◆Part 31 : happiness?◆

20.4K 3.4K 241
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Rasanya, Juna sendiri pun sudah tidak kuat untuk marah. Dia yang hanya melihat merasa sangat miris apalagi sang adik yang mengalami.

Loteng bukanlah tempat yang layak untuk tidur, pun sisinya ditahan dengan kayu yang sudah reyot, banyak barang tak terpakai disekitarnya, kasur yang menyatu dengan lantai. Juna menutup mulutnya, menggigit bibirnya berusaha melampiaskan kekesalannya.

Ada banyak perban dan obat luka tersimpan rapi di lemari kayu reyot yang sudah dipastikan milik sang adik. Di Rumah sebesar ini? Mengapa loteng menjadi tempat bernaung sang adik.

Sekali lagi, Juna benar-benar kecewa pada dirinya sendiri. Tentu saja adiknya yang kelewat baik itu tak akan membuat khawatir sang kakak, padahal Jian bisa tidur di kamar sang kakak atau yang lebih layak, bukan di tempat yang seperti ini.

Sembari mengepalkan tangannya, menahan amarah yang kian meluap, Juna mencoba menenangkan dirinya. Mengetahui sang sahabat pun sekarang sedang tak berada disisi nya, Juna tak ingin amarahnya merusak semua rencananya yang telah terbentuk.

Sambil menghela nafas, Juna bergegas membereskan barang sang adik. Setiap kali mengemasi barang sang adik, kaca dimatanya harus ditahan. Jangan sampai tumpah dan membasahi pipinya lagi.

"Kak Kelvin, bilang sama Juna , apa yang diucapkan Papa gak benar?! Bilang kak! Bilang!!!"

Namun sayang, memori di otaknya dipenuhi dengan kesedihan. Tak ada satupun alasan untuk dirinya menikmati setiap detik, sementara yang tersimpan di dalam hati dan pikirannya hanya rasa takut, marah, kepedihan.

"Sayangnya, itu benar Juna.... "

"Argh!!!" Juna menekan dadanya, rasa perih yang berkelanjutan itu benar-benar menyiksa hingga terasa menusuk di dadanya.

Sambil menangis, ia pun masih berusaha meyakinkan dirinya, ia berusaha menikmati masa-masa harus membuat sang adik bahagia. Ia memantapkan hati untuk jangan berlarut dalam kesedihan.

Dengan satu seakan, Juna menepis butiran air yang mulai membasahi pipinya, kemudian satu persatu Juna memasukan baju sang adik ke dalam tas untuk dipindahkan ke kamarnya.

Ya, Jian pulang. Benar-benar pulang menginjakan kaki di rumah, tentu saja sudah dengan keadaan yang berbeda. Adiknya sedang menikmati mimpi di dalam tidurnya, sambil menghabiskan waktu, Juna pun memilih membereskan barang-barang adiknya.

Hingga membuat dirinya larut memandangi saksi bisu kepahitan dari hidup seorang Jian.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Juna memasuki kamarnya, rasanya semua seperti baru, sangat terasa asing. Ia menghampiri sang adik yang masih tertidur lelap, dengan selang infus yang menggantung diatasnya.

Tak memilih untuk segera tidur, Juna duduk disebelah Jian. Menghabiskan waktunya memandangi sang adik sambil mengelus surainya tipisnya, menyeka poni yang menutupi matanya.

Juna tersenyum tipis, hanya dengan melihat wajah damai sang adik membuat perasaannya kembali tenang, "berbohong untuk kebaikan, tetap saja itu kebohongan.... "

"Jian gak bohong, kakak gak pernah tanya.... "

Juna sedikit tersentak, begitu pula Jian yang membuka matanya. Ia langsung mengambil alih untuk mendudukkan tubuhnya.

"Membicarakan soal donor ginjal? Iya, bukan?"

Juna tercekat, Jian seakan dapat membaca pikirannya. Jujur, memang perkataannya tadi menjurus ke arah sana. Namun bukan berarti dia menyalahkan sang adik. Hanya saja dia kecewa, merasa sangat gagal menjadi seorang kakak.

Jian sendiri tau jika sang kakak sudah mengetahuinya. Sebelum pulang tadi Jian dapat melihat kertas yang sering dipandangi sang kakak terletak di atas meja. Dan kertas itu adalah miliknya, kertas yang menjadi bukti saat dia menyerahkan sebagian miliknya.

