"Kau meminta nomor ponselnya dan dia memberikannya padamu," tebakku asal-asalan.

Dad menggeleng. "Kami langsung berkencan hari itu."

"Apa?"

"Aku bertanya padanya, apa dia mau membantuku agar aku tidak perlu mempermalukan diriku lebih banyak lagi di depan mereka, lalu ibumu bilang, 'okay'."

"Dan kalian berkencan begitu saja?"

"Yeah... aku tahu, awalnya memang agak aneh, kami baru saja bertemu dan aku terlalu nekat, aku juga tidak berpikir dia serius ingin berkencan denganku. Seperti yang kubilang tadi, aku meminta bantuannya. Tapi lama-kelamaan, kami merasa cocok."

"Lalu kalian menikah."

"Benar. Pada akhirnya kami saling mencintai."

Aku tersenyum pahit. Saat itu, usiaku baru 12 tahun, dan aku takkan pernah meragukan ucapan Dad. Namun, kini, setelah segalanya menjadi tampak begitu jelas, aku tidak bisa lagi membedakan apakah dia sedang berbohong atau tidak karena kata-katanya sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang kulihat.

Pikiranku teralihkan ketika aku mendengar Pascual berkata, "Dia mirip sekali dengan Tisha." Seolah aku tidak sedang duduk tepat di belakangnya.

Meskipun banyak orang yang mengatakan aku mirip dengan ibuku, tetapi kenyataannya, kami sama sekali berbeda. Dia selalu berusaha berpenampilan lebih baik, bersikap lebih baik, dan tidak ada seorang pun yang bisa disebut mirip dengannya. Terutama diriku.

Aku menunggu komentar Karime, tetapi dia tidak mengatakan apa pun, dan aku tidak bisa melihat ekspersinya karena dia masih memandang lurus ke depan, membuatku tambah kesal. Sejak kali pertama bertemu dengan wanita tua itu, aku sudah tahu kalau aku takkan menyukainya.

"Itu tidak benar," kataku akhirnya.

Pascual melirikku melalui spion depan, sementara Karime hanya mendengus tanpa menoleh ke arahku.

"Kukira kau tidak bicara," ucap pria itu. "Kau sangat pendiam, Tisha juga."

Aku langsung tertawa mendengar kalimat terakhirnya. "Dia pendiam? Kau bercanda?"

"Tidak. Kami dulu berteman—sebenarnya cukup dekat," balasnya riang, seolah aku cukup penasaran untuk mendengar kenangan masa lalunya.

Sebelum dia melanjutkan ceritanya, yang kelihatannya akan dia lakukan, aku menyela, "Dia tidak pernah berteman dengan pria, dia akan meniduri mereka. Apa kau pernah tidur dengannya?" ledekku.

Pascual diam. Aku tahu dia merasa tidak nyaman dengan kata-kataku barusan karena dia langsung menatap Karime yang duduk di sampingnya. Namun, aku tidak peduli padanya. Jadi aku melanjutkan, "Dan, Tisha? Apa itu nama panggilannya di sini?"

Nama ibuku Leticia Ximena, tetapi aku tidak pernah mendengarnya menggunakan nama itu. Dia selalu mengenalkan dirinya sebagai Veronica. Kepala Sekolah memanggilnya Mrs. Carver. Tetangga kami yang cukup dekat memanggilnya Nic. Teman-temannya memanggilnya Ronnie. Dan pacar-pacarnya memanggilnya Vee. Hanya ayahku yang memanggilnya Leticia. Sementara, Tisha? Itu sesuatu yang baru kudengar, dan sangat tidak cocok dengannya.

Kata-kataku berhasil menarik perhatian Karime, dia memutar kepalanya ke belakang, menatapku tanpa ekspresi. Mungkin dia menyesal telah membawaku bersamanya. Seharusnya dia membiarkanku tetap di Connecticut, sendirian, membiarkan orang-orang dari perlindungan anak membawaku ke sebuah panti, dan aku bakalan berbagi kamar bersama anak-anak lainnya yang juga bernasib sama sepertiku.

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa dia akan meminta Pascual menurunkanku di tengah antah berantah seperti ini, atau memberiku kesempatan untuk menjaga ucapanku dan bersikap baik di depan orang dewasa. Dad selalu bilang, "Bersikap baiklah di depan Granny", seolah hanya orang dewasalah yang perlu dihormati. Dan terkadang itu membuatku muak karena aku tidak begitu menyukai Granny. Tiap kali aku membalas kata-katanya, dia akan mengadu pada Dad, mengatakan kalau ibuku tidak bisa mendidikku dengan baik sehingga aku berkelakuan buruk seperti ibuku.

