Chapter 11

31 12 0
                                    

Jantungku tidak bisa lebih berdebar lagi daripada ini. Kami tidak menggunakan helm, atau alat pelindung lainnya, hanya sabuk pengaman dan aku tidak bisa berhenti memikirkan segala kemungkinan terburuk di depan mataku. Nero terlihat santai-santai saja, dia bahkan sempat meledekku. Mengatakan kalau aku pengecut. Dan itu membuatku kesal tanpa diduga. Ingin membuktikan padanya bahwa aku bisa menghadapi kematianku lebih baik, meskipun itu kedengarannya agak berlebihan karena seperti yang dia bilang sebelumnya, kami hanya melakukan balapan, bukan menjatuhkan diri ke lubang neraka.

Kami menyalip beberapa kendaraan, melaju bagai kilat di jalanan yang minim cahaya, seperti yang kulihat di film Fast&Furious. Aku tidak pernah sedikit pun membayangkan akan menjadi Mia Toretto-perbedaannya dia tahu cara mengemudi cepat-dan aku juga tidak terlalu menyukai film itu selain karena Paul Walker yang menjadi bintang utama, aku mungkin takkan menontonnya.

Ivy sempat bilang kalau jalan raya yang kami gunakan sekarang merupakan rute yang terbebas dari pengawasan polisi, setidaknya sampai sejauh ini, tetapi aku tidak begitu percaya. Mungkin pihak berwenang sudah mengetahuinya dan membiarkannya saja, berpikir jika kau mati, berarti karena kebodohanmu sendiri. Dan anak-anak seperti itu memang sepantasnya diberi pelajaran oleh alam.

"Apa ketakutan terbesarmu?"

Aku menatapnya tak yakin, tidak mengira akan mendapatkan pertanyaan yang begitu serius secara tiba-tiba, terlebih ketika aku sedang berada di dalam mobil yang melaju dengan-mengambil istilah Logan-kecepatan kuda, serta beberapa kendaraan yang masih melintang di kiri dan kanan.

"Aku tidak tahu," jawabku tanpa berpikir.

"Kalau begitu, kenapa kau terlihat seakan-akan aku sedang menodongmu dengan senjata api?"

Aku tidak mengira wajahku kelihatan sengeri itu, tetapi aku sama sekali tidak peduli terhadap ekspresiku sekarang, karena satu-satunya yang kupedulikan adalah, nyawaku sendiri. Dan menyesali betapa cerobohnya aku tidak menutup jendela kamarku tadi.

"Kau sedang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di tengah jalan raya seperti ini, kau pikir kenapa aku tidak melihat bahwa itu sebuah ancaman?"

Dia masih memandang lurus ke depan, melesat di antara kendaraan-kendaraan lain yang melintas. "Kau tahu," ucapnya. Berhenti. Melirik melalui spion. Ada seringai tipis di bibirnya sebelum dia menekan beberapa tombol konfigurasi dengan telaten. Aku memperhatikan gerakannya, angka pada monitor kecil bewarna hijau itu berkurang dan dapat kurasakan kecepatan sedikit menurun. "Ketakutan terbesarku adalah, aku takut tidak bisa menghadapi ketakutanku sendiri," katanya kemudian.

Untuk sesaat, aku bergeming, berusaha mencerna kata-katanya yang kompleks. Namun, sebelum aku sempat menemukan simpul yang tepat dari pernyatannya barusan, dia lantas menatapku sekilas-hanya sekilas sampai-sampai kupikir itu bayanganku saja-aku terkejut menemukan sesuatu yang tak pernah kusangka akan kulihat di kedua matanya, sesuatu yang mengingatkanku pada diriku sendiri. Sebuah amarah terpendam dan rasa sakit yang dibiarkan mengendap hingga membentuk gumpalan keruh.

"Ayahku meninggal dalam kecelakaan." Dia melanjutkan. "Kami baru pulang dari sekolahku ketika sebuah mobil tiba-tiba menabrak dan menghancurkan tengkoraknya."

Kupikir, aku tidak bisa lebih terkejut lagi daripada ini. Aku menatapnya selagi dia berbicara dengan datar. Tidak ada seringai meremehkan atau kilat usil dalam tatapannya. "Sementara aku ... aku duduk di sampingnya, tertutupi tubuh besarnya sehingga hal itu tidak membunuhku."

Napasku tersendat. Aku tidak ingin dia membicarakannya, terutama saat kami sedang adu kecepatan di jalan raya, tapi aku bahkan kesulitan membuka bibirku, menyuruhnya diam. Tanganku bergetar dan pembuluh darahku terasa menyempit, aku tidak bisa membayangkan hal lain selain tengkorak yang hancur itu adalah tengkorakku.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now