"Kakak kecewa ya sama Jian?" hanya itu yang memenuhi pikiran Jian, apa karena ini saat pagi hari Jian tak melihat sang kakak disampingnya? Apa karena ini, kakaknya menangis?

Banyak yang bernaung di pikirannya, Satupun, tak ada dari mereka yang membahas. Ia pun merasa Ingin mengetahui semuanya, hanya saja tak ada kesempatan untuk dirinya bertanya. Jian terlalu menikmati kebahagiaannya.

Ia takut, dengan kebenaran, kebahagiaan itu akan sirna. Ia takut, kebahagiaan yang terlihat tulus itu hanya sebagai sekedar balas budi.

Belum, Ia belum sanggup.

Juna kembali mendekati sang adik, kemudian menggeleng pelan.

"Tidak...." Juna mengusap puncak kepala sang adik, "Hanya saja, Kakak bukan kakak yang baik membiarkan adik kakak menyimpan semuanya sendirian...."

Jian tersenyum tipis.

"Walaupun, Jian memberitahu kakak, apa kakak akan memberikan Jian ijin?"

Juna menggeleng, "Bukan ijin Jian, tapi sebuah solusi. Jian tidak harus melakukannya, apalagi Jian masih dibawah umur. Kita bisa mencari donor ginjal—"

"Dan membiarkan Papa menunggu akhir hidupnya?" Jian tertawa pilu, "Mendonorkan Ginjal Jian adalah pilihan yang terbaik, selain cocok, Jian juga ada di sana."

".....kita selama ini tak pernah tahu apa yang dilakukan Papa. Selama setahun belakangan Papa hanya akan melakukan cuci darah dan selama setahun pun, Papa belum menemukan donor ginjal yang cocok. Jadi, apa mencari donor ginjal yang lain masih menjadi solusi terbaik?"

Juna menatap sang adik dengan berkaca-kaca. Yang lebih muda menggenggam tangan sang kakak dan berusaha tersenyum berharap meredakan rasa sedihnya, "Jian melakukannya, karena Jian menyayangi Papa..., Jian merasa hanya ini yang bisa Jian lakukan untuk Papa."

".....Jian tidak pernah menyesal melakukannya.... "

Pertahanan Juna runtuh, sontak Ia menarik Jian, membawanya ke pelukannya.

"Kakak, pasti khawatir ya pada Jian?"

Juna hanya diam sambil terus terisak.

"Maaf, Jian yang salah. Jian yang gak menjaga badan Jian dengan benar, Jian lalai...."

Juna kembali terisak membuat Jian merasa bersalah kesekian kalinya, sudah cukup rasanya dia melihat mata bengkak sang kakak, jangan lagi ditambah dengan menangis dimalam hari.

"Kak, sudah jangan menangis...." Jian berusaha menenangkan sang kakak dengan mengelus punggung milik sang kakak.

"Maaf Jian, Maaf...."

Jian menggeleng, "Maaf kak...."

"Kak, apa yang sudah terjadi, terjadilah...., kita tidak bisa mengulang waktu. Jian melakukannya atas dasar kemauan Jian sendiri, Jian tidak menyesal. Sekarang, Jian bahagia kakak disini bersama Jian."

"Eum... "Juna mengangguk pelan, tangisannya terendam, "Kakak disini Jian...., janji sama kakak sehabis ini Jian harus bahagia."

"Jian bahagia, bahkan dari awal Jian ada di dunia. Jian sudah bahagia."

Jian merenggangkan pelukan sang kakak, memegang bahunya dan menatap matanya, menyatukan binar mata mereka, "Kebahagiaan itu tidak selalu diukur dengan seberapa banyak kita tertawa. Seperti kata kakak, menangis tidak selalu karena sedih, tapi ada juga menangis bahagia. Begitupun kebahagiaan Jian."

"....Jian tidak pernah mengukurnya dari seberapa banyak Jian tertawa, sumber kebahagiaan Jian adalah kalian."

"....Dengan adanya kalian, Jian bersyukur, Jian bahagia, karena di dunia ini, Jian tidak sendiri."

"Kalian adalah bahagianya Jian .... "

To be continue

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now