Chapter 20

56 12 0
                                    

Aku beranggapan Karime tidak akan bicara lagi padaku. Dia mungkin sedang mengurus beberapa hal di belakangku agar bisa mengirimku ke tempat lain, atau apa pun yang dilakukannya untuk membuatku pergi dari rumahnya. Aku sudah siap jika akhirnya dia mengusirku, memutuskan tidak lagi menampungku. Namun, pagi itu, alih-alih pergi ke ladang, dia menawariku sarapan, kemudian mengantarku ke sekolah.

“Apa kau tidak bekerja?” tanyaku tepat setelah mobil meluncur keluar dari halaman.

“Kurasa aku perlu istirahat.” Dia menatapku sekilas sebelum perhatiannya kembali ke jalanan di hadapan kami. “Bagaimana sekolahmu kemarin?”

Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang ingin didengarnya, jadi aku hanya berkata, “Semuanya oke.”

“Kau punya teman?”

Pertanyaannya itu mengingatkanku pada Faith. “Ada seorang gadis aneh, tapi aku tidak yakin kami berteman.”

“Kenapa kau tidak yakin?”

Aku memicingkan mata curiga ke arahnya. “Apa kau sedang menginterogasiku?”

Karime tidak langsung menjawab sementara otakku terus menstimulasi pikiran-pikiran negatif. Aku membayangkannya melakukan ini pada ibuku setiap hari, memonitor aktivitasnya dan mengontrol gerak-geriknya. Aku bergidik ngeri membayangkan semua itu sehingga aku nyaris melontarkan tuduhan kalau dia tidak segera berkata, “Aku melihat kau menangis kemarin.”

Jantungku rasanya seperti hendak melompat keluar dari dalam rongga dadaku mendengar pernyataannya barusan. Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang terasa kesat. “Kau ... melihat Nero?” Aku mengumpat dalam hati menyadari suaraku terdengar begitu lemah.

Karime memalingkan wajahnya dariku, dan aku tahu dia melihat semuanya. Lucu sekali bagaimana dia bersikap seperti orang tua perhatian pagi ini setelah apa yang dilihatnya kemarin. Maksudku, apa dia benar-benar ada di sana? Memperhatikan kami? Menyaksikan aku dan Nero berciuman? Pipiku terasa terbakar, seakan udara pagi di sekelilingku tiba-tiba menggila.

“Aku dan Nero, kami tidak punya—“

“Semuanya baik-baik saja?” Karime menginterupsi penjelasanku, jadi mau tak mau aku menatapnya ragu. “Ya?”

“Kau menangis setelah hari pertama sekolah.”

“Oh,” responku seketika. “Ya. Maksudku, ya. Sekolah baik-baik saja.”

Aku tidak tahu apakah aku harus lega karena Karime tidak berniat membahas kejadian itu, atau malah sebaliknya. Wanita ini benar-benar sulit dibaca.

Dia tidak lagi menanyakan apa pun, sementara aku sudah tidak tahan berada semobil dengannya. Aku merasa ingin melarikan diri sekarang juga. Dan untunglah, kami tiba di halaman parkir sekolah sebelum aku benar-benar melompat dari sana.

Aku melihat mobil butut Nero terparkir tidak jauh dari tempat kami berada, tetapi aku tidak melihat sosoknya di mana pun. Dan aku bersyukur karena kami tidak harus bertemu sekarang.

Karime mematikan mesin. Dengan segera aku membuka sabuk pengaman. Aku hendak turun kalau saja kalimat Karime berikutnya tidak menahanku. “Aku ingin mengajakmu ke luar. Apa kau punya waktu Sabtu ini?”

Karime tahu aku memiliki waktu yang tak terbatas untuk pergi bersamanya kemanapun dan kapanpun dia menginginkannya. Namun, dia lebih memilih bertanya padaku terlebih dahulu, dan itu membuatku mempertimbangkan kembali pandanganku terhadapnya, apakah aku benar-benar bisa membencinya?

Aku tidak tahu apa rencananya, tetapi aku menjawab, “Aku selalu punya waktu.”

Dia tersenyum sekilas padaku, senyum tulus yang menyentuh perasaanku sedemikian rupa.

The Things She Left BehindTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon