Chapter 9

64 14 0
                                    

Kali ini, Nero tidak bisa meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja. Ketika dia menanyakan apakah aku siap melakukan kegilaan, aku tidak pernah membayangkan bahwa itu berarti pergi ke arena balapan liar seperti ini. Terutama ketika aku melihat orang-orang membentuk sebuah lingkaran sementara tepat di tengah mereka, sebuah mobil berisi 5 orang di dalamnya tampak berputar-putar secara brutal. Aku memekik ketika seseorang hilang keseimbangan dan terlempar di jalanan beraspal yang kasar, sedangkan roda-roda masih berdecit dan mesin mengeluarkan asap tebal hingga nyaris menutupi penglihatan.

Nero merangkul pundakku dan menarikku ke belakang, mengambil jarak yang lebih jauh dari kerumunan. Amarahku kontan meledak. Seharusnya aku tidak mengikutinya. Seharusnya aku tetap diam di rumah, bersembunyi di kamarku dan menghindari segala kekacauan yang sedang terjadi di hadapanku. Aku sudah cukup kehilangan akal sehat ketika masih berada di Connecticut, dan aku tidak membutuhkan kebodohan lainnya untuk kubawa pulang sekarang.

"Hei, hei! Tranquila!" katanya ketika aku tidak berhenti memukulnya. Dia mencengkeram kedua tanganku, membuatku kehilangan akses untuk berontak. "Tidak apa-apa, oke? Itu hanya bagian dari permainan mereka."

"Permainan? Kau gila!"

"Maksudku, anak itu ...," Dia memberi isyarat dengan wajahnya. Aku mengikuti arah gerakannya dan melihat cowok yang terjatuh dari mobil tadi kini sudah berdiri di antara orang-orang yang menonton, mengobrol dengan yang lainnya. "Dia memang sengaja melakukannya, semacam atraksi—setidaknya itu yang ingin dia akui di media sosial—mengawali permainan."

Dia memakai baju lengan pendek sehingga aku merengut ngeri ketika melihat darah merembes dari luka-luka gesekan di kulit cowok itu—sementara dia bersikap seolah tidak merasakan apa pun—bahkan dari kejauhan, membayangkan jika aku berada di posisinya, membiarkan diriku terluka hanya untuk menghibur orang lain. Menjadi seorang agroikos. Ini bahkan bukan hiburan, ini adalah tempat untuk bunuh diri. Meksipun aku belum pernah pergi ke balapan liar, aku punya gambaran tentang hal-hal yang sering terjadi di luar kendali jika kau tidak memiliki cukup keberuntungan di hidupmu.

"Yeah, aku tahu hanya orang-orang bodoh seperti mereka yang melakukannya," kata Nero tiba-tiba, seolah bisa menerawang ke dalam pikiranku. "Tapi, kita di sini bukan untuk di tembak mati. Kita akan melakukan pertandingan."

"Pertandingan?"

"Sí, Señorita," ucapnya. Dia melepaskan cengkeraman tanganku, mengusap-usap bagian yang memerah bekas jari-jarinya di kulitku dengan hati-hati. Aku tidak yakin seberapa kuat dia memegangku tadi. Dan untuk sesaat, aku hanya terpaku pada indra perabanya, merasakan kelembutan kontras dari telapak tangannya yang kasar dan kapalan menyentuhku.

"Logan bertaruh seribu dolar untuk NOS yang baru dipasangnya." Aku mengernyit, tidak mengerti apa yang dia katakan. Namun, dia tetap melanjutkan tanpa mempertimbangkan aku memahaminya atau tidak. "Aku akan mencobanya duluan. Kau mau menemaniku?"

"Yang benar saja!" Aku bergerak mundur, menyingkir darinya. Merasa sangat konyol dengan yang terjadi barusan. Dia tidak mungkin melakukan ini padaku. Dan aku juga tidak cukup sinting untuk menurutinya. "Kau ingin menempatkanku dalam bahaya? Kau—"

"Sssttt!" Dia berdesis sambil mengangkat telunjuknya di depanku, seolah memberi isyarat kepada anak anjing untuk berhenti menggonggong. "Apa kau baru saja bilang kalau aku ingin membunuhmu? Aku lebih baik mencintaimu, dan kau tahu itu."

"Dasar bodoh!" makiku.

Bukannya tersinggung, dia malah tertawa. "Cariño, aku hanya butuh kau duduk di sampingku. Serius! Bukan untuk mengajakmu pergi ke lubang neraka."

Aku melotot mendengar kata-katanya.

"Well, itu hanya metafora. Pokoknya, temani aku, ya?"

"Aku tidak mau!" ucapku dengan suara meninggi. "Dengar, Nero! Kau tidak bisa terus-menerus memaksaku melakukan sesuatu. Kau mengerti, kan?"

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now