Chapter 2

151 17 0
                                    

Setelah kejadian semalam, aku nyaris tidak memercayai apa yang kulihat sekarang. Dia sedang duduk di atas ranjang tempat tidurnya sambil memandang lurus ke arah jendela yang menampilkan pohon besar tua serta semak belukar di belakang rumah kami ketika aku membuka pintu kamarnya. Untuk beberapa saat, aku bergeming, berusaha menghilangkan halusinasiku tentangnya. Tetapi kemudian, dia memutar kepalanya ke arahku, menatapku, dan aku sama sekali tidak mengenalnya.

Wajahnya jelas jauh lebih tua dari ibuku, dan ketika kuperhatikan secara saksama, aku mulai menyadari rambutnya yang bewarna keperakan—bukan hitam seperti milikku atau Mom—karena dimakan usia.

"Siapa kau?"

Dia tidak menjawab dan malah menatapku seolah aku alien. Pandanganku tertuju ke arah tangannya yang memegang pigura orang tuaku dan aku ketika aku masih kecil, pigura yang kupikir sudah menghilang sejak selamanya. Aku menatap wanita tua itu, dan tiba-tiba merasa jengkel. Entah siapa pun dirinya, tidak seharusnya dia berada di sini, di kamar ibuku, duduk di atas ranjangnya sambil memegang benda milik kami.

Aku berjalan ke arahnya, merebut foto itu di tangannya yang keriput. Ketika aku hendak mengusirnya karena berpikir dia seorang pencuri yang menerobos rumah orang seenaknya, dia berkata, "Maya."

Aku menyipitkan mataku skeptis. "Siapa kau?" tanyaku lagi, tak yakin jika aku mengenalnya.

"Oh, kau!" gumamnya. Dia beringsut, mendekat ke arahku dan memelukku, jenis pelukan canggung yang tak pernah kau harapkan dari siapa pun dan ingin segera kau akhiri. "Kukira kau tidak ada di rumah," lanjutnya setelah melepaskan rangkulannya.

Aku tidak mengerti dengan ucapannya barusan, memangnya dia mengira aku akan berada di mana? Seolah bisa membaca pikiranku, dia menambahkan, "Aku berpikir kau masih di kantor polisi. Tadinya aku akan menjemputmu setelah mampir ke sini sebentar. Lalu mungkin kau ingin mengemas beberapa barang milikmu sebelum kita pergi."

"Pergi?"

"Ya," katanya. Dia berjalan melewatiku, membuka lemari pakaian ibuku dan menempelkan telapak tangannya di antara kain-kain tersebut.

Karena merasa terganggu, aku berujar, "Jangan menyentuh barang-barang miliknya!"

Seakan tidak mendengar perintahku, dia menarik gaun pesta bewarna hitam dan menatapnya lekat-lekat. "Ini indah," katanya tanpa melihat ke arahku.

Aku mendengus. "Dia akan mengenakannya untuk menggoda pria-pria idiot itu."

Wanita tua itu langsung berpaling sepenuhnya. Ekspresinya terlihat datar, tidak terbaca, sehingga aku tidak yakin apa yang tengah dipikirkannya tentangku, atau tentang ibuku. Apa dia memang mengenal kami?

Aku berjengit saat pandanganku tak sengaja menemukan pantulan diriku di matanya yang bewarna cokelat terang, sekonyong-konyong menyadari kesamaan di antara dirinya dengan ibuku, terutama sorot matanya yang seolah menyimpan begitu banyak rahasia kehidupan. Alis yang melengkung tajam dan sikap yang tidak mudah ditebak. Bulu kudukku langsung menegak, merasakan hawa dingin dari kegilaan ini merasuki pori-pori kulitku.

"Apa kau—" Aku tidak berhasil menyelesaikan kalimatku ketika kuingat kembali obrolanku dengan Mom sewaktu kami akan menghadiri pemakaman Granny.

"Kau punya keluarga?"

"Ya, tentu saja! Kaupikir siapa dirimu? Kau 'kan keluargaku."

"Maksudku, seperti Granny."

Karena aku yakin dia tidak akan menjawabnya, jadi aku melanjutkan. "Kau tak pernah membicarakn apa pun tentang itu."

"Tidak ada yang perlu kubicaran soal itu."

The Things She Left BehindDove le storie prendono vita. Scoprilo ora