◆Part 3 : Adikku◆

29.6K 4.5K 241
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Kehidupan Juna benar benar membuat semua orang iri. Dirinya hidup diatas kemewahan, papanya adalah seorang direktur di berbagai perusahaan trading. Juna mengikuti kepintaran Jeffery Aldenio. Jeff bahkan sudah menyiapkan masing-masing perusahaan di berbagai negara untuk anak-anaknya kelak. Membayangkannya saja sudah membuat setiap orang iri, masa depan yang pasti, kasih sayang orang tua yang tidak ada habisnya.

Ya semua itu. Juna juga dianugerahi dua adik kembar yang berbeda 4 tahun dengannya. Mereka berdua sangat lucu saat masih kecil dan juga sangat nakal. Tentunya sebagai orang tua, Jeff dan Vivian sangat senang karena mereka memiliki penerus, 3 orang penerus. Sampai saat Juna menginjak umur 7 tahun. Penerusnya bertambah menjadi 4.

Bukannya menjadi sebuah anugrah, tapi kedatangan adik dalam perut sang ibu malah mendatangkan sebuah petaka dalam rumah mereka. Juna tidak cukup mengerti, mama dan papanya hampir setiap hari bertengkar, papanya yang jarang pulang ke rumah dan mama selalu memukul-mukul perutnya.

"Mama! jangan dipukul! Ada adik bayi!" Juna memeluk perut mamanya, hanya ini yang bisa Ia lakukan, mamanya tidak akan lanjut memukul perutnya karena ada Juna, jika dilanjutkan maka Juna yang akan terkena pukulannya.

"Dia bukan adik kamu Juna!"

"Dia adik Juna! Buktinya dia ada di perut Mama!"

"Juna, lepas!"

"Gak! Nanti Mama pukul lagi!" Juna menenggelamkan kepalanya pada perut sang ibu. Ia dapat merasakannya, kehidupan di dalamnya, tendangan-tendangan kecil miliknya. Ini bukan sekali atau dua kali, Juna bahkan harus menjadi saksi pertengkaran antara kedua orangtuanya.

"Aku juga gak mau dia ada!"

"Jelas-jelas aku melihatmu disana!"

"Tapi aku tidak melakukan apa-apa dengannya. Percayalah padaku."

"Jangan memanggilku seperti itu lagi! Aku jijik denganmu! Semua bukti sudah ada, mulai sekarang kita bukan suami istri lagi!"

"Dengerin aku dulu!"

Juna meremas ujung bajunya menyaksikan semuanya dibalik pintu, kaca berserakan, mama yang mencoba menahan papa untuk pergi. Dan kata-kata yang menyakitkan, "Mulai sekarang kita bukan suami istri lagi," itu dapat membuat hati Juna menciut. Juna yang dianugerahi kecerdasan tidak mungkin tidak mengerti. Itu terdengar jelas seperti kata-kata perpisahan.

"Apa lagi yang mau dijelaskan, Vivian?! Jelas-jelas bukti sudah ada didepan mata, kau tidur bersama Josh!"

"Tapi kami tidak melakukan apa-apa, Jeff! Aku serius."

"Aku sudah bilang, mulai sekarang kita bukan suami istri lagi!" pria itu, yang Juna sebut papa, untuk pertama kalinya Juna melihat bagaimana sang ayah bersikap kasar kepada sang ibu.

"Anakku, hanya Juna, Jovan dan Jerian! Kau boleh tinggal bersama anak-anak, tanggung jawab ku tetap tanggung jawabku! Tapi anak itu–" Juna dapat melihat Jelas, anak yang papa maksud adalah bayi yang masih berbentuk sari di dalam perut.

"BUKAN ANAKKU!"

Sejak kejadian itu, mama seperti kehilangan arah, tidak mau makan, minum banyak alkohol, bahkan pernah mencoba membunuh dirinya sendiri. Hanya karena bayi di dalam perutnya. Tapi Tuhan berkata lain, Bayinya tetap selamat. Tidak tahu apakah takdir berpihak pada si bayi atau tidak, memberikan kesempatan hidup memang anugrah tapi hidup dalam kesengsaraan, itu petaka. Jian tidak pernah minta untuk dilahirkan, tapi takdir yang memberikannya. Jian, bahkan nama itu adalah nama tidak resmi yang diberikan oleh Juna. Disaat adik kembarnya diasuh dengan penuh kasih sayang oleh mama, mama menelantarkan Jian begitu saja, padahal Jian masih bayi dan butuh kasih sayang lebih dibanding si kembar yang sudah menginjak umur 3 tahun. Juna hanya bisa berusaha mengurus semampunya, dengan bantuan asisten rumah tangga. Ia bahkan tak membayangkan, kalau saja Vivian tak memperbolehkan asisten rumah tangga mengurus Jian kecil, namun jika bukan karena permintaan Juna atau karena masih berstatus seorang ibu yang melahirkan Jian, mungkin Vivian akan lebih kejam dari pada yang terjadi sekarang.

Mamanya sudah berubah namun tidak sepenuhnya berubah, Vivian masih menyayangi Juna serta si kembar. Hanya lebih kejam pada si bungsu. Kekejamannya seperti mengharapkan sesuatu, Juna bukannya tidak tahu, Ia sangat tahu, Vivian dari awal tidak menginginkan adik bayi itu. Maka saat lahir pun itu tidak berubah, malah semakin timbul kebencian.

Juna tidak tahu, tidak tahu jelas apa yang membuat sang ibu sangat membenci si bungsu, apa yang membuat papa tidak menganggapnya sebagai anak. Yang Juna lihat, Jian hanyalah bayi kecil polos. Yang bahkan tidak melakukan apa-apa tapi sudah menjadi alasan kebencian yang besar bagi setiap orang. Pernah sekali, Juna memergoki sang ibu sudah hampir kelewatan batas, jika tak ada Juna yang menghentikannya, Ia bukan hanya sekedar kehilangan adik kecilnya tapi juga mamanya.

Dan perlahan, seiring berjalanya waktu. Kenyataan yang sudah dapat dimengerti pun tak membuat Juna goyah dengan keputusannya menjaga sang adik.

"Jian mungkin bukan anak mama, tapi dia adik Juna sampai kapanpun."

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

"Juna!"

"Ah! "Juna menolehkan pandangannya pada Yoga, temannya yang kini berada di sampingnya.

"Mikirin apa sih? dari kemarin juga. Kan udah komunikasi dengan Jian?" Juna menggeleng, Juna bahkan masih sempat melamun di tengah suasana ramai kafe teria universitasnya.

"Kalau gak dimakan, lebih baik berikan padaku saja."

"Ambilah." Perkataan Juna sukses membuat Yoga menyatukan alisnya bingung, "aku hanya bercanda, lagian kau butuh makan supaya bertenaga untuk menghadapi dunia yang kejam ini." Yoga mengambil satu tusuk buah yang berada di piring nya dan melayangkannya pada Juna, "aaa...."

Yang disodorkan makanan hanya bisa menatap sinis, bergidik ngeri melihat perilaku sahabatnya yang tiba-tiba menjadi seperti sedang mengikuti ajang latihan adegan romantis, "aku bisa sendiri." Walaupun malas, pada akhirnya Juna mengambil tusukan buah itu dari tangan Yoga.

"Semakin kamu banyak berpikir, kau tak akan berkonsentrasi untuk segera lulus. Itu malah akan semakin menyulitkan mu bertemu Jian."Ucapan serius Yoga hanya mendapat deheman kecil panjang dari Juna, anak itu pun tak jelas menjawab dengan sepenuh hati atau hanya sekedar untuk membalas ucapan Yoga. Yoga menghela nafasnya, sebagai teman seperjuangan Juna bertahun tahun, Yoga sudah terbiasa dengan sifat temannya ini. Tapi dibalik dinginnya Juna, Ia sangat penyayang dan pengertian. Yoga seperti teman sehidup semati, bahkan separuh kehidupan Juna, Yoga dapat mengingatnya dengan jelas. Yoga sudah seperti saksi mata.

"Apa kau berencana mencari tahu ayah kandungnya Jian?" Juna hanya mengangguk.

"Belum kepikiran siapa-siapa?" Juna mengangguk lagi, tadi padahal Ia tak bernafsu makan tapi saat ditanya Yoga, Juna hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan disertai dengan makanan yang diarahkan ke mulutnya. Yoga hanya menggeleng, "Ya menurutku, papa dan mama mu sudah pasti kenal dengan orangnya, dan orangnya harusnya dekat dengan mama mu."

"Hm...." Yoga hanya menatap Juna kesal, lagi-lagi dibalas secara singkat.

"Kalau papa Jian sudah ketemu apa kau akan–"

"Tidak." Juna menatap Yoga, "aku tidak akan memberikan Jian pada papanya. Kehidupannya malah akan menjadi lebih buruk. Aku hanya perlu tahu siapa orangnya."

"Lebih buruk bagaimana?"

Juna menghela nafasnya, "kalau benar dia peduli pada Jian, dari dulu dia akan mencari mama dan mengunjungi anaknya. Tapi sampai sekarang tidak ada satupun yang datang hanya untuk sekedar menanyakan kabar Jian, artinya dia tidak peduli pada anaknya."

"Tapi bagaimana jika suatu hari dia datang?"

"Itulah kenapa, aku harus cepat menyelesaikan kuliahku dan bekerja, aku akan segera mengambil hak asuh Jian-" Juna menundukkan kepalanya memainkan makanan di depannya, "mama dan papa tidak mengurusnya, jadi biarkan aku yang mengurusnya."

"Ia layak mendapatkan kasih sayang, Yoga."

To be continue..

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━



Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now