Jika Karime tidak menyukaiku dan berubah pikiran untuk menampungku, setidaknya aku sudah berada jauh bermil-mil dari tempat tinggalku, jadi itu lebih baik. Aku masih menyimpan uang yang disembunyikan Dad di dalam salah satu sepatunya dan beberapa dolar yang kucuri dari Mom. Dan itu cukup untuk menghidupiku selama beberapa hari di sini—kalau aku tidak ditipu berandalan. Aku bisa mencari penginapan murah, makan di restoran murah, mencari pekerjaan serabutan dengan bayaran sangat murah. Aku sedang membayangkan hidup di jalanan ketika Karime berkata, "Ya. Tisha. Ayahnya dulu sering memanggilnya Tisha."

Aku tidak tahu apa yang sempat dia pikirkan, tetapi yang jelas, aku tahu dia tidak seperti Granny, dan itu membuatku sedikit kecewa. Dia seharusnya bersikap berengsek saja agar aku punya alasan untuk tidak menyukainya.

Dia berbalik, kembali memandang lurus ke depan. Tanpa sadar aku menghela napas lega, merasa perlu tenaga ekstra untuk menghadapinya.

Selama bermenit-menit, tidak ada yang buka suara, bahkan Pascual, dan itu jauh lebih baik. Aku butuh keheningan seperti ini untuk membuatku merasa tetap waras, meski aku tidak tahu lagi definisi waras yang sesungguhnya. Segalanya tampak seperti katastrofe bagiku.

Entah sudah berapa lama kami membisu saat kulihat debu-debu di jalanan semakin tebal dan rumah-rumah penduduk semakin jarang, lalu berubah menjadi jalanan berbatu yang dikelilingi pepohonan kering serta kaktus dan perbukitan bewarna oranye di kejauhan. Kupikir kami hanya melewati wilayah ini, tetapi kemudian Pascual memelankan kendaraan dan membelokkan kemudi memasuki sebuah pagar kawat bewarna putih. Dia lantas mematikan mesin.

Sementara Karime dan Pascual turun sambil bercakap-cakap, aku masih terpaku di dalam mobil, memandangi rumah bewarna abu-abu dan putih yang tampak seperti rumah pertanian di depan kami.

Karime membuka pintu di sampingku, membuatku terenyak. "Apa yang sedang kau lakukan di dalam sini? Kita sudah sampai. Ayo, turun!"

Masih kebingungan, aku keluar dari mobil, memperhatikan sekelilingku dengan heran. Beberapa rumah terletak berjauhan dan memiliki halaman luas yang kebanyakan ditumbuhi pepohonan kering dan kaktus.

"Kau tinggal di sini?"

". Sekarang, kau juga akan tinggal di sini."

Aku mengikuti Karime berjalan menuju beberapa anak tangga di teras depan rumahnya sebelum memutar kunci pintu dan kami berdua sama-sama masuk. Bangunannya hanya memiliki satu lantai dengan atap yang tinggi. Aku sedikit terkejut menyadari rumah ini begitu luang, tidak banyak perabotan di dalamnya. Ruang tamu hanya diisi tiga buah sofa lengkap dengan meja kayu. Tidak seperti rumah Granny yang disesaki barang-barang antik, yang hanya berfungsi untuk mempercantik ruangan dan tidak memiliki nilai kegunaan, Karime tampaknya tidak peduli pada hal-hal seperti itu.

"Milikmu," kata Pascual padaku sambil menjinjing tas hitamku.

Aku tidak membawa koper, hanya sebuah tas berukuran sedang untuk memuat beberapa potong pakaian, sepasang sepatu, serta beberapa barang lainnya yang kuanggap penting. Aku mengambil benda tersebut darinya. Pria itu lantas berpamitan kepadaku dan Karime sebelum melenggang pergi dengan mobilnya.

"Kukira dia tinggal bersamamu."

Karime menggeleng. "Dia tinggal di rumah perkebunan."

"Kalau begitu, kau tinggal sendiri?"

"Tidak," jawabnya. Aku hendak bertanya siapa saja yang tinggal di sini, tetapi Karime mendahuluiku. "Akan kutunjukan kamarmu."

Aku mengekorinya dari belakang, berjalan ke lorong melewati ruangan lainnya yang dipenuhi kayu. Aku sangsi memikirkan siapa pun yang tinggal di sini bersamanya adalah seorang tukang kayu. Kami lantas berhenti di depan pintu kamar yang akan menjadi milikku. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamarku," ucapnya kemudian.

Aku mengangguk. Dia melangkah di sepanjang lorong, menyeberangi dapur dan memasuki lorong lainnya. Setelah dirinya benar-benar menghilang, aku membuka pintu di depanku, menaruh tas dengan asal dan langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur. Sambil menatap kipas angin yang tidak bergerak di atasku, perlahan, aku mulai mengantuk. Lalu tiba-tiba saja, aku bisa melihat ayahku, berdiri tepat di hadapanku dengan darah di sekujur tubuhnya.

The Things She Left BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang