◆Part 12 : Mistake◆

21.5K 3.6K 229
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Kembali beraktivitas sebagai anggota basket, Jovan dan Jerian menikmati pemandangan pelatih yang sedang melatih anggota baru. Sesekali tertawa kecil melihat wajah letih mereka, bukan lucu tapi karena mereka ingat betul mereka pernah diposisi seperti itu. Berat, namun itu sangat membantu mereka.

"Jer—" Jovan mencoba memecahkan keheningan antara dirinya dan Jerian.

"Hm?" Jawab Jerian singkat.

"Apa kau tahu soal opioid?" Jerian pun akhirnya menolehkan pandangannya pada Jovan, merasa aneh karena di sore hari Jovan bertanya tentang masalah biologi.

"Kenapa? ada ulangan besok?" Tanya Jerian.

"Eum, siapa tahu ada ulangan mendadak?" Jerian memutarkan bola matanya, meringis sebal. Karena saat ini adalah saat untuk bersantai, bukan menanyakan pelajaran sekolah.

"Opioid, yang mengandung morfin bukan?" Tanya Jerian, walaupun kesal, Jerian tetap menjawab kembarannya itu.

"Ah iya! aku ingat sekarang." Jerian berdelik, mengapa kembarannya ini terlihat begitu semangat setelah mengetahui jawabannya. Tapi raut wajah bersemangat itu tidak bertahan lama, "bentar, tapi kegunaannya untuk?"

Dengan helaan nafas panjang, dirinya mencoba mengingat kembali pelajaran tempo hari. Mengapa malah nama obat yang sulit sih yang menjadi pertanyaan kembarannya itu. Kenapa tidak paracetamol? Atau obat maag gitu kan lebih mudah Jerian menjelaskannya.

"Seingatku, itu obat penghilang rasa nyeri—Ah!" Jerian menatap Jovan bangga, "itu membantu mengendalikan rasa sakit yang dialami setelah operasi." Tutur Jerian bangga. Ternyata otaknya masih berfungsi dengan baik.

"Kau bilang apa? operasi?"

Jerian mengangguk.

"Apa opioid bisa digunakan untuk orang biasa? yang tidak menjalani operasi."

Jerian sudah diambang batas kesabarannya, "tidak tahu, aku bukan dokter. Kau tanya saja dokter di rumah sakit sana. Aneh, kenapa kau tiba-tiba belajar tentang obat-obatan, mana susah lagi." dengus Jerian.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

"Hasilnya akan keluar minggu depan, jadi kapan kau akan pulang?" Yoga  yang 

"Sepertinya minggu depan juga, aku akan ikut papaku pulang."

"Papamu sudah akan pulang minggu depan?" Juna mengangguk. Seperti janjinya, hari ini Juna mentraktir Yoga. Anak itu pun tidak jauh-jauh dari yang namanya meminum kopi, buktinya sekarang ia dan Yoga langsung pergi bersantai di salah satu kedai kopi terkenal di dekat rumah sakit. Yah, dia dan Yoga berada di rumah sakit tadinya. Bedanya Yoga memiliki sesuatu yang harus diurus begitupula Juna.

"Sebelum di rawat dirumah sakit, dia bilang dia cuman perlu seminggu perawatan disini." Juna menyesap segelas latte miliknya sambil menjawab Yoga, "dia sudah melakukan perawatan di Indonesia juga, cuman memang karena ingin mendapatkan perawatan lebih baik, jadinya pindah ke Amerika. Waktu kita bertemu juga sudah terlihat baik-baik saja." Sambung Juna.

"Kata kak William, papamu masih harus melakukan cuci darah sekali lagi nanti. Tapi sepertinya operasinya kemarin berhasil, tidak ada tanda-tanda akan terjadi dampak besar pada papamu." Jelas Yoga. Juna mengangguk, "berarti memang cocok."

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Karena setelah donor darah kemarin, Jian sempat drop. Mengalami demam ringan, akhirnya hari ini pun Jian harus kembali merasakan berdiam dirumah. Padahal dia sudah banyak melewatkan hari sekolah. Kemarin saat datang ke sekolah saja sudah disuruh pulang. Ternyata Charles memberikan surat ijin pada kepala sekolah, sehingga Jian diperbolehkan tidak sekolah. Jian bahkan tak tahu perihal surat ijin yang ternyata sudah dibawa Charles. Dan sekarang disinilah Jian, merasakan keheningan dan kesunyian rumahnya. Namun Jian selalu bisa menepis kebosanan itu. Jian memilih untuk membersihkan rumah seperti yang biasa dia lakukan.

