Chapter 21

48 12 0
                                    

Saat itu Kamis siang ketika aku tidak sengaja melihat Faith tengah mengantre di kafetaria. Sejak hari pertama kami bertemu di sekolah, aku belum pernah melihatnya lagi. Aku tidak tahu ada masalah apa dengannya dan memutuskan untuk tidak ikut campur. Namun siang itu, tanpa berpikir panjang, aku langsung mengisi antrean yang tampaknya sengaja dikosongkan di belakangnya, membuat seorang cowok kerempeng yang didahului olehku melotot. “Kau serius?”

“Kau tidak keberatan, bukan? Kau jelas-jelas berdiri di situ,” kataku lebih tajam dari yang kumaksudkan.

Aku sudah siap untuk mendebatnya, tetapi cowok itu hanya memutar bola matanya. “Masa bodoh!”

Sejauh ini, aku masih tidak bergaul dengan siapa pun di sekolah. Gabe pernah beberapa kali datang ke kelasku dan mengajakku menonton film Jum’at malam, tetapi kubilang, aku memiliki acara yang jauh lebih penting daripada itu, padahal sebenarnya aku sendiri belum tahu apa yang akan kulakukan. Nash, yang memang satu kelas denganku, langsung menertawakannya, membuatku berpikir kalau Gabe sepertinya tidak pernah mendapat penolakan dari cewek-cewek. Setelah kejadian itu, Gabe tidak pernah lagi merayuku. Aku seolah bisa mendengarnya mencemooh, “Memangnya dia siapa? Tidak begitu menarik.”

Aku juga tidak pernah makan siang di aula lagi. Alih-alih, aku memutuskan makan di kantin bersama Nero yang terus bersikeras. Ternyata, Nero baru bersekolah di sini selama dua bulan, tetapi semua orang telah mengenalnya melalui rumor. Sebelum ini, Nero bersekolah di SMA publik yang terletak tidak jauh dari perbatasan yang didominasi oleh—mengambil istilah orang-orang di sini—para kriminal jalanan. Mereka terlibat geng dan narkoba. Tetapi, kata Nero, kenyataannya adalah, mereka sama seperti yang lainnya, hanya murid SMA biasa yang sedang menjalankan tanggung jawab remaja mereka. Dan hal-hal seperti itu juga bisa terjadi di sekolah manapun, hanya saja mereka memiliki hak istimewa di sekitar sini.

Logan kaya, tapi keluarganya dari Dominika,” ucapnya waktu itu. “Dan maksudku adalah, mereka lebih agresif terhadap para pendatang, terutama di daerah perbatasan.”

Hugo pernah bercerita kalau dia hampir ditembak mati ketika melewati perbatasan, padahal usianya baru 4 tahun, hanya karena mereka mencurigai paman dan bibinya.* Hugo tahu hal itu dari bibinya karena dia sama sekali tidak ingat apa pun—dia mengakui dirinya mengalami perkembangan yang lambat. Awalnya Hugo tidak percaya, tetapi setelah menerima perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa orang sekitar, dia mulai berpikir bahwa itu bukan sesuatu yang mustahil.

Faith memutar kepalanya ke belakang—ke arahku—dengan canggung. Karena dia tidak kunjung mengatakan apa pun, jadi aku menyapanya lebih dulu. “Aku baru melihatmu lagi.”

Yeah ... aku tidak masuk selama dua hari,” katanya sambil terus mengambil makanan satu persatu.

“Benarkah? Apa kau sakit?”

Aku bisa melihat senyum kecut menggantung di bibirnya. “Kau tahu, aku sakit setiap detik.”

Aku tidak tahu apakah dia bercanda atau tidak, tetapi ekspresinya terlihat serius.

“Omong-omong, kau sendiri apa kabar?”

“Cukup baik,” balasku.

Well, kelihatannya memang begitu.”

Setelah sama-sama selesai memenuhi nampan makan siang kami, aku mengajaknya bergabung bersama Nero. Awalnya, dia terlihat ragu. Tetapi kemudian, aku memutuskan berjalan melewatinya dan sesuai apa yang kuduga, dia mengekoriku dari belakang sambil menggigit apelnya. Ketika kami datang, Nero tengah mengobrol dengan seorang cowok pendek berkulit pucat. Percakapan mereka terhenti saat aku mengambil tempat duduk di hadapannya, sementara Faith duduk di sampingku.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now