Bab 8 | Terungkap

17 7 1
                                    

Jalanan kota tampak padat meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi dari banyaknya orang yang memadati jalan itu tak satu pun yang peduli pada gadis yang berjalan kaki dengan pakaian lusuh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jalanan kota tampak padat meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi dari banyaknya orang yang memadati jalan itu tak satu pun yang peduli pada gadis yang berjalan kaki dengan pakaian lusuh. Setelah memulihkan tenaganya, Maria bergegas keluar dari rumah tanpa berganti baju terlebih dahulu. Bahkan, ia tidak membawa uang dan ponsel.

Tujuannya hanya satu, pergi ke kos-an milik Gusti. Laki-laki itu hampir mengetahui seluruh kehidupan Maria selain persoalan tentang papanya, perjodohan, dan sesuatu yang dilihatnya tempo hari. Namun, malam ini ia ingin mengungkapkan semua hal yang telah ditahan.

"Gus, gue berharap lo ada di kos-an sekarang," harap Maria lirih.

Walaupun kecil kemungkinan Gusti berada di kamarnya, Maria tetap nekat pergi ke sana. Biasanya, setiap malam Minggu laki-laki itu pergi ke luar bersama teman sekampusnya dan baru kembali setelah lewat tengah malam. Jika harus menunggu selama itu, ia takut kepergiannya diketahui sang papa. Pilihan lain Maria apabila tidak menemukan Gusti di tempat tinggalnya adalah pergi ke rumah Revina, meskipun jarak yang harus ditempuh mencapai tujuh kilo meter.

Bangunan tempat tinggal Gusti sudah kelihatan, tinggal satu belokan lagi maka Maria sampai ke sana. Sialnya, hujan tiba-tiba turun beserta angin. Gadis itu mendadak berhenti berjalan, otaknya langsung blank seketika. Tak lama kemudian, ia tertawa kecil dengan kepala tertunduk.

Maria merasa seolah alam sedang mendukungnya, air mata yang sejak tadi ditahan mulai berlomba-lomba keluar. Sedikit pun tak terlintas di benak cewek itu untuk berteduh, ia merelakan tubuhnya diguyur hujan. Tajamnya tetesan yang jatuh ke bumi, malah membuatnya merasa candu. Rasa sakit itu sedikit mengalihan sisa siksaan yang diberi papanya.

Saat Maria masih menikmati tetesan hujan, tiba-tiba ada payung yang terulur menutupi kepalanya. "Gus!" panggilannya, sedikit tak percaya.

"Lo ngapain di sini? Ujan-ujanan lagi." Dari nada bicaranya, jelas sekali jika cowok itu khawatir. Sebagian tubuhnya basah karena memayungi Maria, sementara gadis yang dipayungi hanya terdiam melihat orang yang ingin dikunjunginya.

Tanpa aba-aba, Maria memeluk laki-laki yang selama ini selalu berada di sampingnya. Payung yang semula melindungi mereka dari hujan terjatuh karena Gusti terlalu kaget atas tindakan tersebut, kedua tangannya yang tergantung bebas perlahan terangkat membalas pelukan dari gadis yang dicintainya. Tadi saat ia ingin menutup gorden kamar, dari kejauhan terlihat sosok yang seperti tidak asing di matanya. Gusti sempat ragu untuk turun memastikan, tetapi jika benar yang dilihatnya adalah Maria maka laki-laki itu akan menyesal seandainya tidak menghampiri.

"Ayo ke kamar gue!" ajak laki-laki itu.

Tak ada maksud lain dalam ajakannya, murni hanya ingin Maria tidak hujan-hujanan lagi dan berakhir jatuh sakit. Payung yang terjatuh diambil kembali, tetapi gadis yang dirangkul Gusti itu malah menggeleng tak ingin menggunakan pelindung. Merasa semakin tak beres, Gusti memberikan payung ke Maria agar gadis itu yang memegangnya. Ia berinisiatif menggendongnya dan berlari menuju kos-annya.

Beruntung malam ini hari hujan dan malam Minggu, jika tidak maka mereka akan jadi bulan-bulanan penghuni kos-an. Peraturan di tempat tersebut memang membebaskan siapa pun keluar masuk, baik itu laki-laki maupun perempuan. Bahkan, tidak berlaku jam malam.

