Chapter 3

110 16 0
                                    

Aku tidak begitu ingat semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir. Ibuku meninggal. Lalu aku bertemu dengan Karime, yang mengaku sebagai nenekku, dan tiba-tiba saja segalanya menjadi buram. Aku bahkan tidak ingat mengenai proses pemakaman ibuku, bagaimana cuacanya dan siapa saja yang datang di sana. Apakah mantan-mantan kekasihnya melayat? Sejujurnya aku agak penasaran apa yang akan dipikirkan pria-pria bodoh itu setelah mendengar kabar kematiannya.

Namun, aku tidak bisa mengingatnya, mengingat apa saja yang telah kulewatkan, dan mungkin itu karena pil tidur milik Mom yang kukonsumsi terlalu banyak sehingga pikiranku menjadi kabur, atau bisa jadi karena aku tidak lagi peduli terhadap apa pun—maksudku, aku memutuskan untuk tidak lagi peduli terhadap apa pun. Aku bahkan tidak peduli jika ternyata Karime bukan nenekku. Barangkali kemiripan antara mereka hanya ilusi yang tanpa sengaja tercipta di alam bawah sadarku. Bisa saja dia seorang penculik, germo, atau bahkan pembunuh berantai yang terlibat sindikat penjualan organ manusia di situs gelap. Aku sudah siap pada kemungkinan terburuk; Menghilang. Selamanya. Seperti Dia. Namun, aku tidak mempersiapkan diriku pada kemungkinan kalau Karime akan membawaku ke tengah gurun seperti ini.

Aku tidak menghitung waktu, tetapi ini terasa seperti selamanya sejak kami turun dari pesawat dan mengendari sebuah mobil butut dengan AC rusak yang terus-terusan mengeluarkan suara seperti kodok. Pascual—pria seusia ibuku yang menjemput kami di bandara dan mengenalkan dirinya sebagai teman baik Karime—tidak pernah berhenti menutup mulutnya. Awalnya dia berbicara kepadaku, tetapi lama-kelamaan, setelah menyadari bahwa aku mengabaikan seluruh omong kosongnya, dia akhirnya berbicara dengan Karime.

Bajuku sudah lembap oleh keringat, sementara sekujur kulitku terasa lengket, hal tersebut membuatku mencemaskan pakaian-pakaian tebal yang kubawa, semua itu pasti tak ada gunanya, dan aku kesal bagaimana Karime tidak mengatakan apa pun tentang di mana dirinya tinggal.

Aku hendak menyemburkan kekesalanku, seperti yang selalu kulakukan—mengeluhkan hal-hal sepele—tetapi kemudian menyadari itu takkan ada gunanya, lagi pula sekarang sudah terlambat. Aku memutuskan mengalihkan perhatianku ke samping, ke arah jendela, memindai bukit-bukit yang melatari pemukiman. Tanpa sadar pikiranku menggabungkan dirinya dengan tempat ini, dan rasanya begitu aneh. Aku sering mengira-ngira seperti apa kampung halamannya, tetapi tidak pernah sekalipun membayangkan dirinya berasal dari gurun. Dia tidak memiliki aksen—mungkin dia sempat memilikinya, berlatih selama bertahun-tahun untuk menghilangkannya, aku tidak tahu—dan penampilan serta sikapnya terlihat seperti gadis-gadis pantai.

Dad pernah memberitahuku kali pertama dia bertemu dengan ibuku ketika rekan-rekan divisinya merayakan kesuksesan proyek yang mereka garap di sebuah pantai. "Itu bukan acara formal," katanya waktu itu. Dulu, aku tidak pernah bosan mendengarkan ayahku bercerita, entah itu tentang masa lalunya atau sekadar cerita mengenai film-film kesukaannya, selagi kami makan es krim di toko es krim favorit kami dan menghabiskan waktu satu jam penuh tanpa gangguan apa pun pada Minggu sore.

"Kau mungkin takkan percaya ini, tapi hanya aku satu-satunya yang tidak berkencan di antara mereka. Angus, salah satu dari kami, berusaha mencari wanita untukku saat itu. Kubilang, aku bisa mengatasinya hanya supaya dia berhenti mempermalukanku di depan semua orang—sebenarnya, dia agak berengsek—jadi, ketika mataku tak sengaja melihat ibumu sedang berjemur sendirian, memisahkan diri dari teman-temannya, aku langsung menghampirinya. Kukatakan pada Angus kalau aku sudah menemukan pilihanku.

"Aku menyapanya. Dan ketika dia menatapku, aku menjadi grogi, bahkan setelah aku minum beberapa gelas bir, karena kupikir, ya Tuhan... dia cantik sekali. Aku tidak mungkin mendapatkan kesempatan ini. Tapi kau takkan menyerah kalau teman-temanmu yang berengsek sedang mengawasimu, jadi aku mengambil tempat duduk di sebelahnya, mengajaknya berkenalan, dan coba tebak apa yang terjadi!"

The Things She Left BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang