Bab 10 | Gara-gara Sisil

Beginne am Anfang
                                    

Daniel tidak menyanggah, “Memang. Lo takut?”

Sisil menggeleng. Kepalanya ia miringkan saat menghadap ke Daniel. “Tapi, lo nggak tahu apa? Kalau Revi itu orang yang paling nggak mau repotin orang, apalagi lo.” Pandangannya ia alihkan pada pot tanaman yang sisinya sudah sebagian terkena lumut. “Revi, meski nggak ngurusin hal-hal yang merepotkan, dia juga paling males kalo udah ngerepotin orang.”

“Maksud lo, Nana ngerasa ngerepotin gue?” Tawa miris Daniel membuat Sisil tersenyum singkat.

“Lo cuma nggak paham perasaan perempuan, Niel.”

Telak! Kali ini Daniel kena tinju perkataan yang sama. Ia jadi merasa tidak berdaya menghadapi Revina. Serumit apa sih, perasaan perempuan hingga sulit dimengerti?

Sisil berdiri, ia menepuk bahu Daniel. “Gue rasa, nggak ada salahnya kalau lo beri kesempatan buat Revi ngelakuin apa yang dia mau.” Ia mengangkat bahu sambil berkata, “kali aja dia betulan bisa ngebantu beresin kasus ini dan nggak ngerasa terbebani sama pikirannya yang sulit ditebak, 'kan?”

•oOo•

Muka menahan amarah dengan alis menukik tajam, mengarah pada satu-satunya sosok yang duduk gelisah di samping ketiga laki-laki yang bersembunyi di balik tembok bangunan terbengkalai. Ia menahan diri untuk tidak menerjang pria berpakaian elit yang kini sedang mencengkeram dagu perempuan berpakaian minim yang hampir saja ia cabik-cabik pakaian sialan itu karena dengan beraninya, menampilkan sebagian tubuh yang mampu menggoyahkan iman para lelaki.

“Bangsat!”

Umpatan sekian kalinya membuat kedua sosok yang menemaninya, menoleh serempak. Mereka mengisyaratkan untuk tetap diam. Namun, kepalanya sudah kebakaran jenggot melihat apa yang ada di depan mata. Ia pun melampiaskan amarahnya pada Sisil yang berada di sampingnya, dengan mencekal kuat pergelangan gadis itu hingga membuatnya meringis. Ia tidak tidak peduli!

“Gara-gara saran sialan lo itu!” kecam Daniel dengan mata berkilat emosi. “Gue jadi ngebiarin Nana ngambil keputusan gila! Lo nggak mikirin keselamatan temen lo apa!”

Sisil yang merasa bersalah karena membujuk anak klub Jurnalis untuk mengikuti saran Revina, hanya menundukkan kepala. Isak tangisnya ia tahan sedari tadi. “Gu-gue  ... nggak tahu bakalan kayak gini jadinya,” cicitnya dengan suara pelan.

Daniel mendesah. Ia mencoba mengontrol emosinya sebelum persembunyian mereka terbongkar. “Terserah lah!” Ia pun melepaskan cekalannya pada lengan Sisil dengan kasar. Kemudian menyugar rambutnya ke belakang dan berjalan mondar-mandir. Namun, nihil. Kecemasannya makin memuncak.

Di depan mata Daniel sendiri, sosok Revina yang sudah bertransformasi menjadi orang yang biasanya menggoda para pejabat elit sebagai simpanan, kini tengah dicengkeram rahangnya oleh Papa Maria.

“Gue nyerah! Nggak peduli apa pun yang terjadi. Kalau sampai Nana kenapa-napa, lo semua harus nanggung akibatnya!” ucap Daniel sebelum akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya tanpa mengindahkan perkataan anak klub.

•oOo•

Pria laknat beranak satu itu, memamerkan senyuman maut yang berhasil membuat Revina merasa bulu kuduknya merinding. Ia kira kalau rencana yang dirancangnya akan sukses besar. Pasalnya, pria itu memang menunjukkan ketertarikannya pada Revina--atau pada tubuhnya--yang saat itu berpura-pura meminta bantuan karena tertabrak mobil Papa Maria.

Itu semua rancangan yang sempurna. Apa lagi, dengan adanya bantuan anak IT kenalan Daniel, anak klub Jurnalis dapat tahu, kalau malam itu Papa Maria dalam keadaan mabuk. Meski tidak tahu kadar toleransi terhadap minuman laknat itu, Revina sengaja melempar diri ke sarang singa. Awalnya, rencananya memang berhasil, bahkan Revina hampir saja di bawa ke hotel yang membuatnya jadi ketar-ketir!

Namun nahas, ketika rencananya dianggap sudah matang, pria berbulu domba itu rupanya sengaja membuat Revina lengah dengan memasukan minuman yang membuat sarafnya jadi lemas hingga sukar bergerak.

Dalam hati, Revina mengutuk pria itu. Walaupun setengah mampus, jijik dengan pakaian yang dikenakannya sendiri, Revina lebih merasa hina lagi saat pria itu malah menunjukkan sisi kotornya.

Astaga kemana otak encer gue saat ngambil keputusan sialan itu!

Revina hanya mampu berontak sia-sia. Bahkan kakinya sudah tidak dapat menapaki lantai. Ia sudah diangkat tinggi-tinggi hanya dengan satu tangan pria itu yang rasanya mampu meremukkan tulang rahangnya.

Lalu, seakan menikmati kegelisahan di wajah Revina, Papa Maria berkata dengan culas tanpa rasa ragu sekali pun, “Haruskah kunodai wajah rupawanmu dengan darah, atau ...,” Pandangannya teralihkan pada lekuk tubuh Revina yang memang tampak mendukung lakon wanita itu. “Haruskah lebih dulu aku cicipi bagian tubuhmu yang masih murni itu?” bisiknya di telinga Revina.

 “Haruskah lebih dulu aku cicipi bagian tubuhmu yang masih murni itu?” bisiknya di telinga Revina

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Two SideWo Geschichten leben. Entdecke jetzt