"Pake baju gue aja gak papa, kan? Daripada lo masuk angin," ujar Gusti sambil membongkar isi lemarinya.

Keberuntungan lainnya adalah setiap kamar memiliki kamar mandi sendiri, sehingga tidak perlu antri. Gusti tak bisa membayangkan jika satu kamar mandi digunakan beramai, pasti canggung bagi Maria untuk memasukinya, meski sekadar berganti pakaian.

"Kayaknya yang ini lumayan pas buat lo, soalnya di gue udah kekecilan." Sepotong baju kaos dan celana pendek diberikan Gusti kepada Maria. Ia ingat baru beberapa kali memakai baju tersebut, tetapi sudah tidak bisa digunakan lagi karena bagian tangannya mengetat. Beberapa bulan ke belakang Gusti memang rajin nge-gym, otot-otot di lengan dan tubuhnya mulai terbentuk meski tidak terlalu kelihatan.

Setelah Maria keluar dari kamar mandi, gadis itu kembali mendudukkan diri di sisi kiri Gusti. Kepalanya dijatuhkan ke pundak laki-laki di sampingnya, ia menghela napas sebelum menutup mata. "Gue capek, Gus," keluhnya.

"Gak papa, wajar kalau kita ngerasa capek. Lo manusia, Mar, mustahil bisa kuat terus. Lo boleh lemah, tapi lo gak boleh nyerah. Dalam hal apa pun di dunia ini, selalu ada jalan keluarnya," ucap Gusti meskipun masih tidak mengerti permasalahan Maria sepenuhnya, "satu lagi, gue akan terus di samping dan di belakang lo. Gue gak akan lepas tangan lo, kita bisa jalan bareng-bareng. Kalau lo mau nyerah, gue siap buat maju. Jadi, jangan takut!"

"Gue pengen cerita sesuatu, tapi takut lo malah ngejauh," cicit Maria.

Kepalanya ditarik menjauh dari bahu Gusti, mata mereka saling menatap selama beberapa detik sebelum Maria mengalihkan pandangan ke arah lain terlebih dahulu. Kalau boleh mengakui, Maria sangat menyukai tatapan itu. Rasanya ia tak pernah melihat seseorang yang menatapnya seperti yang Gusti lakukan, bahkan papanya sekalipun.

Hanya dengan melihat sosoknya saja Maria merasa tenang. Apalagi kedua tangan cowok yang juga sudah berganti baju itu memegang jemarinya, perasaan aman dan terlindungi seolah melingkupi Maria. Bagaimana bisa ia bertunangan dengan laki-laki lain sementara orang di depannya sangat tulus, bahkan sifat mereka berbeda 180 derajat.

"Janji. Gue gak akan ngejauh, apa pun yang keluar dari mulut lo," sahut Gusti serius.

Cukup lama Maria menimbang kembali keputusannya, ia takut cerita yang diucapkannya membawa dampak buruk untuk Gusti. Kekuatan papanya tidak bisa diremehkan, bisa jadi kehidupan cowok berusia 21 tahun itu menjadi berantakan. Lebih parahnya, dibunuh.

"Selama gue ngomong, jangan dipotong!" Maria terlebih dahulu memberi peringatan, lalu kembali berbicara. "Gue agak curiga sama Papa beberapa hari ini. Tentang Pak Gilang, kayaknya Papa gue yang bunuh dia."

Maria tahu Gusti menyimpan banyak pertanyaan di benaknya, tetapi ia mengangkat tangan agar laki-laki itu menahan terlebih dahulu. "Papa jodohin gue sama dia. Beberapa waktu, dia mulai kasar. Apa yang dibilang anak-anak di kampus itu salah besar, Pak Gilang enggak sebaik itu. Dia sempet ngelecehin gue, itu yang buat Papa marah besar. Walaupun sebenernya Papa juga marah sama gue," ungkap Maria.

"Gus, lo jijik, kan, sama gue? Sama, gue bahkan pengen bunuh diri semenjak itu. Lo liat luka di tubuh gue, ini semua gara-gara Papa yang ngelampiasin amarahnya karena perjodohan itu gagal. Keluarga Pak Gilang membatalkan kerja sama dengan perusahaan papa."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Two SideWhere stories live. Discover now