Chapter 8

51 12 7
                                    

Di kejauhan, aku bisa melihat sebuah ford mustang berwarna merah dengan atap terbuka terparkir di pinggir jalan secara asal. Seseorang di sana menatap ke arah kami, kemudian berteriak. Mengatakan sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Membuat ketiga orang lainnya ikut menoleh.

Aku melihat Nero di sampingku menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka teman-temanku di sekolah lama,” ucapnya.

“Kau masih sekolah?”

“Kenapa? Kau tidak mengira aku sudah 20 tahun, bukan?”

Tidak, aku tidak mengiranya. Aku hanya berpikir dia sudah lulus SMA, tidak kuliah, bekerja serabutan atau apa pun sebutannya. Mengingat dia jarang ada di rumah, dan aku tidak pernah melihatnya membawa tas atau sekadar buku di pagi hari seperti anak sekolah pada umumnya.

“Aku tidak pernah melihatmu pergi ke sekolah.”

“Liburan musim gugur. Memangnya di tempatmu dulu tidak ada, ya?”

Saat sekolah di New York, kami juga memiliki libur tambahan pada musim gugur, bukan hanya Thanksgiving. Tetapi aku tidak repot-repot memberitahunya. “Tidak.”

“Oh! Aku beruntung kami memiliki banyak hari libur di sini,” balasnya. “Tapi, sekolah dimulai lebih awal. Kupikir itu sepadan.”

“Kenapa kau pindah sekolah?”

Dia menyeringai tipis. “Kalau tidak, aku bisa mati.”

Aku mengernyit mendengar kalimat terakhirnya, tetapi dia keburu berpaling, tampak tidak berniat menjelaskan kata-katanya dan malah mempercepat langkah kakinya menuju ford merah itu. Ketika kami sudah berdiri di dekat mobil tersebut, Nero melepaskan genggamannya padaku, menyisakan ruang kosong dan keringat dingin di telapak tanganku. Dia melakukan high five dengan mereka sambil berbicara dalam bahasa Spanyol. Aku hanya menangkap beberapa kata yang bisa kumengerti berkat kelas bahasa Spanyol yang pernah kuikuti di sekolah bersama Señor Alejandro. Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak Latin, aku bahkan tidak terlalu ingat siapa teman-temanku dulu selain Kiara—karena mungkin dia yang paling terakhir menjadi temanku.

“Kau tidak bilang kalau kau akan membawa pacarmu,” kata satu-satunya perempuan di sana. Rambut pirang dengan kulit kecokelatan yang kuyakini membutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkannya. Aku juga tidak mendengar aksennya seperti yang lain, dan dia duduk di atas pangkuan cowok Latin di samping kemudi. Melambai padaku saat pandangan kami berpapasan.

“Bukan pacarku,” balas Nero. Melirikku sekilas. “Ini Maya. Kami tinggal bersama, dia cucunya Karime.” Nero mengenalkanku pada teman-temannya. Semenit kemudian, aku tahu nama-nama mereka; Hugo, Rodas, Logan, Ivy.

Logan, cowok pendek dengan alis kelewat tebal dan kulit lebih gelap, menyuruh kami segera naik ke mobil. Aku mengamati kendaraan tersebut dengan sangsi. Ford ini hanya memiliki 4 kursi, sedangkan jumlah kami 6 orang. Aku tidak mau duduk di pangkuan Nero atau Rodas—cowok yang berteriak pada Nero tadi—seperti Ivy yang duduk di pangkuan Hugo. Tapi kemudian, aku melihat Rodas berdiri dan duduk di atas mobil.

Saat melihat Nero melompat ke dalam kendaraan tersebut, sekonyong-konyong aku merasa apa yang kulakukan salah. Seharusnya, aku tetap berada di kamarku, dengan buku Emily Dickinson yang tidak pernah kubaca, bukannya bersama sekumpulan remaja yang tidak kukenal di tempat yang sama asingnya bagiku. Sementara aku sedang memikirkan alasan untuk melarikan diri, Nero menarikku tanpa aba-aba sehingga aku jatuh dengan tidak anggun di sampingnya.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” katanya sambil menutup pintu di sebelahku.

“Seperti dia akan kabur saja,” celetuk Hugo di depan.

“Kalian memiliki tampang pandillero, jangan lupakan itu,” balas Nero.

“Dan kaulah pandillero itu!” seru Ivy.

The Things She Left BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang