Bab 21 | Diculik

8 3 1
                                    

Mata tajam orang di depannya membuat jantung gadis muda itu berdetak kencang, ia tahu langkahnya sangat ekstrim bahkan salah sedikit saja bisa menyangkut nyawa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mata tajam orang di depannya membuat jantung gadis muda itu berdetak kencang, ia tahu langkahnya sangat ekstrim bahkan salah sedikit saja bisa menyangkut nyawa. Namun, rasa penasaran dan ingin menyelesaikan semua yang sudah terjadi membuat Revina tidak mau mundur. Apa pun risiko yang terjadi ke depannya nanti, ia sudah siap. Termasuk diteror berkali-kali, entah lewat chat atau pun kiriman paket yang tidak berkemanusiaan.

"Aku terlanjur terlibat, Om. Udah kepalang basah, jadi nyebur aja sekalian," kata Revina.

"Ceritain semua kronologisnya dari awal sampai sekarang, gak ada yang ditutupin!" perintah Raka.

Ragu-ragu Revina memulai cerita, ia juga memilih kata-kata yang lebih pantas digunakan agar tidak memancing emosi dari lawan bicara. Dari klub yang ingin dibubarkan sampai saat misi menangkap Papa Maria lancar diucapkan, tetapi saat ingin melanjutkan Raka terlebih dahulu memotong, "Tunggu, siapa namanya?" tanya Pria itu.

"Ferdi," jawab Revina pelan.

Nama itu tentu tidak asing lagi untuk Raka, pria yang disebutkan Revina tadi banyak bermain kotor tetapi selalu mencuci tangan setelahnya sehingga sangat sulit untuk menemukan bukti agar bisa ditangkap. "Kamu benar-benar gak waras lagi, Na! Otakmu di mana? Kalian hanya berlima berhadapan dengan manusia keji itu? Malah kamu yang jadi umpannya? Kalau papamu sampai tau, om gak yakin setelah ini kamu bisa keluar rumah. Atau paling enggak, langsung dikirim ke rumah nenek," omel Raka tak peduli seberapa besar suaranya yang keluar. Ia tak habis pikir dengan keponakannya yang satu ini, terlalu nekat dan selalu penasaran akan sesuatu.

Kalimat terakhir yang keluar dari mulut omnya membuat mata Revina melotot, tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika sampai dikirim ke rumah sang nenek. Sebenarnya tidak ada masalah apa-apa di sana, bahkan perdesaan lebih tenang daripada perkotaan. Namun, untuk berdiam diri dalam waktu lama, Revina belum siap dan tidak akan pernah siap. Ia juga termasuk anak kota yang kecanduan akan ponsel, jalan-jalan di mall dan berbagai tempat kekinian, serta selalu mengikuti tren.

Sementara jika berada di desa, semua itu hanya menjadi mimpi. Jangankan untuk bermain media sosial, sinyal saja nyaris tidak ada. Mereka menggunakan telepon rumah untuk komunikasi, itu pun tak setiap atap memilikinya. Tempat seru di desa neneknya hanya air terjun, selebihnya tidak ada lagi menurut Revina.

"Seenggaknya sekarang aku gak kenapa-napa, Om. Gak ada yang perlu dikhawatirin, Daniel bakal selalu ngelindungin aku." Tak sekali pun bagi Revina meragukan penjagaan Daniel kepadanya, laki-laki itu akan terus membuatnya merasa aman di mana pun dan kapan pun.

Seluruh keluarga Atmadja sudah tidak asing dengan nama yang baru disebutkan, cowok itu sering kali ikut pertemuan keluarga dari pihak papa Revina sejak mereka kecil. Raka bernapas lega, setidaknya dari empat orang yang ikut menjalankan misi dengan Revina, ada satu yang bisa dipercayainya. Daniel kadang sudah dianggap anak oleh keluarga besar mereka.

"Lanjut!"

Tenggorokan Revina seolah disangkuti oleh sesuatu, hal yang belum diceritakan adalah tentang teror yang melibatkan dirinya dan Maria. Ia tak yakin Raka bisa akan lebih bersabar jika mendengar cerita tersebut, bahkan sempat terlintas di benaknya bahwa anak tertua dari keluarga Atmadja itu akan menelepon si bungsu dan menceritakan semuanya. Membayangkannya saja sudah membuat Revina mendesah pasrah.

Ransel yang dibawanya dibuka untuk mengeluarkan sesuatu, sebuah kresek hitam besar dikeluarkan dari sana. Revina meletakkan barang tersebut di atas meja, lalu menggeser lebih dekat ke arah Raka. "Om buka aja, selebihnya yang belom aku ceritain ada di situ," kata gadis itu dengan sangat pelan.

Mata pria berpangkat AKBP itu membuka kantong yang diberikan keponakannya, ia mengambil salah satu gulungan kain yang paling besar. Ketika dibuka, benda tersebut langsung menghamburkan bau tak sedap. Potongan tangan yang ditemukan Maria terpampang di sana.

"Di mana kamu mendapatkannya?" tanya Raka tajam.

Kepala Revina dengan cepat menggeleng, lalu membantah, "Bukan aku. Senior yang berada di klub jurnalis yang menemukannya."

Tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, Raka lanjut membuka bungkusan lainnya. Ia menggelengkan kepala melihat semua itu, lalu segera bangkit menuju meja kerja dan menelepon bawahannya. Hal yang Revina tahu, bagian forensik akan menyelidiki bagian tubuh siapa yang dijadikan 'kado' seperti ini kepadanya dan Maria.

"Ini dikirim ke seniormu semua?"

"Tidak, hanya satu. Sisanya kepadaku," jawab Revina cukup tenang.

Ia sudah bisa menyesuaikan diri membicarakan teror tersebut, lagi pula Raka tidak menunjukkan tanda-tanda akan memarahinya. Pria tua itu lebih fokus meneliti bagian tubuh seseorang yang terletak di atas meja dengan menggunakan sarung tangan. Entah kenapa, Revina bersyukur papanya tidak memilih jejak yang sama dengan sang om. Setidaknya ia tak harus berhadapan dengan dua orang sekaligus.

Tak lama kemudian, dua orang dokter dari bagian forensik yang biasa bekerja sama dengan kapolres datang dan mengambil semua barang yang dibawa Revina. Mereka mengatakan membutuhkan tiga sampai lima hari untuk mengetahui hasilnya, kasus ini juga harus diselidiki terlebih dahulu. Apakah ada seseorang yang menghilang akibat dibunuh atau terjadi hal lain.

Raka melepas sarung tangannya, lalu membungkus dengan plastik dan meletakkan di ujung meja. "Apa ada hal lain lagi yang ditujukan kepadamu?"

Pria itu merasa sedang mengintrogasi korban dibanding keponakan sendiri, sikap Revina yang tenang jauh membuatnya lebih khawatir setelah tahu teror-teror itu. Seolah tak diberikan jeda untuk bernapas, Raka menatap tajam anak dari adiknya saat mengeluarkan beberapa kertas yang sudah bisa ditebak apa isinya.

Surat ancaman.

Revina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul delapan pagi, buru-buru ia mengemaskan barang kuliah yang sempat keluar dari tas. "Om, aku pergi dulu. Ada kelas jam sembilan. Nanti aku ke sini lagi atau main ke rumah," pamit Revina.

Jarak dari kapolres ke univeritasnya cukup jauh, paling tidak memerlukan waktu hampir setengah jam. Sementara jika ia harus pergi ke rumah Raka, maka akan memakan waktu dua jam dari rumahnya. Sebab itulah mereka jarang bertemu kecuali ada pertemuan penting atau acara keluarga.

"Hati-hati."

Setelah keluar dari kawasan kantor polisi, perasaan tak nyaman mulai menghampirinya. Selama mengendarai motor, ia merasa was-was sehingga terus memperhatikan sekeliling. Entah hanya firasat atau memang benar, tiga motor di belakang seperti mengikutinya. Gadis itu terus melirik melalui kaca spion, merapalkan doa dan berharap mereka hanya searah.

Namun, saat sudah mencapai belokan menuju kampus tiba-tiba dua motor itu memotongnya dan berhenti di tengah jalan. Revina terpaksa mengerem mendadak agar tidak menabrak satu motor yang menghalangi jalannya. "Ada apa? Siapa kalian?" teriak gadis itu.

Jalanan yang dilaluinya tampak sepi, ini adalah jalan yang biasa digunakan para mahasiswa atau mahasiswi untuk ke kampus, sangat jarang ada orang umum masuk ke sana. Mau meminta tolong pun sepertinya percuma, hanya mengabiskan tenaga dan suara. Di pikiran Revina, tak ada cara lain selain kabur.

Sayangnya, satu lawan enam tentu akan kalah. Ia ditangkap sebelum lari jauh dari mereka, lalu tak lama pandangannya mulai memburam begitu sapu tangan membekap area mulut dan hidungnya. Satu hal yang bisa Revina lihat sebelum menutup mata, seorang laki-laki turun dari mobil dan mengucapkan, "Kerja bagus."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Two SideWhere stories live. Discover now