◆Part 20 : Then you know◆

23.7K 4.1K 607
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Suara langkah kaki memenuhi lorong rumah sakit, Juna berlari menyusuri lorong tanpa memperhatikan bahwa kini semua pandangan tertuju padanya. Ia tidak peduli. Hatinya takut, jantungnya berdegup kencang, perasaan tak karuan. Pertahanannya benar-benar runtuh sekarang. Tujuannya hanya satu, bahkan raut wajahnya dapat membuat setiap orang melihatnya merasa terintimidasi. Saat Juna sudah sampai ditujuan, langkahnya terhenti. Ia disuguhkan pemandangan yang menyakiti hatinya

"Jian!"

Walaupun pintu sedang terbuka, tubuh Juna tertahan. Ia tak diperbolehkan masuk karena sekarang banyak dokter berlalu lalang. Juna menggeleng pelan, "di dalam sana adik saya! bagaimana anda bisa melarang saya melihatnya!" marah Juna pada orang-orang yang menahannya.

Lihatlah betapa tersiksanya Juna menyaksikan alat-alat di tubuh sang adik, suara-suara mesin yang bising dan dokter yang berlalu lalang. Perasaannya sangat tidak karuan sekarang tapi tubuhnya bahkan tak kuat meronta, pertahanannya runtuh.

"Jian! kakak pulang! dengar kakak kan?! bangun Jian! bangun!" Juna berteriak sekencang mungkin—cara satu-satunya yang bisa ia pikirkan—biarlah orang menganggapnya gila karena memang sekarang rasanya ia akan gila karena ditahan seperti ini disaat adiknya didalam sana berjuang membutuhkannya. Bahkan tangisan Juna tak cukup membuat mereka iba untuk melepaskannya.

"Kak Juna...."

Juna terkesiap saat mendengar suara yang memanggilnya, ia menoleh kebelakang mendapati keluarga cemara yang kini menciptakan benci di hatinya.

'BUGH! BUGH! BUGH!'

"Juna!!!"

"Astaga!"

Tak peduli dimana ia berada, tak peduli seberapa mata menatapnya, amarahnya sudah berada di puncak. Tangannya bahkan sudah panas dari awal mendengar suara tersebut. Akhirnya layangan tinju tak bisa dipungkiri.

Ya, Juna melayangkan tinjunya pada kedua adiknya tak peduli bagaimana rupa salah satu dari mereka yang kini juga dipenuhi berbagai luka dan berdiri sedikit tertatih. Itu jelas tak sebanding dengan apa yang dialami adiknya. Sayangnya Juna belum puas, bahkan walaupun sudah ditahan ia masih meronta ingin dilepaskan, kepalan tangannya masih sangat panas.

Disisi sana, Jovan dan Jerian dibantu berdiri oleh Jeff. Juna memberikan tatapan sinis padanya bahkan pada sang Ibu yang sudah lama tak ia temui. Pukulan Juna tak main-main hingga dengan mudah kini melihat warna biru di rahang milik Jerian dan Jovan.

"Lepaskan aku! mereka berdua masih perlu mendapatkan lebih!!"

Jovan dan Jerian bungkam. Ini pertama kalinya mereka melihat wajah sang kakak begitu menyeramkan, ia terlihat habis menangis tapi raut wajahnya tak mengubah fakta kini dirinya terlihat sangat menyeramkan. Bahkan Jovan dan Jerian hanya bisa menundukkan kepala dan meringis sesekali, pukulan kakaknya tak main-main. Ditambah, saat sehabis kakaknya menelpon tiba-tiba Jian kritis lagi membuat mereka sudah memperkirakan tak akan bisa menghindari sang kakak yang akan marah.

Nafas Juna masih terengah-engah. Juna bukanlah orang yang mengandalkan kekuatan otot. Apalagi sampai memukul adiknya, tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Tapi Juna terlanjur kecewa, sangat kecewa. Kecewa, karena ia menjadi orang terakhir yang tahu keadaan seperti ini. Ia merasa tak dianggap, dan yang ada dipikirannya tentu bukanlah lagi hal-hal positif. Disaat seperti ini saja, disaat genting, disaat ada seseorang yang sedang berjuang untuk bertahan hidup, mereka tak berniat memberitahu Juna, terlebih, orang yang bersangkutan adalah seseorang yang Juna sayang, adiknya.

