◆Part 19 : how dare◆

21.1K 3.5K 205
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Kelahiran seorang anak adalah keinginan setiap ibu di dunia. Menjadi Ibu adalah sesuatu yang paling membahagiakan yang pernah terjadi. Ketika seorang bayi lahir dari antara dua Cinta dan membuat ikatan darah yang sesungguhnya, tak terlihat namun terbukti. Begitu Pula Vivian. Menikah dengan seseorang yang dicintainya, memiliki anak dan hidup bahagia. Semua itu, sempat ia dambakan, bahkan semua itu, telah terjadi dalam hidupnya.

Namun dalam sekejap semua itu seakan musnah. Kehidupan itu berputar, Vivian tahu, sangat tahu. Tapi seakan dunianya tidak pernah kembali dalam fase bahagia semenjak kelahiran anak terakhirnya. Vivian duduk sendirian di taman, menatap nanar pemandangan sepi dan cukup gelap di depannya, yang dilihatnya hanyalah bagaimana rekaman kehidupannya muncul. Entah sejak kapan ia menjadi sangat egois seperti ini, ia tidak ingin tapi hatinya sudah terlebih dulu tercerai-berai seakan-akan semua rasa iba dan kasih sayangnya ikut terpecah.

"Jian...." Air matanya mengalir, ia membencinya, sangat. Tidak adil memang, dari awal hidup memang tidak adil. Marah, sangat marah. Seakan ingin melampiaskannya 'aku tidak ingin anak ini'. Penolakannya di tahun-tahun sebelumnya seakan sebagai bantahan pada sang pencipta, 'kau memberikannya pada orang yang salah'.

Iya, pada orang yang salah. Bahkan sekedar untuk melihat bagaimana wajah mungil tersebut memerah karena tangisan pertamanya atau pipinya yang menggembung tanpa sengaja, semua itu, ia bahkan tak sempat menikmatinya. Semuanya tertanam jauh, terkubur bersama luka.

Pertahanannya runtuh, air turun membasahi pipinya, "kenapa dia ada dirahimku?! harusnya sejak awal dia tak pernah disana, tak pernah hadir, dengan begitu dia tak akan tersiksa...."

Ia mengakui betapa bodohnya dirinya dengan pikirannya. Walaupun begitu, Vivian tahu, remaja yang tengah berjuang mempertahankan hidupnya sekarang, adalah bayi kecil yang dulu sangat tidak diinginkan. Semakin dirinya bertumbuh, semakin besar juga perasaan bersalahnya, semakin benci Vivian pada keadaan.

"Dia akan bangun, dia harus bangun."

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Juna tersenyum cerah, walaupun matanya kini menjadi sedikit mirip dengan panda namun langkah kaki riangnya menjadi bukti bahwa ia sama sekali tidak lelah. Bahkan tampak berseri dan cerah saat keluar dari bandara, badannya cukup pegal namun tenaganya seperti seseorang yang baru saja melakukan olahraga—terlihat lincah dan segar— terbukti dari bagaimana dirinya dengan mudah mencari taksi tanpa perlu rebutan dengan yang lainnya. Dilihatnya pemandangan siang menjelang sore selama perjalanan, perjalanan yang begitu jauh. Kota kelahirannya banyak berubah, nampaknya Juna perlu beradaptasi lagi dengan keadaan karena perubahan lingkungannya yang sangat drastis.

Sampai dirumah, Juna sudah bisa menebak bahwa tidak ada satupun orang dirumah. Terlihat sepi. Juna mengambil kunci di sakunya, kunci rumah yang memang ia miliki, ia membawanya bahkan saat berada diluar. Tidak ada tujuan utama, itu semua karena Juna berhak atas rumah nya jadi Ia memiliki kuncinya walaupun sedang tidak tinggal disana.

"Welcome home Juna." Pria itu tersenyum, terharu, melihat bagaimana satu-satunya yang tidak berubah adalah rumahnya. Semua interior dan dan bentuk nya masih sama seperti yang di ingatan Juna.

"Kejutan kecil terdengar menyenangkan." Juna terkekeh geli membayangkan orang rumah akan kaget melihatnya bahkan Juna juga sudah bisa membayangkan adik kecilnya akan menangis karena tak percaya ia akan berada di depannya. Juna menuju kamar utama, berpikir untuk meletakan sementara barangnya disana dan bersiap untuk kejutan kecil.

Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now