Bahkan tak terasa Jian juga menyelesaikannya dengan cepat, apa karena dia sudah terbiasa? di jam segini, kakak kembarnya belum pulang latihan basket, sedangkan Vivian, dia biasa masih akan kerja di jam segini. Vivian memang bekerja untuk menyibukan dirinya dan melupakan masa lalu, bagus?—yaa tidak juga. Vivian akan lebih sering pulang malam. Tak jarang Jian menemukan vivian tertidur di sofa, dengan itu Jian juga sering mengecek turun dan membawakan selimut. Padahal dengan wajah cantiknya seharusnya Vivian bisa mendapatkan kebahagiaan yang baru, kebahagiaan lain. Tapi dia lebih memilih menyendiri karena teramat mencintai Jeff, papanya. Melihat itu membuat Jian merasa semakin bersalah dan membenci dirinya.

Langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar milik Vivian tidak tertutup rapat. Membuat Jian sangat penasaran. Jian memang pernah sesekali melihat kamar milik mamanya, tapi tetap saja Jian rindu melihatnya lagi. Melihat pajangan foto-foto milik Vivian dan Jeff juga, foto-foto masa kecil Juna dan kakak kembarnya terpampang jelas disana. Bahkan sebagian piala milik kakak kembarnya juga terpanjang rapi. Melihat kondisi dan suasana rumah yang sepi memungkinkan Jian melihat-lihat sebentar. Rasa penasaran Jian pun akhirnya menang.

Ia melangkahkan kakinya membuka pintu kamar Vivian, mamanya. Nuansa perpaduan warna silver dan gold terlihat mewah. Tentu saja, semenjak Jeff pergi. Vivian tidak pernah mau mengganti atau berpindah kamar, bukankah itu akan membuatnya semakin merasa sakit? cinta memang sekuat itu ternyata. Dilihatnya foto kecil milik kakaknya terpanjang rapi, dibingkai dengan teratur. Semuanya tampak bahagia di dalam foto. Mereka begitu menggemaskan. Jian juga punya foto masa kecil, tapi semua disimpan sendiri—siapa lagi kalau bukan Juna yang mengambil foto kecilnya. Mengingat kakaknya itu Jian semakin rindu.

"Lihatlah gigi gingsulnya...." Kekeh Jian melihat foto masa kecil milik Juna dengan gigi gingsulnya. Di sebelah meja berisikan foto-foto terdapat lemari khusus piala milik kakak kembarnya.

"Kapan ya Ji bisa bahagiain mama? dapat piala begini juga." Dipegangnya penghalang kaca di lemari tersebut, terbesit senyum tipis menghiasi wajahnya. Bangga, ingin rasanya Jian memeluk kedua kakaknya saat mereka memenangkan suatu perlombaan, ingin rasanya Jian berteriak dan mengaku 'Itu kakakku!!' di tengah lapangan saat mereka menang. Ingin rasanya seperti itu. Saat tengah menikmati pemandangan di depannya, tiba-tiba terdengar jelas dari luar bahwa seseorang sudah masuk ke dalam rumah. Sepertinya salah satu anggota rumah sudah ada yang pulang. Segera Jian beranjak dari tempatnya. Bisa habis lagi Jian, jika mereka melihat Jian berada di kamar Vivian.

"Ahk!"

Oh tidak. Rasa sakit di perutnya kembali datang, Jian tak bersiap dan memegang langsung perutnya. Pertahannya pun runtuh, rasa menyengat menjalar ke seluruh tubuhnya. Tanpa sadar Ia bertumpu pada meja, tempat tersusun rapi nya berbagai foto. Dan alhasil tangannya pun menyenggol satu bingkai— membuat bingkai yang lainnya tumpah dan terjatuh tak beraturan. Sialnya, Jian pastinya tak memiliki waktu membereskannya.

Memang seharusnya Jian tak pernah masuk kesini.

To be continue

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Pelukan Untuk JianWhere stories live. Discover now