Bonus Chapter (Part 1)

4.6K 482 9
                                    

Suka tak suka, mau tak mau,  waktu terus berjalan, tanpa sekalipun ingin berhenti. Hidup yang suram kemarin, tetap harus dijalani, karena tak ada satupun yang tahu apakah suram kemarin akan terus mengikuti sampai hari esok atau hanya akan menjadi sebuah cerita yang dianggap kenangan.

"Iya Jer," Jovan menyelipkan ponselnya di tengah-tengah pipi dan bahu, "ini lagi siap-siap, sebentar—" tangan Jovan yang tadinya dipenuhi berbagai ransel ia letakan di depan pintu dan membuatnya kemudian leluasa memegang ponsel, "—koper yang di depan kamar Jovan pa, yang itu dibawa juga!" Jovan sedikit mengeraskan suaranya sembari memberikan sedikit jarak dengan ponsel. Ia mendudukan diri diatas sofa, memberikan waktu pada tubuhnya untuk beristirahat.

"Pesawatnya jam berapa Jov?"

Jovan kembali pada panggilan di ponselnya, saat mendengar suara diseberang sana kembali berucap, "jam 2, habis makan siang mungkin aku dan papa baru akan berangkat."

Dikejauhan, seseorang bertanya, "itu Jerian?"

"Iya pa, mau berbicara dengannya?" Jovan menanggapi sang Ayah dengan Jerian yang masih terhubung di ponsel.

"Tidak, papa masih harus mengemaskan barang diatas, tanyakan saja kabar mama—oh ya, surat cutimu bagaimana?"

"Sudah Jovan kirimkan,  tenang saja."

Setelah melihat sang Ayah pergi lagi, Jovan kembali pada percakapannya dengan sang saudara, "Papa bertanya, bagaimana keadaan mama?"

"Mama baik, akhir-akhir ini disibukan dengan acara lamaran paman Josh dengan bibi amel."

Jovan tersenyum, bahkan jarak yang sudah lama memisahkan cukup untuk membuat Jovan tersenyum hanya karena mendengar nama yang sudah lama tak ia dengar, "Kau sendiri?"

"Aku sibuk setiap hari disini, hahaha, kudengar kau akan mengambil cuti cukup lama?"

"Yah begitulah, coach juga memberikan ku waktu berlibur."

"Benar, kau harus memilikinya, karena aku sudah bosan melihatmu di televisi setiap hari."

"Hahaha, pun tetap kau tonton, bilang saja kau merindukanku. Kemarin baru saja kubelikan oleh-oleh dari korea."

"Tak perlu harusnya, akan ku berikan oleh-oleh dari Amerika."

"Padahal aku akan kesana."

◆◆◆◆◆

Langkah kaki itu berjalan pelan,  Jovan menikmati udara dingin mulai menggerogoti panca indera. Akhirnya, rencana nya mengunjungi sisa keluarganya terwujud.

"Pakai sarung tangannya, double." Jovan sedikit terkejut, kala tangannya langsung diambil oleh sang ayah untuk dipasangkan sarung tangan, "sudah besar juga, masih harus diperhatiin."

Jovan tertawa pelan, sang ayah mengomel namun tetap melakukannya, "anak itu bukannya selalu manja pada orang tuanya?"

Pernyataan Jovan mendapatkan usapan sayang diatas kepala, "umur mu bahkan sudah cukup untuk memiliki istri."

"Umurku masih 22, pa." Protes Jovan,  sang ayah hanya mengangguk tak ingin memperpanjang perdebatan ditengah keramaian bandara.

"Ayo, Jerian pasti sudah menunggu."

Jovan mengikuti langkah sang Ayah. Ditatapnya punggung lebar yang tampak masih kokoh itu, punggung tempatnya bersandar selama empat tahun ini. Jovan sayang, sangat sayang, ingin sekali memberikan pelukan hangat dari belakang, menegakkannya kembali.

Walaupun ia tahu, itu bukanlah punggung tegar sang ayah yang dulu, punggung itu terlihat lebih perasa dan sensitif. Sangat rapuh namun terlihat kokoh. Jovan tersenyum, ia ingin sekali berkata, Ayahnya sudah lebih dari cukup.

Diluar, Jerian menunggu dengan antusias bersama sang ibu.

"Harusnya mereka sudah sampai." Berkali-kali Jerian meneliti waktu dengan jam di tangan, memastikan ia tak salah.

Sang ibu menepuk pelan punggung anaknya, "tenang, mereka pasti datang sebentar lagi."

Vivian berusaha menenangkan sang anak,  yang pasti sudah kepalang rindu dengan kembarannya. Ia tersenyum, lima tahun yang lalu, tak ada yang mengira akan tiba dimana waktu dapat memisahkan kembaran yang selalu bersama itu. Mereka yang dulu nampak tak terpisah, harus belajar untuk membuat jarak, menerima kehidupan tanpa sebagian dari diri mereka, karena perbedaan tujuan hidup. Sebagai ibu, ia cukup bangga karena mereka melewatinya.

Dikejauhan, tampak dua orang pria melambai. Salah satu diantaranya mulai berlari, diikuti Jerian yang tadi tengah tenang menikmati tepukan hangat sang ibu,  ia mulai menyadari bahwa yang berlari adalah kembarannya. Vivian melihat dari kejauhan, kedua anaknya sama-sama tampak memancarkan senyum bahagia bertemu, mereka melepas rindu dengan berpelukan erat, bahkan sampai tak peduli bahwa sedang berada ditengah-tengah keramaian, yang terpenting kini mereka kembali merasa menjadi satu ikatan setelah lama berpisah.

Kemudian, salah satu diantaranya baru sampai menemui Vivian dan menyapanya, "apa kabar?"

Vivian tersenyum, "baik," sebuah percakapan yang canggung antara dirinya, dan sang masa lalu.

Benar, masa lalu. Jeff, mantan suaminya yang dulu sulit ia lupakan, kini pun tetap menjadi sang masa lalu. Bedanya,  Vivian pun sudah berdamai dengan masa lalunya itu.

"Jerian tampak sangat sehat." Jeff tertawa,  Ayah dari anak kembar tersebut tertawa melihat perubahan tubuh Jerian,  masih sangat bagus,  hanya lebih berisi.

"Jovan juga, sangat tinggi dan oh—lihat ototnya itu, tampaknya semakin membesar." Tawa keduanya pecah.

"Ia memang memiliki banyak jadwal pertandingan basket,  sampai-sampai tak bisa datang ke upacara kelulusan Jerian." Tanggap Jeff dengan nada sedikit menyesal.

"Tak apa, yang penting Jovan bisa mendapatkan cuti, setidaknya dia punya waktu untuk beristirahat. Kau pun pasti lelah menemaninya kemana-mana. Manager yang harus siap sedia."

"Bagaimana dengan Juna?" pada akhirnya, yang sudah di duga, Jeff menanyakan kabar sang anak sulung. Vivian menanggapinya dengan lembut, "Juna pasti akan senang dengan kedatangan kalian,  semenjak lulus Jerian sangat-sangat memperhatikan kakaknya. Ia mengurus Juna setiap hari."

Jeff ingin kembali menanggapi, namun kedua anaknya datang dengan bersemangat kepada mereka membuat Jeff mengurungkan niat dan memilih melepas rindu pada Jerian, begitupun Vivian yang tengah memeluk erat Jovan.

"Selamat atas kelulusannya, son!" Jeff memeluk bangga sang anak, menepuk punggungnya, "maaf, papa tak bisa datang waktu itu."

Jerian tampak senang, "tak apa, kita bisa merayakannya bersama disini."

Disisi lain, Jovan melepas rindu dengan sang ibu. Bedanya, anak itu malah menangis, membuat Jerian dan Jeff dapat memaklumi betapa rindunya Jovan pada rumahnya. Ia memang memiliki Jeff disisi,  namun sang ibu juga adalah rumah baginya.

"Hei, masa sudah besar malah menangis." Vivian sebenarnya hampir menangis, rasa rindu nya pun sama besar. Ia terharu saat Jovan langsung menghamburkan peluk padanya. Menangis, walau mungkin anak itu sadar,  badan nya sudah terlampau besar dan umurnya sudah semakin dewasa.

Tapi hal tersebut tetap tak bisa menutup fakta bahwa ia tetaplah seorang anak. Seorang anak yang dibesarkan oleh orang tua, ia tetaplah kecil di mata kedua nya.

Jovan paham, sang ayah dan sang ibu yang tak mungkin lagi bisa bersatu, status mereka yang kini hanya sebagai mantan pasang. Namun tetap tak akan ada yang namanya mantan anak dan Jovan tetaplah anak kecil, bagi ibunya.

Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now