Bab 7 | Jadinya, salah siapa?

Mulai dari awal
                                    

Kediaman Maheswara hanya menyisakan dua orang majikan dengan puluhan pelayan dan penjaga yang bersumpah setia pada majikan mereka. Kediaman yang tampak seperti rumah konglomerat pada umumnya, tetapi siapa yang tahu kalau dibalik semua itu, terdapat ruangan yang biasa digunakan sebagai 'kelas' khusus bagi tiap penerusnya.

Meskipun sudah mencapai tinggi 160 sentimeter semasa hidupnya, gadis itu tetap harus berdiri ketakutan sambil memegangi dress hitam hingga sebatas lutut. Tampak pada betis gadis bermata sayu itu ada bekas lecut cambuk yang menghitam. Sebagian bahkan masih keunguan, dan ada yang masih memerah. Bekas cambukan pekan lalu.

Gadis itu memejamkan mata dengan menggenggam erat ujung dress. Ia berharap kalau Tuhan mau berbaik hati padanya, meski bukan hamba yang taat agama, dia tetap menganggap kalau keberadaan Tuhan masih tetap ada. Ia pun tidak pernah memakai pakaian yang terbuka dikarenakan bekas luka yang ia punya. Ia tidak ingin orang-orang mengasihinya. Tidak juga pada orang yang dekat dengannya.

Lecutan cambuk yang nyaring itu berkali-kali menampar betisnya yang sudah bergaris merah terang dengan cairan darah yang sudah mengalir. Gadis itu hanya bisa membungkam mulut. Jika ia mengeluarkan rintihan sedikit saja, salah-salah kalau hukuman yang ia terima bukan hanya ini saja. Melainkan jauh mengerikan—seperti yang sudah-sudah—sulit diterima nalar.

Lecut cambuk kembali mengenai betis. Kali ini disusul oleh amarah dari orang yang gadis itu benci harus memanggilnya dengan sebutan 'Papa'.

“Ini untuk perbuatan kamu yang memalukan karena mogok ke kampus dengan dalih yang tidak masuk akal!”

Lecutan cambuk lain menyusul kemudian. “Ini karena kamu tidak menuruti perkataan Papa untuk mengikuti perjodohan yang sudah lama ditentukan.”

Tidak hanya sekali-dua kali lecut cambuk kembali diarahkan pada bagian tubuh yang jarang terlihat oleh orang. Sementara gadis itu tengah menderita, justru sosok pria berpostur gagah itu kian menambah penderitaannya. Rambutnya dijenggut ke belakang.

Suara bariton itu berbisik mengancam di telinga. “Dengarkan saya baik-baik, Maria,” Ia berdesis seraya menjilat telinga gadis itu, “jika kamu tidak ingin berakhir sama dengan ibumu, jangan pernah memancing kemarahanku. Paham?!”

Mata Maria memerah karena menahan tangisan, perasaan jijik dan kecewa di saat bersamaan. Ia pun hanya bisa mengangguki perkataan Papa. Kemudian setelah berkata demikian, sosok monster bagi Maria itu, melepaskan cekalannya dengan kasar dan mendorong tubuh Maria hingga membentur jeruji besi pada ruangan tersebut.

Sosok yang tinggi menjulang, berdiri angkuh di hadapan Maria yang tergeletak di lantai dengan babak belur pada tubuhnya. “Menjijikan.” Ucapan yang disusul dengan cara pria itu mengusap kedua tangan—yang telah memegang cambuk—dengan sapu tangan dan langsung ia buang di depan muka Maria. Seakan-akan menyiksa Maria adalah kewajiban memuakkan yang terpaksa ia lakukan. Bahkan tanpa sepatah kata apa pun, pria itu meninggalkan Maria begitu saja.

Ruangan yang memiliki pencahayaan minim itu menjadi saksi bisu bagaimana kehidupan Maria selama ini. Ia membalikan tubuh yang sudah lebam sebagian besar dan mengangkat tangannya, seakan meraih benda tidak kasat mata pada langit-langit ruangan tersebut. “Andai aku bisa memilih kehidupan ...,” Suaranya kian bergetar dengan diiringi air mata yang sudah tidak bisa ia bendung lagi.

“Aku lebih baik tinggal di panti asuhan karena dibuang oleh orang tua...,” Kemudian Maria menggeleng pelan. “Ah, tidak! Sebaiknya hidup tanpa orang tua sekali pun akan lebih baik, jika dibandingkan harus mempunyai mereka yang bahkan tidak menyayangi anaknya sendiri.”

Maria memandang langit-langit ruangan dengan rasa hampa. Ia tersenyum miris kemudian. “Tidak ada satu pun orang tua yang tidak menyayangi anaknya? Jangan konyol!” Tak lama setelah itu terdengar tawa yang menyayat hati. Ia tengah menertawakan hidupnya yang bagaikan drama semata, di mana sang ayah adalah sutradara dari kehidupannya.

“Bahkan jika harus memilih, sebaiknya aku saja yang mati. Bukan dosen itu!” Matanya berubah jadi kilatan penuh amarah. Setelah memastikan identitas dosen yang menjadi korban pembunuhan itu, emosinya kian bergejolak. Maria tidak menyangka kalau orang itu adalah orang yang sama dengan sang dosen. Ia berdesis tajam. “Kematian terlalu mudah bagi seorang pengkhianat seperti dia!”

 “Kematian terlalu mudah bagi seorang pengkhianat seperti dia!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang