Chapter 4

87 16 0
                                    

Aku terbangun ketika mendengar bunyi gedebuk yang cukup keras di sebelah kamarku, diikuti dengan langkah-langkah kaki yang membuatku langsung siaga. Untuk beberapa saat, aku bergeming sambil mengamati seisi ruangan; kasur berukuran single cokelat bermotif bunga-bunga norak, lemari pakaian yang ditempeli campuran sticker warna-warni, rak buku kecil berisi buku-buku terbalik yang disusun tak beraturan dan dipenuhi debu, meja belajar dengan jam beker mati serta sebuah pigura di atasnya.

Aku beringsut dari tempat tidur, melangkah ke arah meja belajar untuk melihat lebih dekat. Foto itu menampilkan seorang gadis remaja berambut hitam keriting. Ada binar terang di kedua matanya yang cokelat dan senyum malu-malu yang dia tunjukan ke arah kamera, yang membuatnya tampak begitu lugu. Butuh waktu bermenit-menit sampai aku mengenal gadis di dalam foto ini.

Saat tiba di sini tadi sore, aku belum sempat memperhatikan sekitarku sehingga tidak tahu siapa pemilik kamar ini sebelumnya. Sekarang, setelah mengetahuinya, aku tidak bisa berhenti penasaran tentang dirinya, tentang siapa dia sebenarnya, dan tentang hal-hal yang dia tinggalkan di masa lalunya.

Aku menyimpan kembali pigura tersebut ke tempat semula, kemudian berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya, melihat ada begitu banyak foto berukuran kecil ditempel di bagian dalam pintu lemari; dia bersama Karime, dia bersama gadis-gadis lain, dia bersama seorang anak laki-laki seusianya. Tetapi kebanyakan, fotonya sendiri tengah melakukan sesuatu; tertawa, membaca buku, cemberut, berjalan, seolah dirinya tidak menyadari seseorang mengambil gambarnya. Aku tidak tahu apakah dia sengaja melakukannya, tetapi foto-foto itu terlihat begitu natural.

Aku memusatkan perhatianku pada salah satu fotonya yang sedang tertawa lebar, menertawakan apa pun yang diucapkan gadis di hadapannya. Ada sesuatu yang tampak familier mengenai dirinya di sana, tapi aku tidak bisa menemukan apa itu ketika suara-suara di sebelah kamarku lagi-lagi terdengar, mengambil alih perhatianku sepenuhnya. Aku memutuskan untuk mencaritahu sumber dari keributan tersebut terlebih dahulu. Namun, sebelum aku berhasil menyelidikinya, seorang cowok berambut pink sudah menyambutku di depan pintu kamarku. Dia berdiri kaku—sama sepertiku—dengan kedua tangan memegang sebuah kotak berisi entah apa di dalamnya.

"Que bonita!" katanya tiba-tiba sementara aku menatapnya tak mengerti. "Ah, hai! Eres Maya? Soy Nero, Nero Wilder," sambungnya sambil mengulurkan sebelah tangannya di bawah kotak tersebut.

Bukannya memperhatikan kata-katanya, aku malah mengamati dirinya. Rambut merah mudanya terlihat kasar dan mencuat ke segala arah, dan aku bisa melihat akar-akar rambutnya yang hitam tumbuh di bawahnya. Matanya bewarna hazel terang dengan bintik-bintik keabuan. Dia memakai anting-anting di kedua telinga serta hidungnya, dan ada tato bertuliskan Wilder di lehernya. Untuk sesaat, aku mengernyit, sementara dia langsung menarik kembali uluran tangannya seolah menyadari sesuatu. "Maaf! Kukira kau gadis Meksiko atau semacamnya."

Masih dalam keadaan bingung, aku tetap membisu. Gadis Meksiko. Atau semacamnya. Kenapa dia berpikir seperti itu? Aku bahkan belum mengatakan satu patah kata pun di hadapannya, dan sebelum aku berhasil melakukannya, dia melangkah maju, membuatku otomatis mundur. Dia masuk begitu saja ke dalam kamarku, menaruh kotak tersebut di dekat rak buku.

Aku memperhatikan gerak-geriknya sampai dia berdiri di hadapanku, memandang sekeliling kamar, sementara aku merapatkan punggungku pada tembok, menciptakan jarak sejauh mungkin dengannya.

"Kukira kau sedang beres-beres," katanya. Matanya kini terarah pada tas milikku yang tegelak di lantai dengan ritsleting setengah terbuka. "Jadi, apa yang sedang kau lakukan? Apa aku mengganggumu? Kau kelihatan seperti baru bangun tidur."

Aku buru-buru menggosok mataku, tetapi kemudian mendengarnya tertawa. "Yang benar saja! Maksudku, bukan seperti itu."

Dia masih tertawa, dan itu membuatku kesal. Sebenarnya, itu gerakan refleks karena aku tidak tahu kenapa aku perlu menghilangkan wajah bantalku di hadapan cowok aneh yang bahkan tidak kukenal.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now