Bab 16 | Kamu kah, itu?

12 6 1
                                    

Ingatkan Revina kalau memfitnah orang itu, lebih kejam daripada membunuh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ingatkan Revina kalau memfitnah orang itu, lebih kejam daripada membunuh. Jadi, kalau misalkan ia khilaf, tak apa bukan, kalau ia membunuh saja? Ah, lupakan niatannya itu. Ada yang lebih penting untuk dibahas, katanya.

Penampilan Daniel saat berhadapan dengannya--setelah pertemuan terakhir mereka di Rumah Pohon--sosok laki-laki yang tiba-tiba seperti menghilang ditelan bumi, kini malah menunjukkan eksistensinya tanpa Revina tunggu lagi kehadirannya.

“Jadi, apaan?”

Revina duduk dihadapan Daniel yang mengenakan pakaian santai khas rumahan; celana denim selutut dan kaos hitam bertuliskan nama grup band yang laki-laki itu buat dengan kawanannya.

“Lo marah.”

“Sok tahu!” sergah Revina. Ia mendelik sinis. Padahal air mukanya sudah bersemu karena mencegah makian kepada Daniel.

Namun, melihat wajah naif orang itu, membuat Revina kelabakan meredam godaan untuk meninju rahang lawan bicaranya.

Arman, satu-satunya keberadaan manusia yang putus urat malunya--seperti biasa--tidak meninggalkan privasi bagi mereka. Laki-laki itu malah asik selonjoran di karpet beludru merah sambil memakan camilan yang disediakan Bu Narendra dan menyaksikan film kartun Spongebob sambil cekikikan dengan anteng.

Apa sih yang lucu!

Revina mengatur caranya bernapas. Ia menatap balik, pandangan Daniel kepadanya. Revina sedikit tidak nyaman dengan cara Daniel memerhatikannya secara lekat. “Sudahlah. Nggak penting juga mau gue marah apa nggaknya.” Revina menghela napas sambil mengibaskan lengan. “Jadi, maksud lo, mau ada yang lo omongin itu, bukan hal sepele kayak gini, kan?”

Daniel mengangkat kaki, hingga tumit kanannya berada di pangkuan. Kemudian menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa dengan melipat kedua tangan di depan dada, ia berkata tegas pada Revina, “Bagi gue tetep penting. Lo marah nggak akan sebentar. Gue nggak nyaman kalo hubungan kita berantakan kayak gini.”

“Hoo, lihat! Siapa yang bilang.” Revina mencibir sarkas. Ia menahan geram, lalu berkata dalam hati, “Lagian, ini juga terjadi gara-gara siapa coba!”

“Berhenti ikut campur ngulik masalah di kampus Revina Atmaja,” kata Daniel.

“Apa hak lo larang-larang, sih! Ini tuh udah tanggung jawab kita. Basi, kalau lo peringatin gue kayak cara gini.” Revina tersentak kemudian. Cara Daniel melarangnya, mengingatkan Revina pada seseorang.

Nggak! Kayaknya bukan Niel. Itu cuma asumsi gue doang yang udah stress gara-gara spam chat sialan itu!

Namun, karena perkataan Daniel, ia tergelitik untuk mencari tahu. “Kenapa lo nggak ngasih gue surat ancaman aja sekalian? Atau, paling kayak teror gitu, biar gue kapok nyelidikin kasus Pak Gilang.”

Nihil. Tidak ada perubahan emosi di muka Daniel yang masih kaku. Namun, tak lama berselang, terdengar helaan napas panjang dari Daniel. Ia memandang Revina dengan frustrasi. “Na... sampai kapan sih, lo nggak mau nurut? Lo lihat sendiri, kan, apa yang dialami Mbak Maria? Lo mau jadi korban kayak gitu juga?”

Two SideWhere stories live. Discover now