Chapter 1

294 29 2
                                    

"Dia sudah meninggal."

Untuk kesekian kalinya, aku mendengar kata-kata itu menggema di udara, memenuhi kesadaranku dengan huruf-huruf yang tumpang-tindih, saling berdesakkan hingga tak menyisakan ruang bagiku untuk mencerna semua hal yang terjadi kurang dari 24 jam. Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur meskipun tidak mengantuk. Berpikir bahwa segalanya akan kembali seperti biasanya setelah aku bangun nanti. Aku akan melihatnya membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri di dapur dengan hanya mengenakan bra dan celana pendek—bahkan ketika cuaca sedang dingin pun, dia takkan peduli—sambil bertelanjang kaki dan bersenandung kecil seolah dirinya masih berusia belasan tahun.

Aku tidak selalu berharap melihatnya, malahan aku akan berupaya untuk menyingkirkan dirinya dari pandanganku dengan berpura-pura dia tidak berada dalam jarak yang bisa kujangkau. Namun sekarang, aku berharap melihatnya di sini, berkeliaran di sekitarku sambil cekikikan saat salah satu pria yang tengah dekat dengannya menggodanya di telepon, hanya untuk memastikan bahwa aku tidak berubah menjadi gila, bahwa ini merupakan satu dari sekian banyak omong kosong yang harus kuhadapi.

Aku tidak percaya dia sudah meninggal, rasanya seperti sesuatu yang tidak mungkin terjadi padanya. Lelucon macam apa itu? Dia akan selalu berada di sini, di dunia ini, untuk menyulitkan hidup semua orang. Aku tertawa pada detik di mana aku mendapatinya berlumuran darah di atas karpet ruang keluarga kami dengan televisi yang menyala tanpa suara. Aku mengutuknya dan menyuruhnya berhenti bermain peran. Memarahinya karena dia tetap telungkup, tidak menghiraukanku. Aku sudah kebal terhadap sikapnya yang keras kepala, terhadap kelakuannya yang selalu membuatku jengkel. Jadi, aku memutuskan untuk membiarkannya berbaring seperti itu hingga Dad muncul di hadapanku, menampilkan ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Aku masih meragukannya dan berteriak pada Dad kalau dia tidak mungkin pergi, kalau dia sedang berpura-pura. Dan selalu seperti itu. Tapi kemudian, Dad menangis—dia tidak pernah menangis bahkan ketika Mom berulangkali menyakitinya—dan aku tahu aku tidak bisa lagi menepis kenyataan bahwa wanita itu benar-benar pergi selamanya.

Aku hanya menatap Dad yang terus-menerus menangis dan mengulang kata-katanya sementara kerumunan mulai terbentuk di luar rumah kami. Perasaanku tidak seperti yang pernah kubayangkan—yang seharusnya tidak pernah kubayangkan. Aku tidak merasa senang karena akhirnya dia mendapatkan apa yang sepantasnya dia dapatkan sejak dulu. Aku juga tidak merasa sedih atau kehilangan sosok ibu dalam hidupku. Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Yang kutahu hanyalah seseorang telah menarik sesuatu keluar dari dadaku secara paksa dan hanya menyisakan kekosongan di dalamnya.

Jam menunjukkan pukul tiga tepat dini hari. Aku butuh tidur karena sudah dua malam tidak tidur, tetapi kepalaku tidak bisa berhenti memikirkan semua hal. Terutama ketika kalimat terakhir yang dilontarkan oleh ayahku kembali terngiang-ngiang di telingaku, memicu momen-momen kecil yang tidak pernah kuharapkan muncul di hadapanku dengan sinis dan arogan.

Aku mendapati diriku mengintip melalui celah pintu kamarnya sementara dia menangis dalam balutan jubah mandi di atas ranjang. Kupikir, dia tidak menyadari kehadiranku, tetapi kemudian dia menatapku dengan wajah yang memerah. Dia lantas beringsut, berjalan ke arahku. Aku mundur perlahan, mengira dia akan menjambak rambutku atau mencekik leherku, atau menamparku sembari menyemburkan kata-kata kasar seperti biasa. Namun, dia tidak melakukan semua itu. Alih-alih, dia menarik pintu kamarnya sebelum menguncinya dari dalam.

Aku tidak tahu apa yang dia tangisi pada saat itu, dan aku juga tidak repot-repot menanyakannya. Aku hanya berasumsi bahwa kekasih barunya yang lebih muda telah mencampakkannya, dan betapa senangnya aku memikirkan itu.

"Hari ini kau kelihatan lebih cerah," kata Jullian ketika aku menemuinya di tempat janjian kami, sebuah pondok tua milik keluarga Wyatt yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun silam sejak mereka sekeluarga meninggal saat sedang berkumpul di pondok ini.

Kematian itu tidak pernah terungkap. Dari yang kami dengar, tidak ada tanda-tanda keracunan atau pembunuhan sehingga orang-orang mulai beranggapan bahwa pondok itu dikutuk. Lalu muncul beberapa cerita horor yang membuat mereka takut, bahkan untuk sekadar melewatinya. Jadi, kami—aku dan Kiara temanku—memutuskan untuk menjadikan tempat ini sebagai milik kami. Dan kadang-kadang, kami mengajak cowok-cowok kemari.

Aku menarik wajahnya dan menciumnya. Jullian mengerang. Dia mengangkatku ke sofa—yang selalu Kiara bersihkan—sebelum mendudukkanku di atasnya. Aku memekik saat dia menindihku.

"Hei! Menyingkirlah!" seruku tidak bersungguh-sungguh.

Jullian terus menciumi leherku. "Tidak akan pernah."

"Aku punya sesuatu."

Dia berhenti menggerakkan bibirnya di kulitku, menatapku bingung. "Apa?"

Aku mendorongnya agar bisa duduk, kemudian mengeluarkan wadah berisi ganja yang kucuri sebelumnya di kamar ibuku ketika dia sedang mandi.

Mata cowok itu seketika melebar. "Babe, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkannya, tapi... sialan! Ayo kita bersenang-senang."

Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang kuingat adalah, aku pulang ke rumah dan Mom mengguncang-guncang tubuhku sebelum menyeretku ke kamar mandi dan memasukkan kepalaku ke bak penuh air.

Aku tidak bisa bernapas. Aku meronta-ronta, menyuruhnya berhenti. Meminta dilepaskan dan memohon ampun berulang-ulang. Aku berhasil menarik rambutnya yang tergerai, melakukan perlawanan dengan itu, tetapi dia memelintir tanganku begitu mudah. Kemudian segalanya menjadi kabur.

Darahku menggelegak. Aku tidak akan pernah memaafkannya. Sampai kapan pun. Aku membencinya. Membenci sikapnya serta segala hal yang berkaitan dengannya. Aku membenci diriku yang terlahir dari rahimnya. Dan aku benci karena dia masih bisa menyiksaku bahkan setelah dirinya mati.

"Dia sudah meninggal."

Suara Dad kembali berdengung, membuat pendengaranku sakit. Aku menutup kedua telingaku, menghindari serangan kata-katanya yang konsisten. Tetapi suaranya terdengar semakin kencang. Semakin menekan. Mendesak.

Aku menjerit frutrasi.

Hentikan!

"Dia sudah meninggal. Dia sudah meninggal." 

Sekonyong-konyong, aku dapat melihat ibuku. Berdiri di kusen pintu kamarku, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah menyala yang membuatnya terlihat seperti seorang jalang sungguhan. Dia bersedekap, menatap lurus ke arahku sambil memberiku senyum mengejek andalannya. Bibirnya yang pucat bergerak, dan meskipun aku tidak dapat mendengar apa yang dia katakan, tapi aku bisa menebaknya; "Kau lihat apa yang sudah kau lakukan, Maya? Apa yang sudah kau lakukan padaku? Apa yang sudah kau lakukan pada ayahmu?"

"Pergi!" teriakku mengusirnya.

Namun, dia tidak mau pergi. Dia tetap berbicara. Menghakimi.

"Kau selalu melakukan kesalahan, dan kau melakukan kesalahan denganku."

Kebencianku kian membengkak, membuatku nyaris tidak mampu merasakan apa pun selain rasa benci itu.

Aku bangkit dari tempat tidur. Berjalan menghampirinya dan membalas tatapannya tanpa ragu.

"Dia sudah meninggal—"

"Ya, Dad ... ya!" teriakku memotong kalimatnya. "Kau benar. Dia sudah meninggal karena aku yang telah membunuhnya."

Lalu, aku tidak lagi mendengar suara Dad di kepalaku, dan ibuku berubah menjadi aku.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now