Teriakan Revina tidak serta-merta membuat langkah kaki dari sosok di hadapannya--yang memakai topeng setengah wajah--berhenti mendekati ranjang. Sosok itu kemudian menekan kedua pipi Revina dan berkata depan mukanya yang hanya berjarak setengah jengkal. “Gue bakal kasih tahu lo, permainan apa yang lebih menyenangkan.”

Lalu, tanpa aba-aba, laki-laki itu menyerang bibir Revina dengan serakah. Terkesan menuntut dan mengikis jarak di antara mereka. Pemberontak yang Revina lakukan, tidak berarti apa-apa karena kesulitannya untuk bergerak.

Beberapa kali Revina berhasil mengelak. Namun, lelaki itu kembali menyerang tubuhnya dengan kasar. Air matanya pun luluh seketika. Ia mencoba menghindar di tiap kesempatan, saat laki-laki tak tahu diri itu meninggalkan tanda di tubuhnya.

“Gue mohon ... jangan lakukan itu...!”

Namun, bukan namanya budak, jika sang tuan menuruti perkataan budaknya sendiri. Ia malah makin bergerilya menjajah tubuh Revina dan memberikan gadis itu hukuman setimpal dengan apa yang pernah gadis itu lakukan tanpa disadari.

Ini baru permulaan, Re. Lo bakalan lebih menyesal karena pernah menolak seseorang dulu. 

•oOo•

Kedua motor itu melintas dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang telah mereka kantongi. Melihat kondisi jalan yang lenggang, karena hari sudah menunjukkan pukul tengah malam, mereka makin leluasa untuk mendominasi jalanan dengan suara bising dari knalpot yang telah dimodifikasi.

Sudah terhitung dua malam ini, keduanya melakukan pencarian. Salah satu di antaranya sudah memberitahukan pada pihak kepolisian tentang hilangnya Revina. Sesuai dugaan Daniel, sanak-saudara Revina yang tinggal di ibu kota seketika panik dan membombardirnya dengan serangkaian pertanyaan memuakkan.

Ibunya, salah satu dari sekian orang yang ikut mencemaskan Revina. Bahkan ketika mendengarkan berita tersebut, Bu Narendra pingsan dan membuat orang-orang di rumahnya jadi kian gelisah. Pasalnya, berita itu bagaikan bom waktu yang dapat membahayakan nyawa ibu Daniel.

“Sialan!”

Daniel meminggirkan motornya ke bahu jalan. Ponselnya terus bergetar sedari tadi dan membuyarkan konsentrasinya. Azriel yang mengikutinya dari belakang lantas menghampiri Daniel dan menepuk pundak laki-laki itu.

“Kenapa lagi lo?”

Daniel mengangkat muka sekilas, lalu berkata, “Bokap.” Kemudian setelahnya, ia mendengar suara bariton yang telah lama tak ia dengar, karena dinas ayahnya yang sering mengharuskan Pak Narendra untuk pergi ke luar kota.

“Balik sekarang, Niel! Penyakit Mama kambuh.”

Seketika jantung Daniel seperti terlempar keluar. Ia gelagapan untuk menjawab. Wajahnya makin pucat karena sedari tadi dipikirannya hanya memikirkan keselamatan gadis yang sudah menghilang berhari-hari, tetapi ia malah melupakan kondisi wanita yang menjadi cinta pertama baginya itu.

“A-aku  ... balik sekarang.”

“Cepat, Niel! Papa nggak mau tahu, dalam waktu setengah jam kamu harus ada di rumah. Kita pergi ke Singapura sekarang.”

Tapi, Pa ...!”

Sambungan telepon itu ditutup secara sepihak. Daniel mengumpat dalam hati. Ia merasa tak berdaya dan tak berguna. Alih-alih menemukan Revina, ia kini dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama memberatkan hatinya.

Daniel makin frustrasi. Ia seketika berjongkok dan menundukkan kepalanya. Tangannya yang terbebas dari memegang ponsel, ia gunakan untuk menjambak rambutnya hingga beberapa helai tercabut. Namun, rasa perih itu tidak sebanding dengan isi pikiran dan keadaan hatinya yang makin kalut.

Daniel menggertakkan giginya. Lalu menoleh ke arah Azriel yang kemungkinan heran atas reaksinya. Tanpa sadar pun, matanya yang memerah pasti membuat Azriel bertanya-tanya. Dengan terpaksa, ia bangkit dan mencengkeram bahu sahabatnya itu cukup kencang.

“Bagaimana pun caranya, lo harus bisa temuin Nana,” tegas Daniel.

Tersirat jelas di muka laki-laki berhoodie hitam itu, kalau ia sangat memedulikan Revina.

“Itu udah pasti. Lo tenang aja.”

Daniel mengangguk. Ia percaya pada kemampuan Azriel yang sudah dikenalnya sejak SMA dulu. Setidaknya, pergulatan dalam batinnya harus ia putuskan secepat mungkin. Daniel tidak ingin mengulangi kesalahan yang lalu. Akibat keputusannya, ia sampai kehilangan seseorang yang berarti baginya.

“Kalau gitu, gue balik dulu,” pamit Daniel. Ia berjalan menuju motor dan bersiap menstarternya. “Lo harus pastiin kalau Nana dalam keadaan baik-baik aja. Gue nggak akan terima kalau ada sedikit lecet darinya,” tegasnya lagi.

Azriel mengerutkan kening saat arah yang di ambil oleh Daniel, berseberangan dengan tujuan mereka. Ia pun mengikuti Daniel dan mensejajarkan laju kendaraan mereka.

“Lo bodoh apa tolol sih! Lo salah jalan bego!” maki Azriel dengan suara nyaring.

Daniel menghentikan motornya secara tiba-tiba. Azriel bahkan hampir saja menabrak Kawasaki Ninja H2 yang masih terlihat berkilat seperti baru.

“Bangsat! Kalau ngerem bilang-bilang kek!” murka Azriel dibalik helm full face-nya.

“Lo lanjutin pencarian Nana. Gue mesti cabut.”

Kemudian tanpa memberikan penjelasan pada Azriel, Daniel sudah lebih dulu melesat dari pandangannya.

”Sialan!” umpat Azriel.

Two SideWhere stories live. Discover now