◆Part 4 : Papa?◆

26.8K 4.3K 232
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

"If i were not here, will everything be oke?"

.

Song recommendation

love is gone - piano

.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Am : 02.30

Disaat semua orang sedang berada dalam mimpinya, mencari sesuatu yang tak mereka dapatkan di dunia nyata. Disinilah seorang remaja laki-laki terduduk tepat menghadap bulan yang melingkar sempurna, ia terlihat menikmati pemandangan di waktu subuh.

"Kak Juna—" bibir merah mudanya mengalunkan nama yang tak asing, "Jian rindu...." titik bening kemudian jatuh keluar. Bibir dan matanya sangat kontras, bibirnya melengkung ke atas tapi mata indahnya berkaca-kaca. Itu hanya secara fisik, fisik dan perasaannya lebih jauh dari kata kontras. Matanya terpejam, menjatuhkan sisa air bening di matanya, menikmati hembusan angin yang menerpa pipi birunya. Warna biru di setiap tubuhnya seakan menjadi ciri khas bagi seorang remaja bernama Jian tersebut. Ada yang sudah menghitam meninggalkan bekas, ada juga yang masih tertutup dengan bantuan perban.

Sakit? dulu iya mungkin, sekarang tidak lagi. Semuanya menjadi seperti sebuah kebiasaan. Kenapa? remaja itu tak perlu bertanya lagi, itu hukuman karena dirinya lahir. Kelahiran itu anugrah bukan?

"Kak Juna, Jian pernah membaca, katanya Tuhan masih memberikan kita kesempatan hidup karena kita masih memiliki tugas di dunia—" remaja itu menahan cairan dari netranya, bibirnya mengulum seakan mencoba untuk berusaha melanjutkan perkataannya, "tapi, apa boleh Jian meminta Tuhan mempersedikit tugas Jian?"

Remaja itu tersenyum sempit mengingat kejadian tempo hari. Di Sekolah, setiap murid belajar bagaimana perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya. Semua menjadi terharu dan takjub, termasuk Jian. Setiap dihadapkan dengan cerita-cerita perjuangan seorang ibu, rasanya sulit bagi kita untuk percaya betapa besarnya perjuangan seorang ibu, itu tanda kasih sayang darinya bukan?

Jian, anak itu, baginya kemarahan ibunya padanya bukan apa-apa dibanding perjuangannya. Ia tak pernah membantah, sakit hati ataupun merasa benci terhadap 1001 makian, pukulan atau siksaan terhadap dirinya.

Tidak, tidak— itu bukanlah semua siksaan, semua terjadi karena alasan. Ya, dirinyalah alasan itu. Mungkin jika ia tak lahir, Jeff dan Vivian tidak akan bercerai sehingga keluarga mereka tetap harmonis, kakak kembarnya akan mendapatkan kasih sayang selayaknya, serta Juna tidak harus menentang keluarganya sendiri hanya untuk adiknya yang bahkan statusnya masih dipertanyakan.

"Maaf kak Juna, maaf sudah menghancurkan keluargamu."

Tempo hari yang lalu secarik kertas Jian temukan diatas meja ruang tengah. Niatnya ia akan melanjutkan acara bersih-bersihnya setelah memastikan sang ibu sudah tidur awal karena demamnya dan sembari menunggu kakak kembarnya pulang ia juga berniat memasak, walaupun Ia tahu makanan yang dimasak olehnya jarang sekali dimakan, bagi kakaknya atau mamanya, masakan diluar lebih enak.

Acara bersih-bersih yang dimaksud adalah pekerjaan rumah sehari-hari. Ah sudah biasa walaupun masih berbalut seragam sekolah dan perut yang sudah demo minta diisi, Jian tetap melakukannya.

Bukan tanpa alasan, Jian tidak bodoh soal anak yang harus dibiayai orang tua. Tapi seorang Jian bahkan mendapat predikat anak haram, apakah masih boleh minta dibiayai? syukur-syukur, ia masih dapat bersekolah. Dari pada meminta karena hak sebagai seorang anak, Jian lebih memilih melakukan pekerjaan yang ia bisa, membersihkan rumah salah satunya. Setidaknya Ia mendapatkan imbalan, bukannya tidak ikhlas, tapi semua orang butuh uang, kan? lagian ini bukan permintaan tapi perintah.

Ini bermula saat Juna disuruh oleh Jeff berkuliah di luar. Juna tentu menolak mentah-mentah, karena siapa? karena Jian. Juna menjadi satu-satunya orang yang berada di sampingnya. Juna membantu Jian bertumbuh, bahkan Ia rela menggunakan uang yang diberikan Jeff untuk mengasuh Jian, seperti membelikannya susu dan perlengkapan lainnya, Jeff dan Vivian tentu tahu soal ini tapi mereka lebih memilih mengunci mulut dan membiarkannya. Bahkan saat Juna sedang bersekolah, Juna menyiapkan semua perlengkapan lengkap di dalam kamar supaya Jian tidak keluar dari kamar sampai dirinya pulang. Atau saat Jian sudah sekolah, Jian tidak boleh pulang sampai dijemput oleh Juna.

Dulu hidup Jian cukup bahagia, walau hanya didasari kasih sayang kakaknya. Terkadang Jian iri pada kakak kembar dan juga Juna kala sudah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, seperti pelukan hangat, sandaran untuk curhat dan kewajiban lainnya sebagai orang tua.

Hanya Jian, ya hanya dirinya yang terlihat asing. Bahkan di depan mata sang ibu, Jian seperti seseorang yang tak dikenalnya. Semua berubah saat Juna pergi, kenapa Juna memilih pergi? sederhana, Juna tetap harus punya masa depan.

Semua terasa berat, Jeff memberikan pilihan yang sulit bagi Juna, pergi berkuliah dan bekerja. Setelah Itu Juna bisa mengurus dan Jian atau tetap bertahan bersama Jian tapi tidak dibiayai, pilihan yang berat kan?

Sudah 3 tahun lebih. 3 tahun lebih tanpa Juna disisi Jian. 3 tahun lebih Jian hidup seperti ini, tidur di loteng, bekerja untuk kebutuhan sehari-hari, bertahan hidup. Sebisa mungkin Jian menutupi semuanya dari Juna, ia tak ingin Juna berhenti ditengah jalan. Yang bisa Jian lakukan hanya bertahan, semua dilakukan Jian, supaya nantinya Ia dapat bertemu Juna lagi. Jian hanya berharap saat Juna datang, luka memar atau biru di tubuhnya sudah menghilang.

Bicara soal secarik kertas, hal itu juga yang membuat Jian mulai menyadari penyebab sang ibu sakit dan Jian tidak menolak saat dirinya dijadikan sasaran pukulan oleh kedua kakak kembarnya.

"Ini semua gara-gara kau!"

"Andai saja kau tak pernah lahir! andai saja kau tak pernah ada!"

"Lihat! mama sakit karenamu! papa pergi karenamu! sekarang puas kau! papa menikah lagi karena mu!"

"Anak haram!"

Ya, semua bertubi-tubi. Pukulan kedua kakaknya tak main main hingga membuat sudut bibir dan hidungnya mengeluarkan darah. Jian tak melawan, toh benar semua karena dirinya. Papa pergi karena dirinya lahir, papa dan mama bercerai karena dirinya anak haram. Papa menikah lagi, itu bukan salah papa, juga bukan salah mama. Itu salah dirinya. Maka disinilah Jian duduk terdiam, jika memang tugasnya di dunia hanya untuk menghancurkan keluarganya sendiri, apakah boleh tugasnya dicabut saja?

"Kalau aku gak ada, apakah semuanya akan baik-baik saja?"

To be continue....

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now