Klub Jurnalis yang mengantongi hak eksklusif dalam meliput kasus yang huru-hara di kampus, tentu saja memperoleh kewajiban dan haknya untuk mendapatkan konfirmasi terkait kebenaran kasus tersebut.
Berangkat dari rasa tanggung jawab sebagai anggota senior, Maria yang saat itu sedang tidak memiliki jadwal kelas, akibat dosen yang mengganti jadwal mereka—semau dan sebisa mereka, akhirnya Maria memilih mengusut kasus tersebut sendirian, sambil menunggu anggota lain yang sedang ada jadwal kelas. Berbarengan.
Hari Senin, banyak prasangka mengerikan yang melabeli hari tersebut menjadi hari paling mengerikan. Bukan tanpa alasan tentunya, sebab segala aktivitas pada awal minggu ke-sekian, pasti diawali oleh hari yang intervalnya lebih jauh ke hari weekend dan begitu berdekatan dengan weekdays sebagai hari produktif. Hal itu juga berlaku pada anggota klub Jurnalis, kecuali Maria.
Saat ini, anggota perempuan paling senior di klub yang dikabarkan akan segera vakum itu, menjelajahi area perkampusan yang ternyata sudah sebagian besar berubah sejak 2,5 tahun pasca ospeknya dahulu. Hanya saja atmosfernya masih sama rindang dengan berderet pohon-pohon besar berdaun lebat dan berakar menggantung. Apalagi jika mendekati lokasi kumuh yang jarang dilewati orang, bahkan tidak tersentuh sekali pun oleh orang-orang penjaga kampus karena sudah ada bangunan baru, pengganti bangunan lama yang terbengkalai di belakang.
Langkah Maria menyusuri daerah tersebut terhenti akibat kepekaan indera pendengarnya dalam menangkap percakapan orang-orang. Mereka bersembunyi di bilik kamar mandi yang telah usang. Maria segera menyembunyikan diri di balik tembok yang menjadi pemisah antara lokasi kamar mandi dengan jalan setapak ke koridor Jurusan Teknik.
“Agiii! Gimana ini!” Kelihatan betul jika perempuan berhijab kuning jerami itu mengeluhkan sesuatu pada seseorang—Maria anggap sebagai sosok kepercayaan dari perempuan tersebut. “Saya tidak bisa menutupi kejadian yang sudah saya liput sendiri. Apalagi mereka memberikan biaya tutup mulut dengan dalih keselamatan saya sebagai jaminan!”
Hanya tampak punggung lelaki itu yang tertangkap Maria. Sedangkan bentuk muka sang wanita, hanya samar-samar terlihat. Maria menajamkan pendengarannya. Ia tahu jika menguping bukan perilaku yang layak ditiru, tetapi percakapan dua orang yang ia yakini bukan berasal dari lingkup kampus, membuatnya makin mempercayai kalau ini ada hubungannya dengan kasus yang dilimpahkan pada klub Jurnalis.
Suara lelaki itu tidak terdengar jelas. Mereka bercakap dilingkungan yang minim oleh pengawasan CCTV di kampus, jelas sekali percakapan mereka cukup dikatakan urgent.
Tapi, siapa orang-orang yang mereka maksud itu?
Banyak sekali variable yang belum sempurna untuk dikumpulkan klub Jurnalis agar menjadi kepingan puzzle utuh. Namun, mengingat waktu yang disediakan sangat terbatas, mereka harus mengupayakan segala cara—tetapi dengan tetap menjaga kode etik Jurnalis, untuk memperoleh bahan informasi yang mereka butuhkan.
Maria mengembalikan fokusnya kepada percakapan dua insan tersebut. Saat ini suara perempuan itu kembali terdengar. Kali ini tekanan nada yang digunakan adalah bertempo lambat dan terputus-putus, akibat menahan gejolak perasaan yang ia yakini begitu membebankan hatinya.
“Me-mereka bahkan sanggup menyuap polisi untuk tutup mulut, Gii! Lalu ... bagaimana dengan kita yang hanya wartawan lepas?” Perempuan itu bergerak gelisah dengan gerakan tangan tidak menentu. “Korbannya, Gi! Korbannya itu ...!”
Suara perempuan yang Maria simak sedari tadi, mendadak jadi sukar terdengar. Ia menggeram dalam hati. Setidaknya Tuhan harus berbaik hati dalam situasi tiba-tiba seperti ini. Tidak adil, bukan, jika membuat seseorang penasaran?
Kemudian, karena Maria terlalu fokus menyalahkan skenario Tuhan, ia sampai kehilangan dua orang yang tadi berada di depan matanya! “Astaga! Nggak mungkin, kan, mereka kena makan penunggu di kampus ini!” Kegeraman Maria seketika membuat perempuan itu lantas menutup mulut. “Ya ampun, gue keceplosan!” Panik, karena bisa saja ada hal mengerikan ketika mengatakan hal tabu tentang kampusnya sendiri, Maria segera meninggalkan lokasi tersebut.
Meski langit menunjukkan peperangan lewat sinar matahari yang membakar kulit, celah antar pohon yang tinggi-besar itu rupanya makin mengeringkan saat Maria jadi waswas akibat celetukan sembarangannya barusan. “Aish, ketularan Riel, nih, pasti!” rutuknya sambil komat-kamit atas keselamatannya.
Panjang rumput ilalang yang setinggi pinggangnya, membuat perjalanan Maria kian terhambat. Belum lagi bunyi ret-ret dari hewan yang belum pernah Maria ketahui wujudnya—namun banyak yang bilang kalau serangga itu besarnya melebihi kumbang, bernama tonggeret. Kian menambah ritme kecemasannya.
“Ini hutan apa kampus, sih! Nyesel kan jadinya sok berani gini!”
Gerutuan Maria berakhir dengan sesuatu yang menghantam bagian belakang kepalanya. Gadis itu merintih pelan, lalu menoleh ke belakang yang tampak sepi. Tidak ada seorang pun. Ia mengedarkan pandangan pada benda yang dibalut rapi dengan kertas coklat bergaris.
Maria yang penasaran dengan benda yang sengaja diarahkan padanya, akhirnya mengambil benda seukuran dua jengkal tersebut. “Berat banget,” katanya usai menimbang massa benda. “Kalau pakai otak Sisil, dia mungkin nyangkanya kotak ini isinya gepokan uang tutup mulut, kan?”
Pemikiran konyol Maria membuatnya membuka bungkus tersebut dengan hati-hati. Terlihat kalau kotak itu ditutupi oleh penutup beludru hitam bertekstur layaknya baju kebesaran. Tidak ada yang spesial dari benda yang dipengangnya selain bobotnya yang cukup berat. Mungkin sekitar, setengah kilo?
Maria lantas membuka kotak tersebut tanpa memerhatikan kalau ada orang yang mengamatinya sedari tadi. Memastikan kalau perempuan itu memahami 'pesan' yang ia kirimkan. Kemudian saat jeritan dari Maria terdengar, baru ia dapat meninggalkan tempat tersebut dengan senyum menyeringai penuh kemenangan. “Satu masalah terselesaikan, tidak begitu sulit untuk ukuran wanita bernyali lemah.”
Sementara itu, Maria sudah menjatuhkan benda terkutuk itu jauh-jauh. Namun, posisi dari isi benda tersebut tidak berubah. Maria terkulai lemah di atas tanah berumput basah. Ia tidak lagi menghiraukan pakaian kesukaannya akan kotor, atau bahkan sobek sekali pun.
Kali ini, Maria merasa kalau denyut jantungnya menyerupai dirinya usai lari maraton. Atau jangan-jangan ini gejala penyakit jantung? Sebab dengan air mata yang tiba-tiba mengalir, membasahi kedua pipinya, bukan patah hati atau kesedihan yang meninju perasaannya sekarang ini, melainkan rasa pusing bercampur mual hingga sesak di dada.
Lagi pula, orang gila mana yang mengirimkannya kotak berisi potongan pergelangan tangan manusia yang diawetkan di dalam kotak berisi es batu?!
YOU ARE READING
Two Side
Mystery / ThrillerKematian secara misterius salah satu dosen membuat anak-anak jurnalistik tergerak untuk mencari tahu penyebab kejadian yang sebenarnya. Apalagi terdengar desas-desus pihak kampus meminta kepolisian untuk menutupi kasus tersebut setelah mayat ditemuk...
Bab 4 | Dibalik sikap Maria
Start from the beginning