Chapter 5

84 16 0
                                    

Kotak itu berisi peralatan mandi baru, sepasang sandal jepit baru, dan kaus baru yang agak kebesaran di tubuhku. Aku tidak tahu kapan Karime membeli semua ini, tapi aku berasumsi dia membelinya setelah kami tiba di Arizona karena menyadari tidak banyak barang yang kubawa, dan karena dia sudah mengira beberapa potong pakaian yang kukemas di dalam tas itu tidak akan berguna di sini.

Aku menghargai usahanya, serta bagaimana dirinya membiarkanku menggunakan kamar ini alih-alih kamar lainnya. Aku juga menghormati sikapnya yang memberiku kebebasan penuh untuk memilih barang-barang milik ibuku dulu. Sebagian sudah kumasukan ke dalam kotak, sebagian yang membuatku penasaran masih kusimpan dan kurapikan. Buku-buku itu salah satunya, karena aku melihat tulisan-tulisan tangannya tersimpan di beberapa halaman. Aku ingin membaca apa yang dia tulis di sana dua dekade lalu.

Setelah selesai membereskan semuanya, aku membawa kotak itu keluar. Ketika melihat pintu kamar sebelah yang tampak tertutup rapat, aku teringat kembali cowok berambut pink tadi. Nero Wilder. Nama macam apa itu? Aku jadi bertanya-tanya, apa nama kakekku Wilder? Karena sepertinya aku tahu dari mana Ximena berasal.

Aku hampir mengetuk pintu kamarnya lantaran tidak punya ide di mana harus menyimpan benda ini ketika melihat Karime di ruang tamu, berjalan menelusuri lorong dan berbelok menuju dapur dengan kantong belanjaan di sebelah tangannya. Aku mengikutnya, melihatnya menyimpan belanjaan tersebut di atas konter. Dia berbalik, tampak terkesiap saat menemukanku sudah berdiri di hadapannya.

"Kau mengejutkanku," katanya. Pandangannya berlari ke arah kotak yang sedang kupegang.

Aku mendekatinya. "Aku sudah selesai dengan ini."

Dia segera mengambil alih kotak tersebut dari tanganku. "Kau yakin?"

Awalnya, aku tidak mengerti maksudnya, tetapi kemudian aku melihatnya menatap kotak itu terlalu lama.

"Aku tidak membuang semuanya," tambahku. "Tapi, kalau kau mau menyimpan—"

"Tidak, tidak! Aku tidak menginginkannya," ungkapnya tergesa-gesa, memotong kalimatku seolah menghindari kata-kata selanjutnya yang akan kuucapkan. "Dengar, aku tidak membutuhkan semua ini. Jadi, kalau kau memang sudah selesai, aku akan segera membuangnya."

Aku tidak mengenal Karime dengan baik. Namun, jika yang dikatakan Nero benar, bahwa Karime selalu mengunci kamar ibuku, seharusnya dia cukup sentimental untuk tidak mengatakan kalimat tersebut.

"Apa kau menyayanginya?" Begitu saja pertanyaan itu meluncur keluar dari bibirku.

Aku tidak bermaksud mengatakannya, toh, itu bukan urusanku. Aku hanya penasaran tentang dirinya. Aku tidak suka terus menerus bertanya-tanya siapa dirinya tanpa mendapatkan hasil. Dan apa yang kulakukan sekarang sama sekali tidak penting. Aku tidak peduli orang lain menyayanginya atau tidak, atau apakah dia bisa menyayangi orang lain—apakah dia menyayangiku? Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu.

Dad bilang, dia menyayangiku, dan karena itulah sekarang aku membencinya. Jadi, kenapa aku harus menanyakan bumerang itu kepada Karime?

Aku baru akan mencegahnya mengatakan hal-hal yang tidak ingin kudengar, tetapi yang dia katakan hanyalah, "Makan malam akan siap satu jam lagi. Jadi, sebaiknya, kau mandi terlebih dahulu." Kemudian berbalik, berjalan memunggungiku, dan menghilang di balik pintu belakang.

Aku tidak tahu apakah harus lega atau tidak, tetapi yang jelas, sikapnya itu membuatku bingung. Sama seperti ketika kali pertama aku melihatnya muncul di kamar ibuku.

***

Cowok berambut merah muda itu sudah ada di sana ketika aku masuk ke ruang makan, duduk membelakangiku sambil mengobrol dengan Karime yang tampak tengah menata makanan-makanan di atas meja. Untuk sesaat, aku hanya berdiri mengamati keduanya, merasakan momen-momen kecil yang sempat kulupakan hadir tanpa peduli konsekuensi. Aku membawa makanan-makanan yang dimasak oleh Mom sementara dia menatanya di atas meja makan. Lalu dia akan menyuruhku memanggil Dad yang tengah menonton siaran ulang acara televisi favoritnya. Rasanya, itu sudah terjadi lama sekali hingga membayangkannya saja seperti mimpi.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now