"For God's sake! Apa yang kau lakukan pada adikmu!" Jeff mengamati rahang si kembar yang membiru. Juna yang menjadi saksi tersenyum kecut, "hanya biru, itu bisa sembuh dengan sendirinya. Itu belum seberapa, mereka perlu mendapatkan yang lebih!" tegas Juna penuh amarah.

'Plak!'

Jeff yang sudah diambang batas kesabaran menampar Juna. Membuat kesunyian di berbagai sudut, bahkan orang-orang yang menahan Juna kini melepaskan lengan Juna seakan memberi isyarat bahwa mereka sedang tidak ingin ikut campur.

"Mereka adikmu! juna!"

Juna memegang rahangnya, pipinya panas dengan rasa perih menyengat. Bekas tamparan Jeff memang tidak main-main.

"Papa menampar Juna karena Juna memukul mereka dan menyisakan bekas biru? lalu bagaimana dengan adikku yang satunya? Jian, adikku? dia di dalam sana, berjuang untuk bertahan hidup tapi papa bahkan tidak peduli soal itu! papa tidak menampar Jovan dan Jerian karena menjadi kakak yang buruk tapi papa menampar Juna karena memberi pelajaran untuk kakak yang buruk seperti mereka."

Juna tersenyum sinis, "oh saya lupa, anda bahkan jauh lebih buruk."

"Juna! papa tidak pernah mengajarkanmu hal-hal kurang ajar seperti itu!" Jeff sepertinya sudah tidak tahan, rasa malu mulai menyelimutinya, lorong rumah sakit tersebut seakan memiliki aura menusuk karena tatapan mulai tertuju pada mereka.

"Memang papa pernah mengajarkan ku apa?"

Jeff terdiam.

"Jawab pa!" mata Juna seakan menyala-nyala, kini bahkan tak ada rasa segan lagi saat berhadapan dengan sang ayah, "apa yang papa ajarkan pada Juna, Jovan atau Jerian? Apa?!"

Jeff mengepalkan tangannya, pikirannya buntu. Juna yang seakan melihat kesempatan untuk kembali berbicara dengan perkataan tajamnya tersenyum sinis, "gak ada? oh ya, Juna lupa. Yang papa tanamkan pada anak-anak papa hanya tentang keegoisan. "

Jeff terlihat masih tenang, tapi Juna tahu bahwa kini papanya itu sedang berusaha mencari kata-kata untuk membalas Juna dan sayangnya sebelum itu terjadi Juna sudah akan mengalahkan sang ayah.

"Kalian semua," pandangan Juna tertuju pada satu keluarganya, termasuk Vivian yang masih terduduk karena terkejut, "adalah keluarga terburuk yang pernah ada."

"Juna!"

Juna tertawa sinis, "Apa yang ku katakan benar, yang kalian lakukan saat kehilangan kebahagiaan dan milik kalian, menanamkan benci di mana tempat kebahagiaan itu hilang, kalian tidak pernah mau membuka mata dan pikiran bahwa membenci pun tidak ada gunanya. Keadaan akan tetap sama. Dan anda!" Juna menunjuk Jeff, "papa terburuk yang pernah ada!"

Juna maju selangkah, memainkan telunjuknya dan tepat mengarahkannya pada sang ayah membuat Jeff yang kebingungan, "mau tau siapa yang salah disini?" Juna memajukan langkahnya, "anda." Sambungnya datar.

Juna memajukan langkahnya lagi kali ini bahkan telunjuknya ia buat mengenai Jeff, matanya menatap sang Ayah tajam, "anda yang memulai menanamkan kebencian itu, jika anda tidak egois, Juna, Jovan dan Jerian pasti masih bisa merasakan hangatnya keluarga. Jika anda tidak egois, hal ini tidak akan terjadi."

"Juna, kamu sudah papa beritahu alasan papa menjadi seperti ini, alasan papa memilih jalan ini."

Juna tertawa sinis, disaat seperti ini bahkan masih dapat mengelak membela diri seakan dirinya adalah korban, "dan alasan itu akan membuat anda menyesal seumur hidup."

Juna mengambil tasnya dengan tergesa-gesa dan mengecek sesuatu di dalamnya. Sesekali Juna melihat bagaimana ekspresi Jeff yang terlihat bingung saat Juna hanya mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Kemudian Juna kembali mendekati Jeff. Ia lempar kertas yang tadi berada di tangannya kepada Jeff.

"He is your biological son!"

To be continue

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now