Chapter 6

71 17 0
                                    

Teriakan itu membuatku seketika mengerjap. Terkejut mengingat sejak tadi, aku tidak melihat siapa pun di sini, aku bahkan tidak bisa merasakan tanda-tanda keberadaan manusia di sekitarku. Lagi pula, orang bodoh mana yang akan berkeliaran di tengah padang pasir yang panas dan gersang, dan matahari seolah tak henti-hentinya menyengat kulitmu? Aku sendiri tidak yakin bagaimana diriku bisa sampai ke tempat ini. Tadinya, aku hanya akan berjalan-jalan sebentar, tetapi kemudian, tanpa kusadari, aku melangkah terlalu jauh hingga yang bisa kulihat hanyalah bukit-bukit berpasir bewarna oranye kemerahan serta pepohonan kaktus di sekelilingku.

Alih-alih kembali, aku memutuskan terus berjalan hingga menemukan trotoar dan sebuah bangku dengan cat yang sudah mengelupas dan berkarat. Di seberangnya, tampak lapisan-lapisan gurun serta bebatuan bewarna senada.

Aku duduk di bangku tersebut. Mengamati jalanan berdebu sambil merasakan terik matahari yang berusaha menembus tulang-tulangku. Kemudian seseorang berteriak. Aku mengalihkan perhatianku ke sekeliling dan tidak menemukan siapa pun. Ketika akhirnya kupikir itu hanya perasaanku saja, seseorang muncul dari balik bukit di kejauhan. Dia berjalan ke arahku sambil melambaikan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kudengar dengan jelas.

Aku menyipitkan mataku, berusaha mengenalinya. Tetapi aku bahkan tidak bisa memastikan apakah dia laki-laki atau perempuan. Suaranya terdengar sumbang, tidak jelas, bergelombang, sementara wujudnya hanya sebentuk siluet. Lagi-lagi, aku menggerakkan kepalaku ke sekitar, barangkali dia tengah berbicara kepada orang lain. Namun, tidak ada siapa pun di sini selain aku.

“Hoy!” teriaknya lagi.

Aku mengembalikan pandanganku padanya, dan kali ini terlihat jelas. Seorang perempuan. Mengenakan kamisol kuning pucat dan celana jins robek-robek. Dia membawa tas ransel, yang mengingatkanku pada sekolah. Semenjak pindah ke sini, aku belum memutuskan apakah aku akan melanjutkan sekolah atau tidak. Aku bahkan belum membicarakan ini dengan Karime. Selain karena dia jarang ada di rumah, aku juga terlalu sibuk dengan urusanku sendiri; membaca lembaran jurnal ibuku yang dia selipkan di antara buku-buku di kamarnya—atau sekarang, kamarku.

Tepat setelah dia berdiri di hadapanku, dia bertanya, “Kau sedang apa di situ?” Dan sebelum aku berhasil mengatakan apa pun, dia melanjutkan, “Oh, tunggu! Aku baru melihatmu di sini.”

Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mengamatinya dengan jelas. Dia terlihat begitu kurus dan tinggi, dan kulitnya tampak seperti karamel lembut. Warna kedua matanya berbeda; sebelah kanan biru dan sebelah kiri cokelat. Awalnya kupikir dia memakai lensa palsu, tetapi setelah diperhatikan warnanya terlihat natural. Dia menggelung rambut cokelatnya ke atas, dan itu membuat lehernya kelihatan semakin panjang. Meskipun begitu, dia tampak cantik sehingga dalam beberapa saat, kupikir aku tidak benar-benar melihatnya. Aku pernah mendengar kalau panas matahari bisa membuatmu berhalusinasi sampai-sampai aku tidak yakin apa yang barusan kukatakan pada cewek ini.

“Ya, tentu saja,” ucapnya kemudian. “Aku hampir mengenali setiap orang di sekitar sini.”

Sepertinya tadi aku memberitahunya bahwa aku baru pindah dua hari lalu. Well, tidak heran kalau dia hampir mengenali setiap orang di sekitar sini, toh sampai sekarang saja aku masih menyangsikan kalau tempat ini bisa disebut peradaban.

“Siapa namamu?”

Sejenak, aku merasa ragu untuk menjawabnya. Apa yang sedang kulakukan? Maksudku, aku tidak mengenalnya dan aku di sini bukan untuk beramah-tamah atau mencari seorang teman. Aku tidak membutuhkan semua itu. Setelah malam itu, aku bahkan nyaris tidak pernah bertemu langsung dengan Nero karena aku selalu berhasil menghindarinya. Namun, cewek ini sepertinya menyalahartikan diamku. Dia malah mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. Dapat kulihat dia menggunakan kawat gigi. Karet-karetnya bewarna-warni hingga aku tidak bisa menebak berapa usianya. Dia terlihat jauh lebih tua dari karet bewarna-warni itu.

“Faith,” katanya.

Kedua alisku menyatu, lalu sedetik kemudian aku mendengarnya tertawa.

“Namaku Faith... Faith D. Marlow.” Dia menggoyangkan tangannya untuk dijabat, tetapi aku hanya menatapnya.

Setelah menyadari aku takkan menanggapinya, dia menarik kembali uluran tangannya sambil berseru, “Oh, Tuhan! Apa aku terlihat begitu jelas seperti sebuah penyakit menular?” Dia mengembuskan napasnya keras-keras sebelum menjatuhkan dirinya di sampingku. Memandang ke arah bukit-bukit yang bergelombang di kejauhan.

Dia tidak lagi mengatakan apa pun. Hanya duduk. Tapi aku masih memperhatikannya. Kacamata hitam yang tadi menggantung di kepalanya kini diturunkan untuk menghalau sinar matahari yang tampaknya sudah bergerak ke arah bukit.

Aku tidak mengerti maksud dari pertanyaannya. Namun, alih-alih menanyakannya, aku malah bertanya yang lain, “Apa itu huruf D?”

“Delaney,” katanya tanpa menoleh ke arahku. “Jadi, kau tidak mau berkenalan denganku, tapi kau hanya penasaran dengan nama tengahku.”

Sudut bibirku berkedut, aku tidak berpikir kalimatnya lucu, tetapi cewek ini membuatku nyaris tersenyum.

Entah mendapatkan ide dari mana, aku merebut kacamatanya dan menggunakannya untuk melindungi penglihatanku. Dia protes. Namun, meskipun begitu, dia tidak berusaha mengambilnya.

Dia lantas mendengus sebelum memandang kembali ke depan. Kedua matanya menyipit, tetapi aku masih bisa melihat iris biru-cokelatnya yang bersinar diterpa cahaya jingga kekuningan.

“Maya,” kataku setelah keheningan singkat di antara kami.

Dia langsung menoleh. Tersenyum lebar. Membuatku menyesali apa yang baru kulakukan. Aku tidak ingin berteman, atau sekadar mendapat kenalan baru. Aku berada di sini hanya karena aku tidak tahu akan tinggal di mana.

Setelah kematian ibuku, aku tidak lagi peduli pada apa pun. Aku tidak lagi merasa takut. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan, tidak ada yang ingin kupertahankan, dan itu artinya tidak ada yang harus kulakukan.

Well, kau dari mana?”

Aku berjengit kaget, melupakan keberadaan cewek itu di sampingku. Aku tidak seharusnya berada di sini, duduk bersamanya dan berbincang seolah kami sahabat lama. Aku telah melakukan kesalahan dengan ini, terpengaruh oleh kehadirannya. Aku tidak peduli padanya. Aku juga tidak ingin dia tahu apa pun tentangku—sebaiknya, dia memang tidak tahu apa pun tentangku.

Sebelum aku sempat berubah pikiran, aku beringsut dan berjalan cepat. Nyaris berlari ketika dia berdiri dari tempat duduknya dan berteriak memanggil namaku.

Aku tidak perlu menghiraukannya. Aku tidak berutang sesuatu pun padanya.

Ketika sampai di kamarku di rumah ini, aku melihat pantulan diriku di cermin dan menyadari benda yang menggantung di atas hidungku.

Sial!

Aku memang berutang sesuatu padanya.

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now