Bab 20 | Penyelidikan

8 5 1
                                    

Sebenarnya hari ini kelas Manajemen tidak memiliki jadwal terlalu pagi, tetapi Revina sudah meninggalkan rumah sejak matahari belum terbit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebenarnya hari ini kelas Manajemen tidak memiliki jadwal terlalu pagi, tetapi Revina sudah meninggalkan rumah sejak matahari belum terbit. Subuh buta ia langsung melajukan motor ke salah satu rumah sakit swasta yang sudah lama tak dikunjungi, mungkin terakhir kali ke sana saat sepuluh tahun yang lalu. Tempat tersebut seolah menjadi mimpi buruk baginya dan seluruh keluarga Daniel. Bahkan, baik keluarganya maupun keluarga laki-laki itu rela mengunjungi rumah sakit yang lebih jauh hanya sekadar untuk berobat.

Ketika sudah memarkirkan motor ke halaman depan rumah sakit, gadis yang memakai kemeja biru muda itu segera meraih ponsel yang berada di saku rok selutut yang digunakannya. Ia sudah membuat janji dengan seseorang yang juga bekerja di rumah sakit ini, tidak terlalu dekat tetapi masih berpangkat sepupu dari pihak ayahnya. Revina tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan koneksi orang dalam untuk melakukan misinya kali ini.

"Bang, aku udah di depan," ucapnya begitu sambungan telepon mereka terhubung.

Awalnya Sisil akan menyusul ke sini, hanya saja tadi saat masih di rumah ada pesan masuk dari gadis itu yang mengatakan ia tak bisa pergi karena harus mengunjungi neneknya yang tiba-tiba sakit di luar kota. Sehingga Revina harus sendirian, cewek itu belum bisa mempercayai orang lain lagi. Bisa saja jika ingin melibatkan Maria, tetapi kasus yang kemarin saja masih membuatnya syok dan lebih pendiam sehingga bukan pilihan yang tepat jika mengajaknya.

"Widih, udah glow up aja, nih, terakhir kita ketemu kamu masih ngeluh sering insecure." Kalimat sapaan pertama yang keluar dari pria yang berumur akhir dua puluhan itu sedikit membuat Revina bangga, setidaknya hasil dari percobaan dari berbagai jenis skincare dan make up tidak terlalu mengecewakan.

"Iya, dong, Bang. Masa mau gitu-gitu aja," sahut Revina menanggapi candaan tersebut.

Pertama kali bertemu setelah berbulan-bulan tentu mengharuskan mereka sedikit berbasa-basi sebelum mencapai topik serius, lagi pula garis besar cerita sudah diberitahu Revina lewat telepon kemarin. Orang yang disapa Bang Derren atau memiliki nama lengkap Derren Atmadja merupakan dokter spesialis yang berjaga di Instalasi Gawat Darurat, hari ini kebetulan ia memiliki jadwal jaga malam sehingga Revina harus datang sebelum waktu shift habis untuk menemuinya.

"Ayo masuk!" ajak Darren.

Keduanya menyusuri koridor rumah sakit, lalu naik ke lantai tiga di mana ruangan Darren berada. Pria itu menuju meja kerja miliknya, sementara Revina menunggu di sofa yang tersedia di sana. Sebuah amplop cokelat berada di tangan sepupunya, sesuatu yang dibutuhkan gadis itu dari rumah sakit ini.

"Sebelumnya, abang mau tanya. Kenapa kamu ngungkit hal ini lagi?" Walaupun ia tidak ada hubungannya dengan urusan Revina dan keluarga Daniel, tetapi Darren tahu bagaimana gadis itu hancur saat anak bungsu dari keluarga Narendra meninggal sepuluh tahun silam.

Mulut Revina tertutup rapat, ia tak tahu apakah harus menceritakannya atau tidak. Ingin menyenggol secara garis besar pun tak bisa, semuanya berhubungan. Tarikan napas panjang dilakukan gadis itu agar bisa lebih terbuka dalam berpikir, lalu mulai mengatakan, "Ada sesuatu yang aku curigain, ini berhubungan dengan salah satu kasus di kepolisian juga. Makanya aku minta bantu abang sama om."

Pesan beruntun yang dikirim beberapa waktu lalu memberikan sebuah petunjuk, pengirimnya tidak bermain kata seperti sebelumnya. Bahkan, terkesan to the point. Saat itu kepala Revina langsung pusing memikirkan berapa banyak hal yang terkait hanya karena satu kasus ini.

Kecelakaan orang tedekatmu terkait dengan kematian yang kalian selidiki, kasus di kepolisian ditutup.

Cukup lama Revina memutar otaknya hingga menemukan jawabannya malam itu. Saat melihat rumah Daniel dari kaca kamarnya barulah ia teringat sesuatu, tidak ada orang terdekatnya yang mengalami kecelakaan kecuali Luna.

"Abang gak tau apa yang kamu selidikin, tapi kayaknya ini berbahaya, Na. Papa sempat nolak buat ketemu, bahkan hampir mau nelpon papa kamu," ungkap Darren sedikit merendahkan nada suaranya.

Mata gadis itu langsung melebar, akan panjang urusannya jika sang papa sampai tahu hal ini. Saat ingin memilih jalan ini pun, Revina sudah memikirkannya berulang kali. Omnya pasti akan mendesak untuk mengetahui keseluruhan cerita, belum lagi saudara tertua dari papanya itu memiliki sifat yang membuat Revina tak berani berkutik apalagi sampai berbohong.

"Aman, kok, Bang. Tenang aja."

Hanya itu yang bisa dikatakan Revina kepada Darren, senyuman tipis ditarik di dua sudut bibirnya agar lebih menyakinkan. Ia bisa mendengar helaan napas kasar dari sang lawan bicara, tetapi tidak ada kata yang keluar untuk membalas ucapannya. Keduanya terdiam cukup lama. Revina sibuk membaca berkas di tangannya, sementara Derren memainkan ponsel berlogo apel yang digigit.

"Kamu tunggu di sini aja, abang mau ke bawah dulu. Jam ganti shift bentar lagi abis," ucap pria itu sebelum meninggalkan Revina sendirian di ruangan miliknya.

°○●○°

Setelah waktu jaga Darren selesai, keduanya bergegas menuju kantor polisi dengan mengendarakan kendaraan masing-masing. Awalnya Darren sempat menawari Revina agar ikut dengannya saja menggunakan mobil, sementara motor miliknya ditinggalkan di rumah sakit saja. Namun, gadis itu tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi sehingga tetap memilih menggunakan kendaraan sendiri.

Ini pertama kalinya Revina berurusan dengan polisi, selain dalam proses pembuatan Surat Izin Mengemudi. Ia berjalan di belakang Darren yang sudah akrab dengan tempat tersebut, bahkan tidak memerlukan laporan lagi saat masuk. Mereka langsung berjalan menuju ruangan orang yang paling dihormati di tempat ini, AKBP Raka Atmadja, S.H., S.I.K., M.H.

"Pa," sapa Darren terlebih dahulu.

"Pagi, Om." Revina mengikuti memberi salam. Baru memasuki ruangan ini saja tubuhnya sudah merinding, aura kepemimpinan omnya yang menjabat sebagai Kalpores sedikit pun tidak memudar di depan anak dan keponakannya.

"Duduk!" Tangannya menunjuk ke sofa yang memang disediakan untuk tamu, sehingga Darren dan Revina segera duduk di sana.

Pria yang sudah memasuki umur 53 tahun itu berpindah dari kursi kebesarannya ke sofa tunggal, matanya menatap dua anak muda yang membuat janji temu pagi ini. Bahkan, masih dikatakan terlalu pagi untuk bertamu. Jam baru menunjukkan pukul tujuh lewat seperempat pagi.

"Kamu bisa pulang, Darren. Papa mau bicara sama Revina berdua," ujar orang yang paling tua di ruangan itu.

Kepala Darren menoleh ke arah Revina untuk melihatnya, saat melihat gadis itu mengangguk singkat memberi sinyal bahwa ia tak apa jika ditinggal membuat Darren segera berdiri. "Darren pulang dulu, Pa," pamitnya pada sang papa, "abang duluan, ya." Tangan Darren menepuk kepala Revina beberapa kali sebelum keluar dari sana.

Setelah kepergian Darren, rasanya Revina tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan, untuk bernapas saja sulit. "Om tau apa yang aku mau," ucapnya tak mau berbasa-basi. Ia harus bisa melewati ini, cepat atau lambat omnya juga pasti akan menanyakan. Jadi, lebih baik Revina memberi tahu terlebih dahulu.

Orang yang menjadi targetnya menggunakan kekuasaan dan uang untuk menutup kasus dan menyuap para polisi, sehingga Revina harus mengambil langkah menggunakan 'orang dalam' dalam menyelesaikan masalah ini.

Orang yang menjadi targetnya menggunakan kekuasaan dan uang untuk menutup kasus dan menyuap para polisi, sehingga Revina harus mengambil langkah menggunakan 'orang dalam' dalam menyelesaikan masalah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang