secara sembarangan, sementara buku dan peralatan lainnya tersusun dengan rapi. Untuk kesekian kalinya, ia menyambar kertas HVS yang memiliki goresan tinta di atasnya.

Kamu adalah definisi ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna
Sayangnya, tak akan pernah bisa kugapai

Duniaku terus berporos padamu
Selalu dan akan tetap seperti itu

Kau tahu, aku sangat mencintaimu
Sampai-sampai hanya ingin membuatmu menjadi milikku sendiri

Kesalahanmu membuatku hilang kendali
Sikapmu yang menjadikanku monster tak punya hati

Entah kenapa Revina mempunyai firasat lain soal isi kertas yang dibacanya, pengirimnya terasa berbeda dengan orang yang sering mengirim pesan beberapa waktu lalu. Semua hal aneh yang belakangan ini terjadi sudah mendapat benang merah, tetapi langsung kacau ketika ia membaca surat yang diselipkan di bawah pintu tadi sore.

"Sebenarnya berapa banyak orang terlibat? Atau cuma satu orang, tapi dia sengaja buat gue bingung kayak sekarang?" Revina sama sekali tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang ada di benaknya, otaknya seolah buntu untuk kembali berpikir.

"Apa papa Mbak Mari masih ada di belakang ini semua?" Seketika ia teringat sesuatu, gadis itu menepuk dahinya karena tidak ingat akan hal tersebut, "Goblok, kenapa gue gak nanya Mas Gus hasil introgasi papa Mbak Mari!" serunya.

Ponsel yang seharian ini tak disentuhnya langsung diambil, tetapi saat ingin digunakan hanya menampilkan layar hitam. "Gue lupa nge-charger. Ah, ada aja halangannya. Lagi penting juga. Apa tanya Daniel aja, ya?" Namun, Revina ingat komunikasi terakhir mereka jauh dari kata baik. Gengsi jika ingin memulai terlebih dahulu, apalagi Daniel pasti akan menggodanya.

Saat sudah mencolokkan charger ponselnya, tiba-tiba suara dari arah balkon mengejutkan Revina. Seperti ada sesuatu yang dilempar dan terkena di dinding. Buru-buru ia keluar untuk melihat apa yang terjadi, jika beruntung maka akan bertemu dengan sang pelaku. Ketika pintu balkon kamarnya digeser, ia hanya menemukan balutan besar berupa kain dan tampaknya ada isi di dalamnya.

"Hampir aja kena kaca," ujar Revina saat melihat tempat bekas lemparan.

Ia sama sekali tidak takut jika hanya dilempar sepetti ini, hanya saja jika kedua orang tuanya tahu maka akan lebih repot. Gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yang bisa terjangkau oleh mata, kedua tangannya terkepal ke pagar balkon. "Siapa, sih, lo sebenernya?" tanya Revina dengan suara pelan.

Benda yang dilempar tadi kembali menjadi perhatian Revina, ia mengangkat dengan santai seolah tak takut dengan apa yang ada di dalamnya. Gadis itu meletakkan balutan kain tersebut di atas meja, sementara dirinya duduk di kursi bulat tanpa sandaran dan penyangga.

Tangannya mencoba menekan bagian-bagian tertentu, tetapi tetap tidak bisa menebak isinya. "Apa, sih?" Rasa penasarannya semakin meningkat, sehingga tak sabar membuka ikatan tali yang membaluti kain berbentuk bola itu.

Ketika lapisan pertama berhasil dibuka, jantung Revina mulai berdetak kencang. Jari-jarinya yang semula bersih tiba-tiba terkena noda merah dan agak lengket, bau amis mulai tercium di indra penciumannya. Ia terlalu meremehkan hal ini, tetapi kembali menyemangati diri untuk melihat sesuatu di balik kain berikutnya.

"Sial!" makinya tanpa sadar mendorong tubuh hingga jatuh terlentang dari kursi.

Rasa sakit akibat jatuh seolah tidak terasa, ketakutan mulai menyergap perasaan Revina. Air mata berlomba-lomba keluar, tubuhnya mulai bergetar. Ia beringsut mundur menjauh dari meja, tak mau mengarahkan mata melihat sesuatu di atas kain yang baru terbuka. Gadis itu menjabak rambut dengan kuat agar penglihatan dan pikiran yang baru terjadi menghilang, lututnya ditekuk seolah takut ada orang lain yang melihat kodisinya yang berantakan.

Isi dari balutan kain itu adalah potongan telinga dan beberapa jari kaki yang membiru. Di dalamnya juga terdapat satu bola mata yang menggelinding ke lantai saat Revina tak sengaja tersentuh dan refleks menepisnya.

"Psikopat!"

"Psikopat!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang