Chapter 15

32 12 1
                                    

Pagi itu, aku tidak menyangka bakalan melihat Karime di dapur. Kami nyaris tidak pernah bersinggungan selain ketika makan malam karena Karime tampaknya selalu sibuk. Dia mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Mengurus pertanian miliknya dan menenggelamkan diri dalam planetnya yang hijau. Mom pernah menulis di catatannya kalau ibunya seorang pekerja keras, dan aku tidak bisa untuk tidak setuju dengan itu, bahkan meski sekarang usia Karime sudah 64 tahun, dia tetap mempertahankannya. Aku sudah membaca seluruh catatannya sehingga membuatku menjadi sangat peka terhadap fakta kecil yang tertimbun di keluarga ini, seperti, aku tidak pernah—sampai sejauh ini—menemukan tulisan tentang ayahnya. Aku jadi penasaran seperti apa hubungan mereka, terlebih ketika menyadari hubunganku dan ayahku, yang tak meninggalkan apa-apa selain rasa sesak setiap kali memikirkannya.

Aku mengambil gelas dan teko, menuangkan air mineral sedikit, kemudian meneguknya sambil melirik ke arah teflon yang berdesis, yang bunyinya membangkitkan kenangan tentang rumah masa kecil.

“Kau mau telur goreng dan bacon?” tanya Karime.

Aku mengangguk, tapi sedetik kemudian, menyadari kalau Karime sama sekali tidak menoleh ke arahku, jadi aku menjawab ya dan meraih salah satu kursi, duduk mengelilingi meja makan.

Dia tak lagi bersuara. Aku menikmati kesunyian natural yang tercipta di sekeliling kami sambil memperhatikan setiap gerakannya. Pikiranku menembus kenangan masa lalu yang berada di balik bukit-bukit California. Jauh sebelum segalanya menjadi lembaran kabur, aku sering menyaksikan Mom di dapur, berkutat dengan peralatan memasak dan musik-musik dari peradaban yang tidak pernah kukenal. Pada masa-masa itu, aku yakin dia menikmati pekerjaannya sebagai seorang istri dan ibu. Dia tak merasa keberatan bangun lebih awal agar bisa menyiapkan dunia untuk kami, dan dia akan bangga pada dirinya sendiri setelah segalanya selesai dikerjakan oleh kedua tangannya yang ramping.

“Kau akan mulai sekolah Senin depan,” katanya kemudian.

Sudah hampir 2 minggu aku tinggal di Arizona, dan Karime tidak pernah membahasnya hingga kupikir, dia sudah melupakan statusku sebagai murid SMA. Aku tidak keberatan seandainya harus berhenti di tahun seniorku. Nilaiku rata-rata, dan aku adalah murid rata-rata. Tidak ada prestasi akademik atau bakat yang menonjol. Aku bahkan nyaris tidak mempunyai minat terhadap apa pun. Tidak seperti Kiara yang bersemangat dalam menari, atau Jullian yang mencintai basket. Aku sama sekali tidak tertarik mendalami suatu bidang tertentu. Aku akan bernyanyi jika itu diwajibkan, dan aku akan menulis puisi ketika pelajaran sastra Inggris mengharuskan. Terkadang aku membayangkan diriku mengoleksi surat, atau menjadi seorang maniak video game, atau menjadi seorang gadis yang terobsesi pada kosmetik dan pakaian-pakaian modis. Dan aku tidak tahu kapan tepatnya berhenti menghilangkan omong kosong itu di kepalaku.

Karime berputar dan menatapku dengan ekspresi yang seolah menegaskan bahwa dia sudah memberiku cukup banyak waktu untuk berkabung, seolah kematian anaknya bukanlah sesuatu yang perlu kau pikirkan terus-menerus, dan hanya satu fase kehidupan yang harus kau lalui. Kami bahkan tidak melewati kubangan air mata. Aku tidak menangis. Aku juga tidak ingat pernah melihat Karime menangis.

“Aku sudah mengurus berkas-berkasnya,” katanya lagi, menuntunku pada topik semula.

“Baiklah,” balasku, tidak berusaha mengatakan sesuatu yang lain. Lagi pula, apa lagi yang bisa kulakukan selain membaca catatan ibuku dan berjalan-jalan di tengah gurun?

Kami tidak lagi membahasnya, kembali pada kebisuan semula. Aku memikirkan Nero yang sering merocos, mengisi ruang dengan kehangatan akrab. Aku tidak melihat Nero selama dua hari berturut-turut, bukan karena aku menghindarinya seperti sebelumnya, atau karena sekolah mulai menyita waktunya, tetapi dia memang tidak ada di rumah.

Sejak aku melihat Nero membawa mobilnya pergi pada Jum’at sore, dia masih belum kembali. Karime juga sama sekali tidak membicarakan apa pun tentangnya—aku menyadari bahwa Karime hanya bicara padaku seperlunya. Aku berasumsi kalau Nero mengikuti parade, atau pergi ke berbagai pesta Halloween atau semacamnya—dia selalu punya alasan untuk pergi—dan tidak berusaha mengajakku. Bukannya aku ingin diajak, tetapi setelah menghabiskan makan siang bersama di Pike’s serta mengikuti balapan dan berkenalan dengan teman-temannya, rasanya tidak adil kalau dia mengabaikanku sekarang.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, seolah dengan begitu, pikiran-pikiran tentangnya akan lenyap. Aku tidak membutuhkan semua ini, ingat? Seharusnya, aku tidak peduli dia pergi bersama teman-temannya, atau pacarnya. Kami bahkan bukan teman. Kami hanya tidak sengaja tinggal di rumah yang sama.

Tak berapa lama, Karime membawa sarapan ke meja. Aku meraih piring yang dia sodorkan. Lupa memberitahunya kalau aku tidak suka telur setengah matang, jadi aku memilah bagian yang kering sebelum memakannya.

“Ada apa?”

Aku mengangkat wajahku dan melihat Karime tengah memperhatikanku.

“Aku tidak suka telur setengah matang,” jawabku terus-terang.

Ada keheningan singkat yang menyengat sebelum dia berkata, “Kau sangat mirip dengannya.”

Komentarnya itu kontan saja mengingatkanku pada ucapan Nero kala itu, yang terasa sangat menjengkelkan. Aku menyimpan garpu dan pisau dengan kasar hingga menimbulkan denting tak ramah di atas piring.

“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanyaku menuntut.

Karime tampaknya terkejut dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Tetapi aku tidak mau memaklumi, atau bahkan meminta maaf karena tidak berusaha menurunkan volume suaraku. Aku benci harus mengakui bahwa semua ini benar-benar menggangguku, bahwa aku selalu hidup di bawah bayang-bayangnya, dan bahwa segalanya terasa bagai distorsi yang tidak ada habisnya.

Wanita itu menyimpan peralatan makannya tanpa memindahkan perhatiannya dariku. Keterkejutan itu mulai sirna, digantikan dengan sorot mata dingin menyusup. “Aku yang menyuruhnya pergi.”

Seperti yang kubilang, aku sudah membaca semua catatan ibuku, tetapi tidak menemukan alasan kenapa dia memutuskan pergi dari rumah orang tuanya. Jadi, aku berasumsi kalau dia kabur bersama Derek, meninggalkan negara bagian ini dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih layak. Lalu, berpisah setelah merasa keduanya tak lagi cocok. Namun, aku tidak pernah menduga bahwa Karime mengusirnya, tidak pernah menduga bahwa ibuku pergi bukan karena kemauannya sendiri. Tidak ada tanda-tanda yang mengharuskan ibuku pergi dari rumahnya kecuali pusat dunianya telah berubah kepada seorang pemuda.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku ketika alasan itu muncul secara masuk akal. Dadaku membengkak oleh amarah. Ketika dia mengenalkan dirinya sebagai nenekku dan menawariku untuk tinggal bersamanya, tidak sedikitpun terbersit dalam benakku jika wanita ini bisa bersikap sangat egois, dia rela menghancurkan hidup anaknya demi egonya yang tinggi.

“Mereka saling mencintai! Kau seharusnya mengerti! Kau tidak tahu—“

“Apa yang kau bicarakan?” tanyanya memotong kalimatku.

“Itu karena pria itu, kan? Derek Briar. Kau beranggapan kalau dia memberi pengaruh buruk terhadapnya.”

“Apa ibumu mengatakan semua itu?”

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum sinis. “Jadi, itu benar. Kau—“

“Maya!” selanya dengan nada suara yang tak kalah tinggi dariku.

Melihat reaksinya, kupikir aku akan merasa puas karena telah berhasil menusuk telak kenyataan yang berusaha dikuburnya. Namun, satu-satunya perasaan yang hadir adalah gumpalan kekecewaan di dasar hatiku. Aku tidak tahu luka apa yang disebabkan oleh kehadiran Derek bagi mereka, tetapi aku tahu satu hal; mereka sepakat untuk melupakannya.

“Tidak. Dia tak pernah mengatakan apa pun. Aku menemukan potongan-potongan tulisannya.”

Dalam sekejap, aku bisa melihat kesedihan di dalam tatapannya sebelum digantikan dengan kebingungan, “Dia menulis?” tanyanya heran.

Bagaimana mungkin dia tidak mengetahuinya? Aku mendengus. “Kau memberitahu orang lain kalau dia sudah meninggal.”

Karime tidak langsung membalas ucapanku. Aku menunggu selama detik-detik yang bergerak begitu lambat, tidak berani melarikan perhatianku dari wajahnya, seakan-akan dia bisa menghilang tanpa jejak jika aku sempat berpaling.

Aku hendak membuka mulut lagi, mendesaknya untuk terus bicara. Tidak membiarkan dirinya terlepas dari kesalahan yang telah dia perbuat. Tapi kemudian, dia mengangkat wajahnya, dan aku bisa melihat kekosongan nyata di dalam tatapannya.

“Dia memang sudah meninggal,” katanya lirih. Aku bisa melihat senyum kecut di bibirnya sebelum dia melanjutkan, “Bahkan, jauh sebelum kau lahir.” Lalu, tanpa mengatakan apa pun lagi, dia beringsut dari kursinya dan berjalan meninggalkan dapur. Meninggalkanku dengan rasa sakit yang dia tularkan.

Sepanjang hidupku, aku tidak pernah merasa begitu berempati terhadap ibuku. Merasa bahwa semua ini sangat tidak adil untuknya. Dan aku tidak pernah membayangkan bahwa akan ada momen di mana aku sangat ingin memeluknya seperti sekarang. 

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now