Bab 7 | Jadinya, salah siapa?

20 6 5
                                    

Revina segera mengunci pintu rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Revina segera mengunci pintu rumah. Takut-takut kalau Daniel nekat menerobos rumahnya karena kepala batu lelaki satu itu mirip dengan Revina yang tidak mau terkalahkan. Dia membuang napasnya keras-keras saat bersandar pada pintu. Kemudian perhatiannya teralihkan pada kotak ringan yang ada identitasnya, lengkap dengan alamat rumah—milik Daniel.

Kayaknya pengirim ini salah sasaran ya?

Jika paket yang sekarang ini ada di tangannya berhubungan dengan Maria, pasti identitas pengirim di sembunyikan. Namun anehnya, kolom identitas dan alamat pengirim tercetak jelas. Sependek ingatan Revina pun selama pekan ini, ia belum checkout apa pun dari toko online shop. “Mungkinkah dugaan Mama ada benarnya? Kali aja aku lupa sama pesenanku sendiri.”

Revina lantas mengambil gunting dan mendudukkan diri pada sofa tengah rumah. Ia membuka paket tanpa perasaan cemas, lantaran feeling-nya tidak merasakan bahaya apa pun.

Setelah kotak itu berhasil terbuka, keningnya lantas berkerut. Dia tertawa jengah. “Hah? Ternyata surat? Yang benar saja!” Revina mendorong kotak itu. Dia tidak habis pikir dengan pengirim yang hanya memberikannya sepucuk surat. “Emangnya masih jaman Siti Nurbaya kali? Main surat-surat segala,” gerutunya.

Namun, tak ayal juga, Revina kembali meraih kotak tersebut dan mengambil isinya. Ia menatap surat itu dengan sinis, seolah dengan memaki surat itu ia juga dapat menyampaikan kekesalan Revina pada si pengirim.

Sayangnya kesinisan yang bermula dari rasa percaya diri dan sikap sok berani dirinya justru membawa malapetaka. Revina tidak tahu kalau hati manusia itu seluas dan sedalam samudera yang tiada batas serta tidak diketahui sejernih atau sekotor apa di dalamnya. Hal terakhir yang diingat Revina ketika ketakutan itu mulai mempengaruhinya, ialah menelepon siapapun!

Dengan tangan bergetar setelah menjauhkan surat yang telah dibaca, Revina menekan kontak telepon. Ia menunggu penerima telepon dengan kecemasan luar biasa. Bahkan dahi serta tengkuknya sudah berkeringat dingin.

“Halo, Na? Gimana?”

Napas Revina tidak teratur. Matanya bergerak liar antara melihat surat yang kini sudah tergeletak di lantai dengan kondisi terbuka, samar-samar kalimat itu terlihat oleh Revina yang bergerak menjauh. Bahkan karena tidak melihat sekitar, Revina pun terjatuh dari sofa. Ia sempat menyenggol pot tanaman hias milik Irish yang pecahannya mengenai telapak tangannya. Revina pun jadi jadi merintih kesakitan.

“Lo di rumah, kan, Na? Gue ke sana!”

Sementara tangan Revina yang lain, mencekal ponselnya dengan erat. Ia hanya mengangguk dan menjawabnya dengan lirih, “I-iya. Tolong ... cepet ....”

•oOo•

Ruangan kedap suara yang berada di bawah tanah, mirip seperti penjara rumah, sengaja dibangun di atas rumah mewah berlantai empat yang memanjakan mata iri orang-orang.

Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang